Bendera Negara West Papua tengah Bendera PBB dan Bendera Belanda (IPOU GOBAI?SCK) |
Oleh : Ipou Gobai
SALAH satu akar persoalan mengapa Papua terus bergolak adalah perdebatan tentang pelaksanaan Referendum Papua melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969. Banyak generasi muda Papua yang belum sepenuhnya memahami mengapa PEPERA harus digelar. Peristiwa politik inilah yang membedakan sejarah integrasi Papua berbeda dengan daerah lainnya. Mengapa?
Karena walaupun Indonesia telah memproklamasikan
kemerdekaanya dari Sabang sampai Merauke pada 17 Agustus 1945, namun
Belanda tetap keras kepala, tak mau angkat kaki dari bumi Papua. Berikut
ini sebagaian dari upaya-upaya yang telah dilakukan bangsa Indonesia
untuk mengusir penjajah Belanda dari Tanah Papua :
1. Konferensi Meja Bundar 1949
Empat tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Belanda tetap saja belum mau
hengkang dari Papua. Indonesia berusaha terus memaksa Belanda. Salah
satunya adalah melalui Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi ini
berlangsung di Den Haag, Belanda tanggal 22 Desember 1949. Dalam
perjanjian itu disepakati bahwa seluruh bekas jajahan Belanda adalah
wilayah Republik Indonesia, kecuali Papua Barat akan dikembalikan
Belanda ke pangkuan NKRI 2 (dua) tahun kemudian.
KMB itu diikuti
dengan Pengakuan dan Penyerahan kekuasaan atas wilayah jajahan Belanda
kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Penyerahan itu dilakukan
secara simbolis dengan dua upacara. Upacara pertama berlangsung di
Amsterdam, di Istana Op de Dam, dihadiri oleh Wakil Presiden Mohamad
Hatta, sekaligus perdana menteri, sebagai pemimpin delegasi Indonesia
dan Ratu Juliana serta segenap kabinet Belanda. Upacara kedua
berlangsung di Istana Negara, Jakarta, dihadiri oleh wakil tinggi
mahkota Belanda di Indonesia Tony Lovink dan Sri Sultan Hamengku Buwono
IX sebagai wakil perdana menteri Indonesia.
2. Trikora
Isi
kesepakatan KMB dalam kenyataannya diingkari oleh Belanda sendiri.
Belanda tidak hanya sekedar bertahan di Papua, tetapi lebih dari itu,
mempersiapkan langkah-langkah untuk memisahkan Tanah Papua dari NKRI.
Dewan nasional Papua dibentuk dan kemerdekaan secara tergesa-gesa
dideklarasikan tanggal 1 Desember 1961.
Kelicikan Belanda membentuk
negara bonekanya di papua itu, tentu saja membuat bangsa Indonesia
berang. Maka pada tanggal 19 Desember 1961di Alun-alun Utara Jogjakarta,
Presiden Indonesia Soekarno mengumumkan Trikora ( Trikomando Rakyat)
untuk mengembalikan Irian Barat kepangkuan Negara Republik Indonesia.
Konfrontasi dengan Belandapun tak terhindarkan.
Kendati konfrontasi
fisik akhirnya tidak terjadi, namun hasil penggalangan dukungan Bung
Karno dari negara-negara Asia-Afrika, bahkan hingga ke Uni Sovyet yang
mendukung Indonesia dengan peralatan perang yakni 24 pesawat pembom
Tu-16 yang amat ditakuti Barat serta serombongan pesawat tempur MiG-19,
dan MiG-17, telah membuat Amerika Serikat khawatir.
Amerika
khawatir masalah Papua bisa menyebabkan Perang Dunia Ketiga. Maka dengan
bantuan Inggris, Amerika memfasilitasi perundingan Indonesia-Belanda
yang menghasilkan New York Agreement tahun 1962.
3. New York Agreement
Melalui upaya diplomasi yang alot yang difasilitasi PBB, Belanda
akhirnya mau menandatangani New York Agreement (NYA) bersama Indonesia
pada tanggal 15 Agustus 1962. Indonesia diwakili oleh Soebandrio, dan
Belanda diwakili oleh Jan Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann. Isi
kesepakatan itu intinya memuat road map penyelesaian sengketa atas
wilayah Papua/Irian Barat. Lima hari kemudian (20 September 1962)
dilakukan pertukaran instrumen ratifikasi NYA antara Indonesia dengan
Belanda tetapi pertukaran tersebut tidak menjadikannya otomatis berlaku,
karena PBB terlibat.
Maka PBB pun membawa Persetujuan bilateral
(NYA) ini ke dalam forum PBB, yang kemudian diterima dan dikukuhkan
dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1752 yang mulai berlaku 21
September 1962.
Agar Belanda tidak kehilangan muka, perundingan New
York (NYA) mengatur penyerahan kekuasaan dari Belanda atas tanah Papua
dilakukan secara tidak langsung. Belanda menyerahkannya kepada PBB, baru
setelah itu PBB menyerahkanya ke pemerintah Indonesia melalaui
referendum (PEPERA).
Maka terjadilah pada 1 Oktober 1962, wakil
gubernur jenderal Belanda H. Veldkamp menyerahkan kekuasaannya atas
Papua Barat kepada sebuah badan PBB yang khusus dibentuk untuk mengurusi
masalah Papua tersebut. Badan PBB itu bernama UNTEA (United Nations
Temporary Executive Authority).
Pada acara penyerahan itu, H.
Veldkamp mengatakan : “Mulai saat ini, akibat persetujuan Indonesia
akibat persetujaun Internasional yang berhubungan dengan itu, maka tanah
dan bangsa Nieuw Guenea Barat telah ditempatkan di bawah kepemerintahan
yang baru : Penguasa sementara perserikatan bangsa-bangsa. Kedaulatan
Netherlands atas tanah ini telah berakhir. Tibalah suatau jangka waktu
yang baru, jangka mana berlangsung sampai pada saat pertanggunganjawab
atas pemerintahan diserahkan kepada Indonesia sepenuhnya.” (Mangasi
Sihombing, 2006:32).
4. Referendum (PEPERA)
UNTEA lalu
mempersiapkan referendum. Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan
pemerintahan Papua bagian barat kepada Indonesia. Hollandia yang tadinya
menjadi pusat kekuasaan kerajaan Belanda di Papua, diubah namanya
menjadi Kota Baru. Momentum 1 Mei ini hingga kini diperingati sebagai
Hari Integrasi Papua ke dalam NKRI.
Peristiwa sejarah 1 Mei
1963 di Papua, Bendera Indonesia dikibarkan berdampingan dengan Bendera
UNTEA (PBB). Foto : Dok. Kemenlu
Tiga hari kemudian, tepatnya 4 Mei
1963 Bung Karno menjejakkan kakinya di Tanah Papua. Di hadapan ribuan
orang Papua di Kota Baru, Bung Karno dengan semangan membara
menyampaikan pidato :
“Irian Barat sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk
dalam wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang berkata,
memasukan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. Salah! Tidak! Irian
Barat sejak daripada dulu sudah masuk ke dalam wilayah kekuasaan
Republik Indonesia…” (cuplikan pidato Bung Karno di Kota Baru, Jayapura,
tanggal 4 Mei 1963)
Pada 5 September 1963, Papua bagian barat
dinyatakan sebagai “daerah karantina”. Pemerintah Indonesia membubarkan
Dewan Papua dan melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua.
Keputusan ini ditentang oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Proses
persiapan referendum memakan waktu tujuh tahun. Baru pada tahun 1969,
referendum (PEPERA) digelar dengan disaksikan oleh dua utusan PBB.
Hasilnya, Papua akhirnya kembali ke pangkuan NKRI. Maka jadilah Papua
menjadi provinsi ke-26 Indonesia dengan nama Irian Jaya. Namun keputusan
ini lagi-lagi ditentang OPM dan sejumlah pengamat independen yang
diprovokasi Belanda.
Negara-negara Barat yang dimotori Amerika
Serikat mendukung hasil PEPERA itu karena tidak ingin Indonesia
bergabung dengan pihak komunis Uni Soviet.
Inipun belum berakhir.
Hasil PEPERA harus diuji dalam Sidang Majelis Umum PBB. Dan, lagi-lagi
sejarah mencatat, PBB akhirnya mengesahkan hasil PEPERA dengan sebuah
Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504 tanggal 19 Oktober 1969.
Bahwa
kemudian PEPERA diragukan keabsahannya, itu adalah bahasa kecewa
sekelompok aktivis Papua yang lahir jauh setelah PEPERA disahkan. Mereka
terus berupaya agar di Tanah Papua dilakukan referendum ulang. Padahal
mereka tahu bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan.
Maka kepada
generasi muda Papua yang sadar sejarah, mari kita fokus membangun Papua
untuk semakin maju dan sejahtera. Salam MERDEKA !!!
About suarakolaitaga
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
0 komentar :
Posting Komentar