Pdt ,Benny Giay |
Diketik oleh Farsijana Adeney-Risakotta menurut sumber aslinya, yang
disunting oleh Charles Farhardian, Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua: Benny
Giay (West Papua, Deiyai, 2007, hal.27-55)
Saya Benny Giay, lahir di Onago, sebuah desa di dekat Danau Tigi
tanggal 12 Januari 1955, menurut catatan misionari (ini tahun
perkiraan). Onago, kecamatan Wakeitei, sekarang merupakan bagian dari
kabupaten Paniai. Di Onago merupakan sebuah desa yang sangat besar,
dengan satu marga dan tujuh submarga. Orangtua saya merupakan kelompok
masyarakat pertama yang masuk Kristen. Sebenarnya, mereka masuk Kristen
karena usaha pimpinan keagamaan suku Me bernama Zacheus Pakage, beliau
menjadi subjek penulisan disertasi saya tahun 1995.
Segera setelah mereka mendengar tentang ajaran Zacheus, ayah, ibu dan paman saya (saudara tertua ayah yang merupakan kepala suku dan saat itu memiliki empat istri) merupakan orang-orang pertama yang masuk Kristen. Tetua adat lainnya dari desa kami pergi ke desa lain di mana Zacheus Pakage sedang bersiap-siap mengajarkan orang-orang. Orangtua saya pergi ke desa itu dua kali seminggu. Mereka belajar apa yang diajarkan oleh Zacheus dan setelah kembali ke desa mereka mulai manata dirinya, membentuk komunitas-komunitas Kristiani berdasarkan pesan Zacheus. Sebenarnya apa yang mereka pelajari intinya mengenai ajaran-ajaran keagamaan suku Me, hampir seperti Perjanjian Lama, Sepuluh Perintah Allah, jadi mereka mencoba untuk menformulasikan ajaran tersebut dan menerapkannya untuk diri mereka sendiri.
Beberapa waktu kemudian terjadi konflik antara Zacheus dan para misionaris (Barat), dengan Zacheus di satu sisi dan para misionaris serta pemerintahan Belanda di sisi lainnya. Para misionaris dari Christian and Missionary Alliance (CAMA/KINGMI) menganggap Zacheus mengajarkan Kristianitas yang keliru karena beliau mencoba memahami dan menginterpretasikan Kristianitas dengan tidak menolak secara keseluruhan keyakinan-keyakinan tradisional suku Me. Jadi, Zacheus mencoba merumuskan kembali ajaran-ajaran Kristen dengan menggunakan keyakinan-keyakinan agama suku Me pra-Kristen.
Contoh, beliau mengajarkan bahwa para misionaris CAMA mengajarkan kami tentang Tuhan, Sang Pencipta, yang sudah dkenal oleh nenek moyang kami. Itu lah mengapa para misionaris beranggapan beliau sedang mencoba memperkenalkan kembali keyakinan-keyakinan keagamaan non-Kristen. Menurut para misionaris CAMA, Tuhan yang mereka sembah tidak dikenal oleh masyarakat Me. Atas dasar itu lah Zacheus dikucilkan dari gereja. Namun sebelum ia dikucilkan, pada bulan April 1952, beberapa orang telah menyatakan ikrar kesetiaan, keyakinan, komitmen mereka untuk mengikuti Zacheus. Namun lagi-lagi, seperti saya sudah katakan, ia ditolak karena menurut para misionaris, Zacheus menyebarkan ajaran yang salah. Jadi dikucilkan karena kepercayaannya yang salah, serta dari tekanan pemerintah Belanda, Zacheus dijebloskan ke dalam penjara.
Jadi saya dibesarkan di dalam masyarakat ini. Pada tahun 1960-an, ayah saya bicara banyak tentang Zacheus, dan apa yang telah beliau lakukan. Percakapan itu mempengaruhi akal sehat saya sehingga setelah saya menyelesaikan studi di seminari teologi, saya menyelidiki kembali topik ini. Sebenarnya, disertasi saya mengenai Zacheus Pakage dan masyarakatnya.
Kemudian sekitar tahun 1965-66 orangtua saya mendorong saya untuk masuk ke sekolah Alkitab. Orangtua saya sangat terlibat di dalam gereja. Ibu saya, ayah saya, dan semua sub-marga saya sangat fokus pada komunitas-komuntas Kristen. Ketika orang lain menentang mereka, katakan dari gereja-gereja lain, seperti pendeta atau para misionaris, orangtua saya ada di sana untuk membela mereka. Itulah latar belakang saya.
Paman saya merupakan seorang pimpinan yang memiliki pengaruh. Namanya Widiyaibiwode Giay. Tahun 1956, ketika ia mendengar bahwa para misionaris CAMA membuka wilayah-wilayah lainnya di Pegunungan tengah dan mencoba membawa ajaran Kristen ke mereka, paman saya ada di sana untuk menolong mereka. Saya ingat ketika paman saya, ayah saya, dan sekelompok masyarakat pergi ke sana untuk membantu membawakan koper para misionaris. Mereka pergi menuju Ilaga dan bekerja untuk para misionaris membangun landasan terbang di Ilaga. Tentu mereka mendapatkan bayaran karena telah memberikan bantuan. Mereka mendapatkan megee (bahasa Me: yang dipakai sebagai uang sepanjang pegunungan tengah dari pulau New Guinea) dan kapak baja. Tetapi mereka di sana untuk membantu para misionaris membangun sebuah rumah dan landasan terbang darurat. Suatu ketika, paman pernah berkata bahwa bila orang lain menjadi umat Kristen maka mereka akan membantu masyarakat untuk membangun kebersamaan yang lebih baik. Tidak seorang pun yang akan memiliki rasa takut, tidak akan ada perang, tidak ada kecurigaan satu sama lain. Pada suatu Minggu, paman saya, yang juga merupakan tetua adat, menantang orang-orang untuk menjadi Kristen, ia berkata, “Mungkin kita akan mengalami suatu transaksi dagang yang lebih baik setelah kita menjadi Kristen”. Ia juga mengatakan ini kepada tetua adat Damal ini dan orang itu lalu menjadi pemeluk Kristen.
Orangtua saya juga menjadi Kristen karena paman saya. Menurut orangtua saya, tetua adat dari Damal ini, yang merupakan salah satu dari orang-orang paling awal yang menjadi Kristen, memengaruhi suku-suku lainnya. Dari sana, orang-orang Damail dari Ilaga menjadi Kristen, diikuti oleh orang-orang Dani. Ini menginspirasikan gerakan pembakaran jimat di Lembah Ilaga. Itu lah gerakan masyarakat Ilaga. Ketika masyarakat menjadi Kristen mereka membuang jimatnya.
Orang tua saya sangat terlibat, semampu mereka bisa. Ketika saya tamat sekolah dasar, orang tua saya menginginkan saya masuk ke sekolah Alkitab, tapi saya tidak tertarik. Jadi saya masuk SMP di Tiom, yang merupakan kali pertama saya berpisah dari orang tua saya. Namun saya menikmatinya.
Saya juga merasa kesepian, namun saya rasa meninggalkan desa adalah sesuatu yang baik untuk saya, ibu saya sangat kuat, dengan kepribadian yang kuat. Beliau adalah orang yang akan mengatakan apa yang harus Anda kerjakan sepanjang waktu dan saya tidak suka itu. Beliau memukul bokong saya jika saya tidak patuh padanya dan itulah mengapa, ketika tiba waktunya untuk saya meninggalkan desa, saya merasa senang. Saya berusia sekitar 14 tahun saat itu.
Penerbangan MAF ke Tiom memakan waktu sekitar 1 jam 20 menit. Di Tiom kami mulai masuk sekolah awal Januari, 1960. Saya menyelesaikan sekolah SD saya pada bulan November, 1967. Pada bulan Januari, 1968 saya sudah masuk SMP di Tiom. Kami memiliki masa-masa indah di sana. Kami memiliki guru-guru yang sangat Kristiani di sana. Kami membaca banyak buku dan saya membaca sebuah buku tentang Martin Luther, yang diterbitkan oleh Kalam Hidup. Di sana ada SMP yang sangat Kristiani, dan mereka memiliki banyak buku. Anda tahu? Saya banyak membaca.
Membaca merupakan aktivitas yang saya lakukan setelah pulang sekolah. Ayah saya tidak dapat membaca, tetapi ibu saya dapat membaca dan karena itu ia mendaptakan beberapa buku dari para siswa sekolah Alkitab Me.
Pada tahun 1975,saya mendapatkan beasiswa jadi saya tidak punya masalah untuk menyongkong study saya. Kemudian saya mulai terlibat didalam pelayanan kampus. Saya menjadi ketua pemuda dan kami melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan untuk mahasiswa. Kami menyelenggarakan sekolah alkitab-singkat untuk siswa-siswa disekolah pendidikan guruyang sudah lulus, yang pulang kekampung halamannya masing-masing. Saya katakaeorang gun, “Jika kamu seorang guru dan sekolah disebuah desa, pergi lah ke sana dan jadilah sebagai terang, bukan sekedar mengajar matematika atau olahraga, kamu kesana juga untuk mengajarkan orang-orang tentang Tuhan dan hukumNya.”
Kami melakukan ini dengan teman-teman kami yang sangat baik yang sudah lulus beberapa tahun sebelumnya. Kami juga menyelenggarakan retreat pemuda. Saya ingat retreat empat hari untuk pemuda dari Jayapura. Banyak anak muda datang untuk mengenal Tuhan di sana. Menurut saya beberapa teman saya yang melayani Tuhan di gereja datang untuk mengenal Tuhan melalui retreat ini. Saat saya SMP, salah satu guru sekolah kami adalah seorang perempuan bernama Ibu Lydia Karechi, seorang perempuan Kristen yang sangat baik. Beliau kepala baptis pertama disini. Perempuan ini digunakan oleh Tuhan. Cara wanita ini memperlakukan kami sangat mempengaruhi saya. Oh, beliau perempuan yang sangat manis, seorang guru sekolah yang sangat manis yang benar-benar ingin menyampaikan sesuatu kepada kami. Beliau mengajar bahasa inggris pada saat itu, dan beliau membagi hidupnya kepada kami. Saat saya disekolah pendidikan guru, saya juga mempunyai guru-guru yang sangat baik dan itulah mengapa saya juga ingin menjadi guru,benar!
Selama tahun-tahun saya di kuliah, saya mempunyai sahabat karib, orang Me yang benar-benar memiliki komitmen untuk Tuhan. Ia menerima gaji dari pemerintah, namun ia menggunakan semua uangnya untuk Tuhan hingga ia tidak menikah. Ia meninggal. Namanya Willem Jouw. Maksud saya orang-orang inilah yang memberikan sesuatu kepada saya. Sampai tahun 1992, ketika saya berangkat ke Belanda, orang ini mensponsori para pendeta dan sekolah-sekolah Alkitab, dan juga siswa-siswa yang ada di Abepura. Beliau merupakan salah satu dari mereka yang and dibaca di Alkitab. Orang-orang ini seperti Hudson Taylor dan David Livingstone. Suatu ketika saya bertanya kepadanya, “Willem, kamu tidak memikirkan dirimu sendiri,masa depanmu. Kamu harus menikah.” Beliau menjawab “Tuhan akan memelihara saya.” Saya inget ketika saya akan pergi ke Belanda beliau datang kerumah saya untuk terakhir kalinya, Maret 1993. Saya katakan, “Willem, kamu tidak berubah. Kamu mengabiskan semua uangmu untuk para pendeta kita.”
Selama tahun kedua kuliah, dekan fakultas pendidikan berkata, “Benny, kami pikir kamu memenuhi syarat untuk menjadi dosen disini, kamu bisa mengajar di UnCen, jadi terimalah ijazah mengajar ini.” Dan saya menjadi asistennya. Saya ingat pada hari-hari itu kami menerima beberapa buku dari Asia Foundation, yang sedang menyerahkan buku untuk Universitas Cendrawasih dan saya ada di sana untuk melihat-lihat buku psikologi dan konseling. Saya mendapatkan beasiswa, namun saya mendapatkan gaji dari menjadi asistennya. Gaji saya saat itu hanya diberikan satu kali setahun. Jadi saya mendapatkan sekitar 100.000 per tahun dan sekitar 15.000 per bulan dari beasiswa. Tapi itu cukup.
Pada saat itu, saya juga tertarik membuat pelayanan saya untuk menjual buku. Karena jika Anda membaca buku pikran Anda dapat melanglang ke mana saja. Suatu kali saya pergi ke Jayapura dan saya bersua dengan perempuan keturunan Cina, warga negara Amerika, yang menikah dengan seorang pria Cina, seorang misionaris, ibu Grace Chung. Beliau menjadi misionaris untuk China bersama Christian Literature Crusade, yang merupakan layanan orang-orang yang menjual buku-buku.
Dan mereka menjalankan usaha took-toko buku. Suami perempuan ini terbunuh di Cina, tapi beliau pergi ke Cina lagi dan mengajukan diri kembali ke layanan misionaris. Maka beliau dikirim ke Surabaya, dari Surabaya beliau merasa terpanggil untuk pergi ke Papua. Di Papua beliau mulai membuka took buku di Sorong. Beliau berpikir untuk pindah kesini ke Jayapura dan mulai membuka took disini. Beliau sudah sangat tua saat itu.
Saya turun ke Jayapura pada pukul 04:00 pagi dan saya melihat perempuan ini. Beliau sedang sibuk memindahkan buku-bukunya. Saya ingin membantunya, karena itu saya ikut membawakan dua kardus buku dan mengambil buku itu dari kantor pos ke toko bukunya. Saya katakana “Mama, saya di sini. Saya ingin menolongmu.” Seperti itulah. Beliau tidak menanggapi saya, namun menurutnya beberapa waktu kemudian, beliau menggangap tindakan saya saat itu bagus sekali. Suatu saat beliau pergi ke kantor CAMA dan berkata, “Saya bertemu dengan seorang anak muda yang sangat baik. Ia sangat membantu saya. Saya bertanya-tanya siapa gerangan dirinya?” Ann Grinnell sedang bekerja di sana saat itu. Ann Berkata, “Ia pasti Benny. Saya akan tanyakan kepadanya.”
Saya tahu bahwa ibu Chung sedang mencari saya, karenanya saya pergi menemuinya. Kemudian saya bekerja untuknya. Saya tiba dan kembali mengatakan, “Mama, saya di sini . Apa yang bisa saya lakukan untukmu?” Beliau berkata, “ Kamu jaga buku-buku ini, Saya akan pergi ke kantor pos.” “Baik,” kata saya. Beliau berkata, “Saya akan membayarkan ongkos taksimu dari Jayapura ke Abepura setiap hari.” Saya katakana “Baik.” Jadi itulah kali pertama saya mulai membantunya menjual buku dari pukul 5:00-8:00 sore hari. Pada akhirnya, ketika saya menyelesaikan studi saya, beliau berkata, “Benny,bagaimana kalau kamu masuk sekolah alkitab?” Saya jawab, “Baik, Mama, itu boleh juga.”
Selain ibu Chung, ada tiga misionaris yang bekerja dengan saya yang mempengaruhi saya. Ann Grinnell, Dave Eckman, dan Edai Hansen. Dave merupakan seorang misionaris CAMA yang bekerja untuk pemuda. Para misionaris ini benar-benar membantu saya untuk bertobat. Mereka membantu saya yang benar-benar ingin bertumbuh di dalam Tuhan. Orang-orang ini orang-orang yang hebat.
Setelah saya lulus dari UnCen, Dave Eckman berkata, “Benny, Saya ingin kamu pergi ke Manila.” Saya jawab dengan bercanda, Masa sih, kamu serius?” Kami biasanya bercanda seperti ini- -,”Ya. Ya,” saya menjawabnya. Dave mengatakan bahwa saya harus menemui Rev.Josia Tebay, yang merupakan kepala Sinode waktu itu, untuk mendapatkan rekomendasinya. Saya perlu mendapatkan rekomendasi Rev. Tebay untuk mendapatkan beasiswa belajar. Saya pikir saat itu, “Baik, saya menikmati pekerjaan saya di sini, namun kerena Dave meminta saya, saya tertarik dengan pilihan baru itu juga dan saya ingin melaksanakannya.” Jadi saya pergi menemui Rev.Tebay, yang memberikn rekomendasi untuk saya. Jadi saya masuk Asian Theological Seminary di Manila dengan beasiswa Asian Theological Seminary merupakan sebuah seminari penginjil interdenominasi. Saya belajar di sana dari tahun 1980 sampai 1983,dan mendapatkan gelar master Teologi.
Tempat itu merupakan sekolah seminari penginjil yang berbeda. Saya membaca bahasa Yunani dan Yahudi, dan semua doktrin-doktrin kepenginjilan. Salah satunya masalah yang saya hadapi di sana adalah saya harus mencoba menggangkat beberapa permasalahan yang kami alami di gereja di Papua. Contohnya, “Bagaimana dengan ilmu sihir dan guna-guna?” Saya tanyakan kepada professor ilmu teologi saya, “Anda tahu, di desa saya orang-orang percaya pada makhluk gaib yang dapat memberikan mereka berkah material, dan semua yang perlu Anda lakukan hanyalah mengikuti aturan mainnya.” Kemudian saya berpikir, “Ya, mungkin orang Papua hanya memerlukan pendidikan.” Saya pikir jika orang Papua memiliki pendidikan yang cukup mereka dapat meninggalkan kepercayaan-kepercayaan kuno itu, jadi saya pikir saya hanya harus mengajarkan mereka. Saya pikir, :Baik lah, saya akan memberikan serangkaian pengajaran kepada orang-orang Papua agar mereka dapat bebas dari praktek-praktek tradisional ini.”
Namun kemudian pikiran saya berubah. Contohnya, saya sekali waktu kembali ke Papua dan mengunjungi orangtua saya. Hari itu hari Minggu. Ibu saya berkata, “Jika kamu pergi ke gereja, kamu harus pulang ke rumah dengan segera karena banyak pawang guna-guna dan sihir di mana-mana, dan mereka akan membunuhmu. Jangan berbicara kepada orang-orang itu.”
Saya tidak belajar hal itu di seminari. Saya tidak diperlengkapi untuk menangani hal seperti itu. Saya pikir, “ Bagaimana dengan semua doktrin-doktrin dasar Kristen, semua buku-buku itu? Saya habiskan berjam-jam untuk membacanya.” Saya pikir, “ Ini lah aku, seorang manusia yang lemah, sama seperti orang-orang kuno, meski saya sudah belajar.” Hal itu menyebabkan krisis bagi saya. Saya mulai mempertanyakan pelayanan saya, hal-hal yang saya sudah pelajari sebelumnya. Ini merupakan dua dunia yang berbeda. Saya hampir meninggalkan kepercayaan dunia penginjilan, namun disini dengan orang-orang desa saya, bersama orang tua saya sendiri, saya berjuang untuk menjadi seorang Kristen. Itulah pertama kalinya saya memikirkan sejarah, saya mulai memikirkan antropologi, saya mulai memikirkan ilmu-ilmu pembangunan. Saat itu, karena saya dapat membaca dalam bahasa Inggris, saya mulai membaca buku-buku tentang orang Papua yang ditulis oleh orang Amerika dan orang-orang Belanda.
Itulah waktunya saya mulai memahami mengapa orang-orang kami (orang-orang Papua) mempercayai hal-hal gaib, seperti guna-guna dan ilmu sihir. Maka kemudian saya berpikir, “Ya, saya harus belajar dengan sungguh-sungguh. Saya sudah mempelajari semua pengetahuan ini di Manila sampai saya memahami bahwa orang-orang ini (orang-orang Papua pedalaman sebagai orang yang tidak tahu apa-apoa.” Tapi pertanyaan-pertanyaan ibu saya, permintaan-permintaan ibu saya, membuat saya berpikir. Saya merasa terbuka dengan orang-orang saya sendiri, tradisi, budaya, dan sejarah mereka. Kemudian saya mulai berpikir mengenai pentingnya membangun pemahaman Kekristenan sendiri dari sana. Itulah awalnya.
Sejak 1986-87 saya mulai berhubungan dengan beberapa orang Papua New Guinea melalui Institut Melanesia. Dan saya mulai belajar bagaimana orang – orang dan gereja di Papua mengatasi permasalahan-permasalahan, permasalahan politik dan permasalahan praktis, permasalahan agama, karena ini semua merupakan permasalahan konstekstualisasi. Maka kemudian terciptalah penghubung untuk masyarakat. Saya tidak memberikan jawaban kepada mereka, namun saya tahu apa yang dipikirkan dan mengapa orang-orang Papua ini berpikir demikian.
Tahun 1988-89, ada kawan baik saya bernama Jan Godschalk, seorang kawan yang baik. Beliau tahu banyak mengenai Papua. Beliau merupakan misionaris RBMU (Regions Beyond Missionary Union). Dan beliau telah mencoba untuk mengangkat permasalahan ini di dalam lingkaran RBMU, namun saya pikir beliau tidak diterima. Kami dapat berbincang dengan baik. Dan saya menghadapi permasalahan yang sama, seperti yang dihadapinya, dengan para misionaris CAMA, namun beberapa di antaranya curiga dan mulai berpikir bahwa saya bukanlah seorang Kristen. Namun saya ingin menyelamatkan orang-orang saya dan membangun pemahaman dan realitas di dalam konteks masyarakat di sini. Para misionaris itu hanya ingin membawa orang –orang Papua ke dunia misionaris, tetapi mereka tidak bekerja dengan orang-orang Papua di dalam konteksnya.
Di titik itu saya merasa sedang menuju ke arah yang berbeda dengan misionaris kebanyakan. Namun Jan dan saya menghabiskan banyak waktu untuk berdiskusi. Beliau adalah seseorang yang setidaknya ada untuk mendengarkan saya. Beliau salah satu orang yang sangat membantu saya, seperti penentuan arah untuk pelayanan ke depan saya. Beliau tahu banyak mengenai orang Papua dan banyak membaca. Beliau, tentunya, sangat kritis terhadap tradisi penginjilan. Beliau benar-benar meluaskan pandangan saya dan beliau salah satu orang yang sangat merekomendasikan saya untuk pergi ke Belanda. Sebenarnya beliau berasal dari Belanda.
Izinkan saya untuk menuturkan cerita lainnya. CAMA melakukan konferensi di Hong Kong dan saya diundang untuk menghadirinya. Saya pergi menemui teman saya, yang memberitahu kepada saya bahwa mungkin sekitar empat hari lagi Professor Pim Schoorl akan berada di Jakarta. Ia katakan, “Kamu harus menemuinya”. Pada saat itu saya sudah menulis beberapa buku, buku saku, karya tulis singkat, dan artikel untuk koran lokal Indonesia. Jadi saya pergi ke Jakarta dan pergi ke toko buku Belanda-Indonesia, KITLV (Koninklijk Institut Voor Taal-,Land-en Volkenkunde; Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies). Professor Schoorl merupakan kepala KITLV. Ketika saya tiba di toko buku itu, saya berkata kepada karyawan toko bahwa saya ingin membeli beberapa buku, namun terlebih dahulu saya ingin tahu apakah professor Schoorl ada di sana. Professor Schoorl keluar dan menemui saya, kemudian ia memanggil supir dan membawakan mobilnya. Beliau mengatakan akan kembali ke hotel, tapi saya dapat pergi bersamanya agar kami bisa bercakap-cakap. Jadi saya membeli beberapa buku, kemudian mengikutinya.
Saya katakana kepada professor Schoorl, “Saya ingin pergi ke Belanda untuk belajar, apakah itu mungkin?” Ia menjawab, “Baik, saya akan baca beberapa karya tulismu dan akan mengabarimu. Saya tidak akan memberikan janji, tapi saya akan menyuratimu.” Pada saat itu, professor Schoorl juga merupakan penasehat untuk Dutch Reformed Church di Belanda yang merupakan gerejanya di sana. Sekitar tiga minggu setelah itu saya menerima sepucuk surat dari professor Schoorl yang mengatakan bahwa saya dapat belajar di Belanda. Ia mengirimkan saya formulir pendaftaran dan saya mulai menyelesaikan surat-surat aplikasi saya. Professor Schoorl juga menyebutkan bahwa Dutch Reformed Church di Belanda akan mensponsori saya. Lalu, tahun 1991 saya berangkat ke Belanda untuk studi S3 di Free University, Amsterdam.
Istri saya saat itu adalah Rukiah. Rukiah sangat bosan tinggal di Manila. Tuhan memilihnya untuk saya. Kami bertemu pada Januari 1986. Saat itu saya sedang menjadi pengajar di Ujung Pandang selama satu tahun, tapi kemudian saya diminta mengajar di Kalimantan di kelas ekstensi seminari. Jadi saya tinggal dan mengajar di Kalimantan selama tiga tahun. Di sanalah saya bertemu dengan Rukiah, yang sedang menjadi pengajar di sekolah tinggi teologi. Rukiah adalah lulusan dari SekolahTinggi Teologi Jaffrey di Makasar (Ujung Pandang).
Rukiah dan saya bertemu di Kalimantan dan membicarakan tentang kehidupan dan pelayanan. Kami saling memberikan tulisan. Kemudian, saya katakan, “Baik, mungkin kita harus menikah.” Hanya seperti itu. Ia jawab, Saya harus tanyakan orangtua saya.” Sebenarnya, beberapa saudaranya pernah bekerja di Paniai pada tahun 1940-an, jadi mereka memiliki semacam hubungan dengan Papua. Dan orang tuanya adalah seorang pendeta dan sangat aktif di pelayanan. Akhirnya, Desember 1986 kami menikah. Di tahun-tahun pertama istri saya merasa kesulitan dengan pekerjaan saya di sini. Kami menikah di kampung halamannya Rukiah di Kalimantan Timur. Kami melewati masa-masa sulit. Saya katakan, “Baik, saya katakan kepadamu bahwa saya tidak akan berada di sini di Makasar. Disini seperti di surga-- segalanya ada di sini, ayo kita mulai dari awal,kita telusuri bersama.” Rukiah tahu bahwa saya selalu mencari hal-hal yang baru. Hidup di Makasar sangat nyaman. Kami berdua mengajar dan mendapatkan dua gaji. Namun saya masih ingin mencari yang lain lagi.
Saya katakan,”Rukiah, ayo kita pergi. Tuhan akan memberikan kita banyak hal.” Dan beliau setuju. Jadi kami sepakat tinggal di Papua. Namun menjelang keberangkatan kami, orang-orang CAMA menyurati saya, “Hai,jangan kembali, kami tidak memiliki gaji untukmu. Gereja di sini sudah sangat miskin.” Surat itu merupakan surat yang sangat penting bagi saya. Saya menagis ke Tuhan, “Tuhan, saya ke sini bukan untuk melayani gereja ini, saya ingin melayaniMu.” Saya katakan ke Tuhan. Saya kecewa. Yang saya inginkan hanyalah di terima oleh mereka. Namun ini merupakan surat yang sangat mengecewakan karena tidak adanya gaji. Saya tanyakan diri saya, “Saya disini bekerja untuk Tuhan.” Saya katakan, “ Saya ingin Tuhan katakan kepada saya apa yang harus saya lakukan.” Saya beritahukan istri saya kalau saya akan berdoa.
Saya ingat pada saat itu Tuhan memerintahkan saya untuk pergi. Saya ayat Alkitab, Matius 28, “Pergi… kamu tidak akan ditolak” Saya mendapatkan kedamaian karena itu saya katakan kepada Rukiah, “Ayo kita pergi! Ayo kita pergi!” Itu lah saat kami kembali ke Papua. Kami tiba dan syukurlah istri saya membawa matras untuk alas tidur. Kami tidak memiliki apa-apa. Hanya ada kompor yang sudah jelek dan kami membawa beberapa celana dan istri saya sangat pintar. Saat tiba kami hanya membawa beberapa bungkus mie dan menggunakan kompor yang sangat kecil.
Jadi tahun 1987 kami tiba di Papua. Rukiah memiliki peran yang sangat besar dalam pelayanan. Ia menyelamatkan hidup saya pula. Saya menderita bisulan dan ia merawat saya sampai sembuh. Itu lah Rukiah, ia sangat taat, setia pada pekerjaan.
Rukiah dan saya pergi ke Belanda bersama-sama dan kami tinggal di sana selama empat sampai lima tahun, dari sekitar bulan September 1990 sampai Juni 1995. Namun selama masa itu, dari Juni 1991 sampai Maret 1992 , kami pulang kampung ke Papua utnuk melakukan penelitian. Kami bertemu dengan beberapa orang yang mengangumkan di Belanda. Mereka di sana benar-benar menolong kami. Salah satunya adalah Rev. Slob merupakan sekertaris pada Dutch Reformed Church. Rev. Slob merupakan salah satu sahabat terbaik saya . Rev. Slob pernah berkata pada saya, “Benny, kita adalah sahabat dekat, tapi saya ingin mengatakan hal ini, saya di sini atasan, karena itu jangan terlalu akrab, tidak baik bagi kita menjadi terlalu akrab karena itu akan mempengaruhi kebijakan saya.” Perkataan itu cukup penting, karena ia ingin menyokong pekerjaan saya namun tetap melakukannya secara objektif. Saya suka itu. Anda tidak akan menemui pria semacam ini sekarang. Saya lihat orang ini sangat penting, ia dapat membantu Anda, berbicara dengan Anda, dan tertawa bersama Anda, dan terkadang mengkritik Anda.
Ada kejadian lucu, karena ketika saya berencana untuk pergi ke Free University, di Amsterdam, Saya mendapati bahwa professor Schoorl akan menjadi penasehat akademi saya. Namun pada saat saya tiba, professor Schoorl sudah pensiun. Professor Peter Kloos, ketua jurusan, menanyakan saya, “ Apa yang ingin Anda pelajari di sini ?” Beliau berkata, “Benny, saya akan memberi anda waktu dua bulan untuk membaca buku yang anda punya mengenai Melanesia dan Pasifik. Kemudian temui saya dan saya akan menanyakan Anda beberapa pertanyaan sebelum saya membimbingmu.” Maka saya membuat daftar buku dan mempresentasikan ringkasannya kepada beliau. Setelah ia melihat ringkasan yang saya buat, ia mengajukan pertanyaan, “ Apa yang anda butuhkan dari studi ini? Saya jawab, “Saya punya masalah ini. Saya belajar teologi. Gereja mengirimkan saya untuk belajar teologi dan saya sudah berlatih di bidang teologi dan memiliki pengetahuan tentang apa itu sebenarnya teologi, tapi saya sadar saya tidak dapat memaksakan orang-orang ini (orang-orang Papua) untuk menjadi seperti saya. Mereka hidup di dunia yang tertinggal dan saya ingin membangunkan jembatan.” Beliau berkata, “Benny, saya suka Anda karena Anda terbuka. Jadi, lain kali Anda datang ke sini, Anda harus memanggil saya ‘Bapa’ (Peter), jangan panggil saya ‘professor,’ Karena kita adalah teman.”
Kemudian ia berkata, “Baik lah, saya akan memasukan Anda ke beberapa kursus mengenai antropologi politik, antropologi agama, antropologi dan pembangunan, metodologi riset, dan sebagainya. Saya akan tunjukan fakultasnya dan Anda akan belajar di sana. Setelah lulus, anda dapat mengerjakan tesis, namun pastikan tesis Anda berkaitan dengan apa yang Anda lakukan nanti setelah pulang ke daerah Anda. Saya kataka, “ Apa yang ingin saya lakukan adalah memahami bagaimana orang-orang saya mengadopsi nilai-nilai Kristianitas. Bagaimana orang-orang di kampong mengenal Kekristenan. Dan dari saya saya ingin mengembangkan suatu pemahaman baru, suatu teologi baru, teologi orang Papua Barat. Beliau merespon, “Baik.” Setelah itu saya menyiapkan proposal sambil mengikuti kursus-kursus seperti antropologi, antropologi agama, dan etnohistoris. Itu lah yang saya lakukan. Ia mengundang saya untuk menghadiri beberapa seminar. Saya juga pergi ke Oslo, Norwegia dan menyajikan beberapa makalah di sana.
Di Belanda, Rev. Jasper Slob dan Peter Kloos sangat membantu saya. Kloos pernah menjadi professor di University of Leiden, namun kemudian diangkat untuk menjadi professor di Free University. Kloos ingin melakukan penelitian di Papua pada awal tahun 1960-an tapi tidak bisa datang karena konflik politik antara Belanda dan Indonesia, jadi beliau pergi ke Suriname untuk melakukan penelitiannya. Saya menikmati hidup saya di Belanda; kami memiliki kawan-kawan yang sangat baik untuk membantu kami kerasan menetap di Belanda. Segera setelah tiba di Belanda, kami harus melaporkan diri ke kepolisian di Amsterdam. Ketika saya menyelesaikan studi saya pada bulan Juni 1995, saya terkejut bahwa studi saya di Belanda di muat di koran-koran Belanda.
Beberapa surat kabar itu menuliskan, merujuk ke saya, “Ini telah diabaikan. Ini menjadi cerita yang sangat bagus. Beberapa koran kampus menjadikan penelitian saya sebagai teras berita mereka. Saya masih punya klipingnya. Beberapa diantaranya membandingkan Zackeus dengan gerakan Simon Kimbango di Afrika. Saya bahkan beberapa kali di waancarai di Belanda. Ada sekitar tiga surat kabar yang meliput penelitian saya. Saya merasa menjadi bagian dari masyarakat Belanda, khususnya Zendinghuis (tempat dimana saya dan keluarga saya tinggal waktu saya belajar di Universitas). Saya tersentuh mungkin orang-orang Belanda ini menangis saat saya meninggalkan Belanda. Kami juga, kami menangis. Saya pikir mereka benar-benar memahami maksud saya dalam melakukan penelitian. Setelah kami tiba di Papua mereka masih membantu kami dengan berbagai cara. Orang-orang di Belanda benar-benar menginginkan saya untuk kembali ke sana. Beberapa di antaranya merasa bahwa jika saya tidak mendapatkan pekerjaan, saya masih bisa mendapatkan posisi mengajar di Jawa, di Universitas Satya Wacana.
Jadi Rukiah dan saya kembali ke Papua pada tahun 1995 dan saya mulai mengajar di Sekolah Tinggi Teologi (STT)-Walter Post dekat Jayapura. Awalnya saya tidak ingin kembali mengajar di STT-Walter Post. Saya pikir saya akan menemukan hal-hal baru untuk dilakukan, tapi istri saya, Rukiah, tidak akan senang jika saya meninggalkan sekolah. Akhirnya, kami memutuskan untuk mengajar kembali dan pada tahun 1995 hal lain yang berkembang , diluar pengetahuan saya, yang menyeret saya ke dalamnya, adalah gerakan perjuangan hak-hak asasi manusia. Itu Karena pada bulan Agustus 1995 ada laporan yang dikeluarkan oleh beberapa LSM di Papua. Selanjutnya laporan itu di terbitkan oleh Uskup Katolik Muninghof di Jayapura. Laporan itu mengenai orang-orang Papua yang dibunuh oleh Militer Indonesia dari bulan Juni 1994 sampai Mei 1995. Beberapa orang yang dibunuh adalah pendeta, para pendeta KINGMI. Seorang pendeta di tembak mati pada tanggal 25 Desember, pada hari Natal, ketika ia sedang berkhotbah. Menurut saya ini harus menjadi sesuatu yang harus diperhatikan oleh gereja. Saya pikir kami harus membicarakan hal ini. Peristiwa ini menjadi perhatian kepastoran.
Bagi saya gereja tidak bisa membiarkan hal ini berlalu tanpa memberikan pernyataan atau menentukan posisi. Itu lah awalnya saya mulai bekerja dengan orang-orang Katolik dan LSM, Karena saya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada saat itu, John Rumbiak adalah direktur ELSHAM (Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia), sebuah organisasi pembela hak asasi manusia di Papua. John melakukan penelitian yang ekstensif dan mendalam mengenai laporan ini sebelum di terbitkan. Ia menceritakan kepada saya apa yang terjadi.
Saya dipindahkan. Gereja tidak bisa diam setidaknya dengan dua alasan. Pertama insiden-insiden intimidasi dan pembunuhan ini bukanlah hal yang baru dan gereja KINGMI ada disana. Sebenarnya, pimpinan gereja KINGMI ada disana, namun ia tidak membuat laporan, sementara pada saat yang bersamaan laporan ini sudah diketahui oleh dunia luar. Dan gereja KINGMI tidak meresponnya. Jadi saya ada disana untuk mendengarkan apa yang telah di temukan oleh LSM dan aktivis HAM setelah melakukan penelitian selama delapan bulan mengenai topik ini. Suatu ketika ia mengatakan bahwa gereja harus memperhatikan permasalahan ini. Karena setidaknya satu kejadian memakan korban para pekerja gereja, dua pendeta, yang terbunuh tanpa ada penyilidikannya. Mereka ditembak begitu saja ketika militer Indonesia masuk tanpa bukti atau penelitian. Bahkan tanpa interogasi.
Kedua, menurut saya, gereja merupakan satu-satunya organisasi, satu-satunya institusi, yang hidup bersama masyarakat di sana. Masyarakat mengetahui hal itu; gereja telah menjadi bagian dari kehidupan nyata. Gereja di sana menjadi satu-satunya agen yang melaluinya orang-orang dapat mengetahui dunia. Saya pikir gereja ada di sana untuk membantu hak-hak masyarakat. Salah satu aktivis HAM, seperti John Rumbiak, mengatakan bahwa orang-orang Papua tidak mencari Kristianitas, mereka tidak meminta Freeport untuk datang. Mereka tidak meminta Indonesia datang. Tetapi mereka semua datang ke sini. Tidak ada seorangpun meminta Kristianitas, Freeport dan orang Indonesia untuk datang. Mereka telah datang dan merusak hidup kami. Ini lah yang dikatakan oleh beberapa aktivis LSM.
John mengatakan bahwa jika gereja diam, siapa lagi yang akan diam? Semua hal ini mempengaruhi kehidupan saya, mempengaruhi saya. Lambat laun saya mulai terlibat dalam permasalahan ini. Dan saya berpikir, baik mungkin saya dapat menggunakan pengetahuan saya untuk melayani orang-orang ini. Dari saat itu saya sangat terlibat tidak saja dengan LSM-LSM Katolik dan Protestan di Papua, tapi juga dengan LSM-LSM di Jakarta untuk mencegah berulangnya pelanggaran hak-hak asasi manusia di Papua. Ada yang sangat menarik bahwa pada tahun 1998, setelah tahun-tahun terjadinya konflik, banyak orang papua mulai keluar dan meneriakkan aspirasi dan kekecewaan mereka. Mereka kecewa karena telah di peralat. Karena tanah mereka telah dirampas, budaya mereka telah ditekan, dan dipaksa untuk menjadi orang Indonesia. Mereka ingin menjadi dirinya sendiri. Mereka ingin menjalankan kehidupannya sendiri; mereka ingin bebas. Dan saya pikir, “Baik, saya bukanlah orang luar, saya bagian dari semua ini.” Jika orang-orang berkata, “Kami sudah jemu denganmu orang Indonesia, pulanglah kalian,” sebenarnya mereka mengekspresikan perasaan saya, perasaan saya sendiri. Jadi saya merasa seperti salah satu dari mereka.
Sejak tahun 1996 orang sudah melepaskan posisinya dari target penjajahan dan pembangunan. Mereka keluar dan berteriak, “Sudah cukup. Sekarang kami ingin menjalankan negeri ini. Sekarang kami ingin merumuskan masa depan kami. Kami ingin menyusun agenda kami sendiri untuk masa depan kami sendiri.” Sentimen ini diekspresikan dengan berbagai cara. Terjadi kerusuhan di mana-mana, di Nabire dan di kota lainnya. Juga di Timika pada tahun 1996. Pasar Abepura habis terbakar. Sentani juga. Biak, Sorong.
Saya pikir berdasarkan keseluruhan konteks ini, kami orang-orang gereja seharusnya berperan aktif melakukan mediasi atau mungkin kami dapat menjadi forum untuk dialog, untuk menyusun agenda transformasi dan perubahan. Pada bulan oktober 1997 kami mulai mengupayakan dialog antara pemerintah Indonesia dan Papua. Persiapan untuk dialog ini memakan waktu sekitar lima atau enam bulan.Dialog dilaksanakan pada bulan Februari 1999.
Ada 100 orang Papua yang pergi ke Jakarta untuk berdialog dengan presiden Habibie untuk menyampaikan pengalamannya di jajah Indonesia. 100 orang Papua tersebut (Tim 100) mewakili organisasai gereja,LSM,masyarakat adat Papua, kelompok perempuan dan mahasiswa. Berdasarkan rencana kami, Karena saya pada saat itu sangat terlibat dalam menyampaikan kerangka acuan, kami berpandangan bahwa itu merupakan langkah pertama untuk melakukan dialog dimana rakyat diberikan waktu untuk menyatakan pengalaman mereka.
Mereka mengekspresikan pengalamannya sebagai orang Papua langsung di depan presiden Habibie, presiden Indonesia ini, menyadari permasalahan-permasalahan yang dikemukakan kepadanya dalam dialog tersebut, berkata” Kalian maafkan lah mereka, maafkan lah mereka yang telah menyiksa kalian. Kalian kembali lah ke Papua dan renungkan apa yang sudah kalian sampaikan kepada saya.” Pada saat itu kelompok 100 mengatakan bahwa mereka ingin membentuk negara Papua Barat yang merdeka. Presiden mengatakan kepada mereka bahwa mereka harus kembali ke Papua dan merenungi dan mendiskusikannya untuk nanti kembali menemuinya.
Pada saat itu ia juga mengatakan bahwa harus ada pembahasan lanjutan, pertemuan lanjutan. Namun ini tidak terjadi karena lebih banyak lagi militer yang dikirim ke Papua untuk menghentikan gerakan setelah dialog tersebut. Terjadi terror, intimidasi terhadap mereka yang terlibat dalam dialog. Beberapa diantaranya di bunuh. Ada laporan mengenai hal itu. Itu terjadi ketika orang-orang Papua mulai membentuk SATGAS Papua(Satuan Tugas) .
SATGAS Papua merupakan satuan tugas untuk melindungi rakyat Papua sendiri. Karena orang-orang Papua tidak percaya kepada orang Indonesia, apakah itu militer,polisi,Angkatan laut atau siapapun. SATGAS Papua seluruhnya terdiri dari orang Papua. Gagasan utamannya adalah untuk melindungi rakyat Papua. Pertama, ada isu, misalnya militer Indonesia berencana mematik konflik agama lagi seperti yang tejadi di Ambon, dimana umat Kristen dan islam saling membunuh. Jadi muncul ketakutan yang sangat kuat bahwa Indonesia akan memasukan beberapa provokator untuk menciptakan konflik antara Kristen dan Islam di sini, dengan tujuan untuk menekan pergerakan kemerdekaan dan untuk mengalihkan perhatian orang Papua yang menuntut kemerdekaan. Orang-orang Papua mengatakan bahwa Indonesia akan mengirimkan provokator untuk menciptakan konflik antara Islam dan Kristen.
Kedua, sejak polisi dan militer Indonesia menyulut semua konflik ini, orang-orang Papua mengatakan, “Mari kita bentuk organisasi paramiliter kita sendiri untuk melindungi diri kita.” Saat itu tahun 1999. Banyak orang yang terbunuh bahkan anggota tim dialog (Tim 100). Contohnya beberapa diantaranya dari Nabire, Sorong, dan Manokwari. Orang-orang dari Jayapura melakukan pertemuan dimana mereka memutuskan untuk mendukung mahasiswa, pemuda, yang akan menjaga rumah-rumah mereka yang berpartisipasi didalam dialog dengan presiden itu. Jadi di rumah saya ada beberapa mahasiswa yang berjaga-jaga selama beberapa hari. Meski saya tidak terlibat dalam dialog itu, para mahasiswa tahu bahwa saya merupakan target militer. Pada saat yang bersamaan, ada sepucuk surat dari militer Indonesia di Jakarta, dan juga dari intelejen militer, yang menyatakan bahwa lima orang pemimpin rakyat Papua dilarang untuk meninggalkan Papua. Mereka masuk dalam daftar hitam.
Saya termasuk dalam daftar hitam tersebut. Juga Octo Mote, Willy Mandowen, Tom Bainal, yang sekarang menjadi wakil ketua DPR Papua, dan Rev.Herman Awom. Kami dilarang untuk meninggalkan Papua, dimasukan dalam daftar hitam sehingga tidak bisa keluar dari Papua. Hal itu disiarkan dalam berita-berita dan TV di Indonesia. Saya dicekal selama setahun atau lebih, dilarang untuk meninggalkan Papua, sampai saya mendengar presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, melakukan intervensi pada bulan Juni 2000. Saya mengetahuinya dari Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, Gilbert. Kenyataannya, dari bulan Juni sampai bulan Agustus saya ada undangan oleh pemerintah Amerika untuk berpartisipasi didalam program yang mereka sebut program tamu Internasional, disponsori oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.
Jadi saya bisa keluar dari Papua setelah presiden Clinton mengangkat isu ini selama Presiden Gus Dur ke Amerika Serikat pada bulan Juni 2000. Saya dapat keluar Papua sejak minggu kedua bulan Juli. Saya mencoba keluar dari Papua di minggu pertama bulan Juli, namun saya ditahan di bandara dan dikembalikan ke Papua. Agustus 1999, istri saya, Rukiah, meninggal dunia. Dua minggu setelah istri saya meninggal, saya seharusnya menjadi anggota tim internasional, disponsori oleh masyarakat internasional, untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di mulai dari Timika, Biak, Paniai, dan Wamena.
Tim internasional itu terdiri dari Amnesty Internasional, dengan ahli-ahli dari universitas Australia, pemerintah Amerika Serikat, salah satu universitas di Eropa, dan perwakilan dari Human Rights Watch. Namun saya tidak mengikuti beberapa pertemuan sebagiannya karena istri saya baru meninggal. Dan saat itu adalah saat-saat yang sulit bagi saya.
Saya tidak ada di Jayapura saat Rukiah meninggal, saya ada di Nabire dimana saat itu kami sedang memulai pembangunan kampus di Nabire. Ketika mendengar bahwa istri saya sakit keras, saya kira, “Mungkin yang sakit istrinya pak Noah karena pagi hari sekitar pukul 8 saya berbicara kepada istri saya.” Saat itu bulan Juli 1999. Tapi kemudian saya bertanya dan kemudian mereka menjawab, “Ya,istri Anda, beliau dirawat di rumah sakit , beliau sakit, beliau jatuh dan sekarang koma.”
Saya mencoba mencari penerbangan Merpati dari Nabire ke Biak dan Biak ke Jayapura, tapi tidak berhasil.Tetapi saya dapat tiba di Jayapura pada hari senin, karena saya menggunakan kapal laut dari Nabire. Ketika saya tiba disini saya melihat istri saya. Ia terbaring lemah. Dan ketika ia melihat saya, ia menangis. Saya memeluknya dan menciumnya. Ia berkata, “Ya, mungkin saya akan sembuh, saya bisa pulang ke rumah sekarang.” Saya tanyakan dokter dan dokter itu menjawab, “Ya, boleh. Ia perlu banyak istirahat. “Namun mereka tidak mengatakan kepada kami bahwa ada yang aneh di kepala istri saya..
Saya bertanya kepada orang yang bertugas di bagian penyiaran sinar-X, dan mereka berkata “Ia baik-baik saja.” Jadi saya membawa pulang istri saya. Tiga sampai empat hari kemudian ia meninggal dunia. Saya tidak memiliki firasat kalau ia akan meninggal dunia. Saya jatuh sakit, kami semua, termasuk Ligia dan Libby. Dua minggu kemudian setelah kematiannya saya harus bergabung dengan tim untuk penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia di Papua ini.
Jadi dikarenakan kematian istri saya, saya tidak pergi ke pertemuan internasional itu. Namun semua yang datang ke pertemuan itu berasal dari Papua yang dideportasi oleh pemerintah Papua.. Saya kira itu terjadi pada awal September 1999. Beberapa pakar lokal termasuk Theo Vanden Broek dan John Rumbiak. Tiga orang termasuk saya. Kemudian ada pertemuan lainnya di bulan Februari, itu merupakan pertemuan yang sangat besar dibulan Februari 2000 (Kongres Rakkyat Papua Kedua), saat dimana mereka membentuk Presiduum dewan Papua. Presidium tersebut merupakan lembaga yang dibentuk oleh rakyat Papua untuk menyampaikan aspirasi rakyat Papua. Menurut mereka, presidium ini merupakan organisasi yang akan memperjuangkan kemerdekaan secara demokratis.
Kongres pertama dewan presidium dilaksanakan di Jayapura pada tahun 1961. Kongres kedua dilaksanakan di Jayapura pada akhir bulan Mei sampai awal bulan Juni 2000. Selama kongres kedua saya ditunjuk sebagai moderator dan tanggung jawab saya saat itu adalah melakukan beberapa penelitian mengenai sejarah Papua dalam rangka menerbitkan buku-buku teks sejarah Papu. Jadi presidium sebenarnya adalah lembaga yang dipilih secara demokratis yang dibentuk untuk rakyat Papua sebagai jalan untuk menyampaikan aspirasi rakyat Papuadengan cara-cara yang damai dan demokratis.
Para pemimpin yang masuk dalam presidium tersebut terdiri dari kelompok masyarakat Papua yang berbeda, pemimpin gereja,pemimpin adat, pemuka masyarakat, kelompok perempuan, mahasiswa, akademisi dan professional, juga faksi perjuangan kemerdekaan Papua yang lainnya, yakni OPM. Semua anggota presidium sepakat untuk mendapatkan kemerdekaan dari Indonesia dengan cara-cara damai dan demokratis.
Beberapa dari pemimpin ini ditangkap, diinterogasi. Setidaknya dua dari mereka dibunuh. Karena sesaat setelah presidium di bentuk, pemerintah Jakarta melihat hal itu sebagai ancaman atas kepentingan mereka dan mereka mulai mengirimkan militer Papua. Tetapi mereka juga ingin menghentikan gerakan ini dengan menggunakan strategi intelijen, intimidasi. Pada saat yang bersamaan, mereka bekerja sama dengan kelompok jihad dari kaum Muslim yang ingin bekerja sama dengan militer dan pemerintah Indonesia untuk menghentikan gerakan kemerdekaan.
Selama kongres rakyat Papua kedua, pada minggu terakhir bulai Mei dan minggu pertama bulan Juni 2000 rakyat Papua sudah membanjiri kota. Mereka ingin menjadi bagian dari perjuangan ini, mereka berpikir saatnya, saatnya sudah tiba bagi orang Papua untuk bersatu. Mereka harus menghentikan penggunaan senapan dan senjata api; ada kesepakatan diantara orang-orang Papua bahwa jika orang-orang Papua ingin memperbaiki kondisi sosial ekonomi dan politiknya mereka harus bersatu dan menggunakan cara-cara yang lebih demokratis dan damai, seperti dialog, dengan Indonesia. Jadi setelah 30 atau 40 tahun dibungkam atau mungkin sekitar 40 tahun berjuang di hutan, rakyat beranggapan bahwa kongres, dengann pembentukan presidium ini, akan memulai masa dimana kami bisa bersatu, kami bisa menggunakan instrument hak asasi resmi ini unntuk mengedepankan kepentingan kami di hari depan.
Selama rapat besar di bulan Februari 2000, saya ditunjuk sebagai moderator dengan tugas utamanya melakukan penelitian mengenai sejarah Papua Barat menurut prespektif orang Papua Barat. Mandat ini dirumuskan dari kesadaran diantara rakyat Papua bahwa sejarah Papua Barat telah di kebir, telah lama di kekang, dipaksa menerima sejarah Indonesia sebagai sejarah mereka, dan ada keinginan untuk menghancurkan sejarah Indonesia yang dipaksakan kepada mereka. Dilandasi kesadaran ini lah mereka mengajukan mandat ini, bahwa saya harus menjadi moderator Presidium dan bahwa saya harus terlibat dalam penulisan kembali sejarah dari sudut pandang rakyat Papua sebagai pelaku sejarah, sebagai subjek sejarah. Ada mandat lain yang dikeluarkan kongres dimana kami harus fokus pada penerbitan sejarah Papua Barat, membuat sejarah itu diajarkan di sekolah-sekolah di Papua. Didepan presidium ada asa bahwa sejarah Papua akan diperkenalkan ke dalam sekolah-sekolah di Papua. Ada pula perayaan sejarah Papua.
Tetapi saya tidak tahu apa yang dilakukan rakyat Papua berkaitan dengan hal ini, karena terbunuhnya Theys Eluay, ketua Dewan Papua, agak mempengaruhi perasaan dan perjuangan rakyat Papua sejak November 2002. Orang-orang Papua tidak siap untuk menangani pembunuh Theys. Tidak siap untuk menyelesaikan fakta bahwa orang Indonesia menggunakan cara-cara kekerasan dan pembunuhan. Saya pikir rakyat Papua memiliki harapan yang besar bahwa Jakarta akan duduk dan bicara, melakukan dialog. Tetapi tiba-tiba kami mengetahui pasukan elit kopassus membunuh Theys, setelah ia diundang oleh kopassus untuk menghadiri perayaan khusus untuk menghormatinya. Setelah kejadian itu orang-orang Papua sangat terkejut bahwa negara seperti Indonesia, yang sedang melalui proses reformasi ini, tega menggunakan kekerasan dalam merespons tuntutan perubahan dari rakyat Papua.
Saya dididik di sekolah tinggi teologi evangelis dan sekarang saya mengajar disebuah sekolahh tinggi evangelis. Dari tahun ke tahun, khususnya sejak tahun 1995, saya mulai sadar bahwa kami dulunya gereja-gereja evangelis di Papua Barat telah mendukung rejim Indonesia diarena keagamaan dan kepemerintahan. Kami telah mendukung mereka yang telah menggunakan kekerasan sebagai cara untuk mengatasi konflik atau perbedaan pendapat. Saya pikir kami para penginjil telah begitu dibutakan oleh pemahaman kami sendiri bahwa pemerintah atau negara merupakan lembaga yang di tunjuk oleh Allah dan, karenanya mereka tidak akan melakukan kesalahan. Itu berdasarkan interpretasi dari Roma 13:1-4
Kami di Papua Barat telah mendukung pemerintah Indonesia, mendorong rakyat kami untuk patuh kepada pemerintah karena pemerintah, menurut pemahaman kami, adalah pelayan Tuhan. Tetapi saya juga sudah belajar tahun-tahun sebelumnya melalui pembunuhan Theys bahwa pemerintah Indonesia juga merupakan alat kejahatan. Dan karenanya, saya berpikir kami harus mengubahnya.
Saya membaca Wahyu 13 dan beberapa komentar yang di buat oleh professor Verkuyl, professor di bidang kemisian di Free University, Belanda, yang menuliskan sebuah buku yang mengenai etnik-etnik Kristen. Verkuyl mengatakan bahwa dimasa lalu di dalam sejarah gereja, gereja telah berusaha untuk menengahi keberadaan di dua posisi. Salah satunya bahwa gereja terkadang mendukung pemerintah, mendukung secara buta pemerintah karena pemahamannya terhadap Roma 13. Namun Verkuyl juga mengatakan bahwa
1“ Tiap-tiap orang harus taat kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah , yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada di tetapkan oleh Allah. 2. Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya sendiri. 3. Sebab jika seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah, hanya jika ia berbuat jahat. Maukah kamu hidup tanpa takut kepada pemerintah? Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian dari padanya.”
Untuk bisa tinggal di dunia di mana kita mewujudkan pelayanan, kita juga membaca Wahyu 13, yang menurutnya ditulis oleh Yohanes ketika ia berada di Kepulauan Patmos. Menurut Verkuyl, Yohanes di kirim oleh Patmos karena ia menentang negara pada saat itu. Negara ingin menempatkan dirinya sebagai Tuhan, Karena itu Yohanes harus menegaskan posisinya.
Di masa lalu kami melihat ribuan warga sipil yang dibunuh dan kami para penginjil tetap berdoa agar Tuhan memberkati pemerintahan ini. Ada suatu kebutuhan, saya pikir, untuk mengubah isi doa kami agar Tuhan tidak hanya memberkati pemerintah ini, atau membuat mereka bertobat. Posisi saya jelas, kami harus menentang pemerintah Indonesia. Sebenarnya gereja disini harus mengakui dosanya karena mendukung pemerintah Indonesia berdasarkan pemahaman terhadap Roma 13 saat itu. Saya pikir jika kami ingin melihat perubahan di gereja kami, di masyarakat kami, saya pikir gereja-gereja di Papua harus mengakui dosa-dosanya.
Suka atau tidak, sadar atau tidak, kami telah menjadi bagian dari pemerintah Indonesia. Kami berbeda dari pemerintah. Kita adalah dua lembaga yang berbeda. Sekarang kami ingin mengakui dosa kami di depan Tuhan dan didepan rakyat kami karena kami pada saat lalu tidak menjalankan peran kenabian kami untuk menyadarkan bangsa ini. Jadi saya sangat terlibat didalam keseluruhan proses ini, di dalam perjuangan hak asasi manusia ini. Saya mendasari aktivitas saya berdasarkan keyakinan ini, keyakinan bahwa gereja, gereja sendiri, tidak seharusnya tidak di gunakan oleh pemerintah atau oleh lembaga politik mana pun.
Pekerjaan utama sehari-hari saya adalah mengajar, tapi saya juga kepala Biro Perdamaian dan Keadilan di gereja. Saya juga bekerja untuk ELSHAM (Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi Manusia), LSM Hak Asasi Manusia di Papua Barat. Ini dimulai pada tahun 1996, di bulan Januari, tujuh bulan setelah saya kembali dari Belanda. Secara resmi ELSHAM didirikan pada tahun 1998. Lembaga ini telah membuat beberapa kesepakatan untuk bekerja sama dengan LSM-LSM internasional lainnya, seperti Amnesty Internasional, Human Right Watch, dan TAPOL di London.
Semua ini telah mendalamkan keyakinan saya untuk terlibat di dalam proses ini, karena terkadang saya merasa lebih mudah untuk berkhotbah, lebih mudah untuk menkonsentrasikan pelayanan saya pada hal-hal yang berkaitan dengan keimanan. Maksud saya tidak terlibat dalam perjuangan penegakan HAM. Saat saya di seminari teologi, saya membaca teologi pembebasan. Izinkan saya mengatakannya pada Anda, buku itu telah mengubah saya. Saya pikir saya sudah berubah, Karena saya melihat orang-orang menyusun teologi, mereka menyusun teologi pembebasan untuk diri mereka sendiri. Mereka melihat Yesus, Yesus yang terkadang kita puja, sebagai seorang pembebas. Orang-orang yang benar-benar melakukan penekanan tidak meninggikan Yesus. Mereka tidak berpikir bahwa Yesus kelak akan kembali. Tidak, Karena itu saya terkadang menanyakan pada diri saya sendiri. Saya bertanya apakah saya yang memiliki kebenaran ini. Interpretasi siapa yang benar mengenai Yesus? Apakah saya punya hak untuk mengatakan bahwa interpretasi Anda salah? Saya katakan kepada Anda bahwa saya sudah berubah. Pengalaman saya dengan orang-orang ini telah mengubah hidup saya.
Ada suatu cerita di Wamena, mengenai cerita Yesus yang muncul di sana. Militer datang ke Jayapura dari Jakarta. Orang-orang melihat Yesus, bila saya katakan kemunculan itu bersifat psikologis, boleh jadi, tetapi apa yang dilihat orang-orang, apa yang akan dikatakan oleh Yesus? Apakah Yesus akan mengatakan. “Mereka gila.” Akankah Ia mengatakan itu, “Itu aku?” Seperti Helena (baca kisahnya di buku ini). Ia mengatakan melihat Yesus, tapi kami orang-orang gereja mengatakan “ itu bukan Yesus, Yesus yang ada di Alkitab ya dalam Akitab.” Apakah kami punya hak untuk mengatakan ini? Kapan Tuhan memberikan kita hak untuk menghakimi semua teologi ini? Apakah kita memiliki lisensi untuk melakukan hal itu? Apakah kami di sana? Apakah kami merasakan tekanan, terror dan sejenisnya, seperti yang diterima oleh Helena? Ini semua telah sangat mengubah saya. Saya bisa di butakan oleh pemahaman saya mengenai Yesus bahwa di dalam otak saya sama seperti yang ada pada Injil suci. Saya dapat di butakan. Jadi menurut saya kita harus membahasnya di dalam gereja, dengan para elit, para pemimpin rakyat kami. Dapatkah kita berdialog dengan tradisi kita? Sanggupkah kita? Atau kita disini hanya membiarkan diri di seret oleh tradisi? Sanggupkah kita menjadi subjek? Mungkin beberapa dari kitaakan berkata, “ Tunggu, saya ingin melihat apakah interpretasi KINGMI mengenai Yesus benar untuk saat ini.” Apakah kita bisa bicara seperti itu? Bahkan dengan Alkitab, bahkan dengan Tuhan, apakah kita bisa berbicara kepadaNya? “Hei Tuhan, apa yang Engkau lakukan di atas sana, Engkau melihat semua kejadian ini, Engkau melihat orang-orang Papua ini?” Pemahaman saya mengenai Tuhan sudah berubah. Saya tidak tahu apakah saya semakin dekat dengan Tuhan atau saya sudah menjauh dari Tuhan. Saya tidak tahu, benar.
Setelah tahun-tahun ini, saya menjadi curiga dengan semua teologi, KINGMI atau Katolik. Semua buku ini saya sangat terbuka. Saya sangat terbuka untuk dikoreksi demi Tuhan. Perasaan saya adalah saya pikir gereja sudah terbawa tradisi. Kami bukan apa-apa. Tetapi saya pikir tradisi itu baik, selama tradisi itu mengajar keberadaan kita di dunia ini, di dalam konteks kehidupan. Saya pikir jika tradisi hanya menggulangi masa lalu dan menjunjung tradisi atau denominasi gereja, saya pikir itu tidak ada berarti. Maksud saya Tuhan tidak senang. Saya pikir, Tuhan, seperti apakah rupaMu? Saya pikir Tuhan beserta umatNya, Ia hidup, bukan? Jika kita pikir Tuhan kita konservatif, dan terpaku pada naskah, maka orang-orang ini menurut saya, mungkin akan menuju kearah yang salah. Satu-satunya permasalahan ketika anda mengatakan “Imanuel”, kita berpikir Imanuel hanya ada pada kaum elit. Imanuel hanya untuk para pemimpin agama, bersifat konservatif. Orang-orang sini maka akan beranggapan Tuhan tidak bersama dengannya.
Jadi saya pikir saya telah berubah. Saya pikir saya terus berubah. Saya mulai melihat karya Tuhan pada manusia, tidak hanya pada semua struktur gereja. Saya pikir Ia dapat bekerja dengan semua struktur-struktur itu selama mereka terbuka, namun struktur atau organisasi yang membentuk tradisi dan membutakan kita dari menjadi terbuka pada kebutuhan-kebutuhan yang berbeda, menjadi terbuka pada tanda-tanda zaman, saya pikir kemuliaan Tuhan tidak di dalam diri kita. Saya pikir apa yang sedang saya lakukan merupakan karya Tuhan . Saya bekerja di dalam sejarah pembebasan orang Papua, saya mencoba mengangkat beberapa permasalahan ini, memoria passionis (ingatan mengenai penderitaan) ini; sejarah penderitaan ini yang perlu dibebaskan. Saya pikir saya sedang mengerjakan apa yang diinginkan Tuhan untuk saya lakukan. Beberapa orang mengatakan bahwa itu adalah politik. Yah, baik, orang-orang punya hak untuk berbicara seperti itu. Tetapi saya berpikir saya harus menuliskan sejarah penderitaan ini agar orang-orang ingat hingga mereka tak akan mengulangi hal yang sama lagi.
Saya pikir, saya sudah berubah.
Harus saya akui bahwa terkadang permasalahan ini, dikarenakan bacaan-bacaan saya, wawancara saya dengan masyarakat, membuat saya membenci diri saya sendiri. Dan kadang membenci Tuhan. Bagaimana Tuhan bisa membiarkan hal ini terjadi? Mengapa Tuhan membiarkan hal ini terjadi? Adalah seorang pemuda dari Biak yang mengekspresikan apa yang di rasakan sebagian besar orang Papua. Ia mengatakan “Salahkan Tuhan! Ini terlalu berat bagi kami! Baik lah, Engkau adalah Tuhan, yang ada di sana dan membiarkan kami mengalami ini. Tapi apa yang akan terjadi bila saya menjadi Tuhan, atau bila, kami akan menunjukan Anda kebenarannya, Ia mau campur tangan.” Pemuda itu mengatakan ini setelah tsunami, yang diikuti dengan tragedi Biak dimana banyak orang terbunuh pada bulan Juli 1988, ketika mereka mengibarkan bendera (Bintang Kejora). Mereka mengibarkan bendera dan militer datang, membunuh orang-orang ini dan membuang mereka ke lautan. Beberapa dari mereka di temukan mati di pinggir pantai.
Ketika saya di Belanda saya berbicara kepada professor Schoorl dan di sana ada orang-orang Indonesia, mahasiswa Indonesia, yang sedang belajar. Mereka menghampiri dan melakukan diskusi karena mereka tahu saya orang Indonesia. Lalu mereka bertanya kepada saya. “ Apa yang sedang Anda lakukan di sini?” Saya katakan, “ Ini professor saya dan saya akan mempertahankan tesis saya minggu depan.” Orang-orang Indonesia ini menertawakan saya karena mereka menganggap saya sedang bercanda. Dan apa yang selanjutnya terjadi?
Ada beberapa cerita yang menunjukan bahwa kami(orang Papua) gagal untuk menjadi orang Indonesia. Jika saya pergi ke luar negeri dan orang-orang bertanya apakah saya orang Indonesia, terkadang saya menjawab, “Bukan.” Saya malu. “Lihat paspor saya, ya saya orang Indonesia, tapi saya orang Papua.” Saya tinggal dikehidupan yang terpecah ini, kepribadian yang terbelah ini. Sulit untuk menanganinya. Mungkin saya tidak tahu apakah ini Karena dosa pendahulu saya atau dosa saya., atau saya lupa diri saya sendiri. Mungkin itulah, saya berjuang untuk itu.
Istri saya yang sekarang bernama Mari. Kami menikah bulan Desember 1999. Bukanlah hal yang mudah bagi dirinya untuk bersatu dengan kami sebagai sebuah keluarga. Ligia sudah tumbuh besar, dan punya jalan hidupnya sendiri. Sering kali saya dan Mari berdoa bersama, sungguh. Perlu banyak energy, butuh kesabaran. Saya sudah di pertengahan empat puluh tahun sekarang. Ia seorang perempuan yang sanngat kuat. Anak perempuan saya, Libby dan Ligia—mereka juga sangat kuat. Menurut saya kami bertiga (Benny, Ligia, Libby) sudah sangat mengenal dengan baik. Karena itu awalnya menjadi tantangan buat Mari untuk berhubungan dengan anak-anak perempuan saya. Itu lah mengapa saya kagum dengan kepeduliannya kepada kami. Ia juga bijak dalam mengatur keuangan kami. Kami berdoa hampir setiap waktu agar Tuhan menolong kami, agar kami makan berkecukupan dan agar kami tidak kelaparan. Dan Ia sudah melakukan itu. Ia sudah menjawab doa kami. Ia bekerja melalui Mari dan itu lah intinya.
Setelah kematian Rukiah, kami bertiga (Ligia,Libby,Benny)semuanya menderita TB (tuberculosis). Salah satu penyebab mengapa saya menderita TB, menurut dokter adalah kami kurang makan. Bagaimana anda bisa mendapatkan makanan yang sehat, makanan yang baik, jika anda tidak punya uang? Jadi kami mengalami banyak masalah sesaat setelah kematian Rukiah. Kemudian Mari muncul dan menyelamatkan kami semua. Ia mengambil alih tanggung jawab dirumah dan hal-hal lainnya. Itu lah Mari. Ia sangat taat dalam langkahnya di dalam Tuhan. Ia satu-satunya yang menyokong kami ketika kami semua sakit. Ia berdoa dan mendapatkan obat yang kami butuhkan. Ia mendorong kami untuk datang kepada Tuhan, percaya kepada Tuhan, tidak pernah menolak kita. Ia menggingatkan kita semua untuk menyerahkan hidup kita kepada Tuhan dan Tuhan akan menyediakan segalanya.
Segera setelah mereka mendengar tentang ajaran Zacheus, ayah, ibu dan paman saya (saudara tertua ayah yang merupakan kepala suku dan saat itu memiliki empat istri) merupakan orang-orang pertama yang masuk Kristen. Tetua adat lainnya dari desa kami pergi ke desa lain di mana Zacheus Pakage sedang bersiap-siap mengajarkan orang-orang. Orangtua saya pergi ke desa itu dua kali seminggu. Mereka belajar apa yang diajarkan oleh Zacheus dan setelah kembali ke desa mereka mulai manata dirinya, membentuk komunitas-komunitas Kristiani berdasarkan pesan Zacheus. Sebenarnya apa yang mereka pelajari intinya mengenai ajaran-ajaran keagamaan suku Me, hampir seperti Perjanjian Lama, Sepuluh Perintah Allah, jadi mereka mencoba untuk menformulasikan ajaran tersebut dan menerapkannya untuk diri mereka sendiri.
Beberapa waktu kemudian terjadi konflik antara Zacheus dan para misionaris (Barat), dengan Zacheus di satu sisi dan para misionaris serta pemerintahan Belanda di sisi lainnya. Para misionaris dari Christian and Missionary Alliance (CAMA/KINGMI) menganggap Zacheus mengajarkan Kristianitas yang keliru karena beliau mencoba memahami dan menginterpretasikan Kristianitas dengan tidak menolak secara keseluruhan keyakinan-keyakinan tradisional suku Me. Jadi, Zacheus mencoba merumuskan kembali ajaran-ajaran Kristen dengan menggunakan keyakinan-keyakinan agama suku Me pra-Kristen.
Contoh, beliau mengajarkan bahwa para misionaris CAMA mengajarkan kami tentang Tuhan, Sang Pencipta, yang sudah dkenal oleh nenek moyang kami. Itu lah mengapa para misionaris beranggapan beliau sedang mencoba memperkenalkan kembali keyakinan-keyakinan keagamaan non-Kristen. Menurut para misionaris CAMA, Tuhan yang mereka sembah tidak dikenal oleh masyarakat Me. Atas dasar itu lah Zacheus dikucilkan dari gereja. Namun sebelum ia dikucilkan, pada bulan April 1952, beberapa orang telah menyatakan ikrar kesetiaan, keyakinan, komitmen mereka untuk mengikuti Zacheus. Namun lagi-lagi, seperti saya sudah katakan, ia ditolak karena menurut para misionaris, Zacheus menyebarkan ajaran yang salah. Jadi dikucilkan karena kepercayaannya yang salah, serta dari tekanan pemerintah Belanda, Zacheus dijebloskan ke dalam penjara.
Jadi saya dibesarkan di dalam masyarakat ini. Pada tahun 1960-an, ayah saya bicara banyak tentang Zacheus, dan apa yang telah beliau lakukan. Percakapan itu mempengaruhi akal sehat saya sehingga setelah saya menyelesaikan studi di seminari teologi, saya menyelidiki kembali topik ini. Sebenarnya, disertasi saya mengenai Zacheus Pakage dan masyarakatnya.
Kemudian sekitar tahun 1965-66 orangtua saya mendorong saya untuk masuk ke sekolah Alkitab. Orangtua saya sangat terlibat di dalam gereja. Ibu saya, ayah saya, dan semua sub-marga saya sangat fokus pada komunitas-komuntas Kristen. Ketika orang lain menentang mereka, katakan dari gereja-gereja lain, seperti pendeta atau para misionaris, orangtua saya ada di sana untuk membela mereka. Itulah latar belakang saya.
Paman saya merupakan seorang pimpinan yang memiliki pengaruh. Namanya Widiyaibiwode Giay. Tahun 1956, ketika ia mendengar bahwa para misionaris CAMA membuka wilayah-wilayah lainnya di Pegunungan tengah dan mencoba membawa ajaran Kristen ke mereka, paman saya ada di sana untuk menolong mereka. Saya ingat ketika paman saya, ayah saya, dan sekelompok masyarakat pergi ke sana untuk membantu membawakan koper para misionaris. Mereka pergi menuju Ilaga dan bekerja untuk para misionaris membangun landasan terbang di Ilaga. Tentu mereka mendapatkan bayaran karena telah memberikan bantuan. Mereka mendapatkan megee (bahasa Me: yang dipakai sebagai uang sepanjang pegunungan tengah dari pulau New Guinea) dan kapak baja. Tetapi mereka di sana untuk membantu para misionaris membangun sebuah rumah dan landasan terbang darurat. Suatu ketika, paman pernah berkata bahwa bila orang lain menjadi umat Kristen maka mereka akan membantu masyarakat untuk membangun kebersamaan yang lebih baik. Tidak seorang pun yang akan memiliki rasa takut, tidak akan ada perang, tidak ada kecurigaan satu sama lain. Pada suatu Minggu, paman saya, yang juga merupakan tetua adat, menantang orang-orang untuk menjadi Kristen, ia berkata, “Mungkin kita akan mengalami suatu transaksi dagang yang lebih baik setelah kita menjadi Kristen”. Ia juga mengatakan ini kepada tetua adat Damal ini dan orang itu lalu menjadi pemeluk Kristen.
Orangtua saya juga menjadi Kristen karena paman saya. Menurut orangtua saya, tetua adat dari Damal ini, yang merupakan salah satu dari orang-orang paling awal yang menjadi Kristen, memengaruhi suku-suku lainnya. Dari sana, orang-orang Damail dari Ilaga menjadi Kristen, diikuti oleh orang-orang Dani. Ini menginspirasikan gerakan pembakaran jimat di Lembah Ilaga. Itu lah gerakan masyarakat Ilaga. Ketika masyarakat menjadi Kristen mereka membuang jimatnya.
Orang tua saya sangat terlibat, semampu mereka bisa. Ketika saya tamat sekolah dasar, orang tua saya menginginkan saya masuk ke sekolah Alkitab, tapi saya tidak tertarik. Jadi saya masuk SMP di Tiom, yang merupakan kali pertama saya berpisah dari orang tua saya. Namun saya menikmatinya.
Saya juga merasa kesepian, namun saya rasa meninggalkan desa adalah sesuatu yang baik untuk saya, ibu saya sangat kuat, dengan kepribadian yang kuat. Beliau adalah orang yang akan mengatakan apa yang harus Anda kerjakan sepanjang waktu dan saya tidak suka itu. Beliau memukul bokong saya jika saya tidak patuh padanya dan itulah mengapa, ketika tiba waktunya untuk saya meninggalkan desa, saya merasa senang. Saya berusia sekitar 14 tahun saat itu.
Penerbangan MAF ke Tiom memakan waktu sekitar 1 jam 20 menit. Di Tiom kami mulai masuk sekolah awal Januari, 1960. Saya menyelesaikan sekolah SD saya pada bulan November, 1967. Pada bulan Januari, 1968 saya sudah masuk SMP di Tiom. Kami memiliki masa-masa indah di sana. Kami memiliki guru-guru yang sangat Kristiani di sana. Kami membaca banyak buku dan saya membaca sebuah buku tentang Martin Luther, yang diterbitkan oleh Kalam Hidup. Di sana ada SMP yang sangat Kristiani, dan mereka memiliki banyak buku. Anda tahu? Saya banyak membaca.
Membaca merupakan aktivitas yang saya lakukan setelah pulang sekolah. Ayah saya tidak dapat membaca, tetapi ibu saya dapat membaca dan karena itu ia mendaptakan beberapa buku dari para siswa sekolah Alkitab Me.
Pada tahun 1975,saya mendapatkan beasiswa jadi saya tidak punya masalah untuk menyongkong study saya. Kemudian saya mulai terlibat didalam pelayanan kampus. Saya menjadi ketua pemuda dan kami melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan untuk mahasiswa. Kami menyelenggarakan sekolah alkitab-singkat untuk siswa-siswa disekolah pendidikan guruyang sudah lulus, yang pulang kekampung halamannya masing-masing. Saya katakaeorang gun, “Jika kamu seorang guru dan sekolah disebuah desa, pergi lah ke sana dan jadilah sebagai terang, bukan sekedar mengajar matematika atau olahraga, kamu kesana juga untuk mengajarkan orang-orang tentang Tuhan dan hukumNya.”
Kami melakukan ini dengan teman-teman kami yang sangat baik yang sudah lulus beberapa tahun sebelumnya. Kami juga menyelenggarakan retreat pemuda. Saya ingat retreat empat hari untuk pemuda dari Jayapura. Banyak anak muda datang untuk mengenal Tuhan di sana. Menurut saya beberapa teman saya yang melayani Tuhan di gereja datang untuk mengenal Tuhan melalui retreat ini. Saat saya SMP, salah satu guru sekolah kami adalah seorang perempuan bernama Ibu Lydia Karechi, seorang perempuan Kristen yang sangat baik. Beliau kepala baptis pertama disini. Perempuan ini digunakan oleh Tuhan. Cara wanita ini memperlakukan kami sangat mempengaruhi saya. Oh, beliau perempuan yang sangat manis, seorang guru sekolah yang sangat manis yang benar-benar ingin menyampaikan sesuatu kepada kami. Beliau mengajar bahasa inggris pada saat itu, dan beliau membagi hidupnya kepada kami. Saat saya disekolah pendidikan guru, saya juga mempunyai guru-guru yang sangat baik dan itulah mengapa saya juga ingin menjadi guru,benar!
Selama tahun-tahun saya di kuliah, saya mempunyai sahabat karib, orang Me yang benar-benar memiliki komitmen untuk Tuhan. Ia menerima gaji dari pemerintah, namun ia menggunakan semua uangnya untuk Tuhan hingga ia tidak menikah. Ia meninggal. Namanya Willem Jouw. Maksud saya orang-orang inilah yang memberikan sesuatu kepada saya. Sampai tahun 1992, ketika saya berangkat ke Belanda, orang ini mensponsori para pendeta dan sekolah-sekolah Alkitab, dan juga siswa-siswa yang ada di Abepura. Beliau merupakan salah satu dari mereka yang and dibaca di Alkitab. Orang-orang ini seperti Hudson Taylor dan David Livingstone. Suatu ketika saya bertanya kepadanya, “Willem, kamu tidak memikirkan dirimu sendiri,masa depanmu. Kamu harus menikah.” Beliau menjawab “Tuhan akan memelihara saya.” Saya inget ketika saya akan pergi ke Belanda beliau datang kerumah saya untuk terakhir kalinya, Maret 1993. Saya katakan, “Willem, kamu tidak berubah. Kamu mengabiskan semua uangmu untuk para pendeta kita.”
Selama tahun kedua kuliah, dekan fakultas pendidikan berkata, “Benny, kami pikir kamu memenuhi syarat untuk menjadi dosen disini, kamu bisa mengajar di UnCen, jadi terimalah ijazah mengajar ini.” Dan saya menjadi asistennya. Saya ingat pada hari-hari itu kami menerima beberapa buku dari Asia Foundation, yang sedang menyerahkan buku untuk Universitas Cendrawasih dan saya ada di sana untuk melihat-lihat buku psikologi dan konseling. Saya mendapatkan beasiswa, namun saya mendapatkan gaji dari menjadi asistennya. Gaji saya saat itu hanya diberikan satu kali setahun. Jadi saya mendapatkan sekitar 100.000 per tahun dan sekitar 15.000 per bulan dari beasiswa. Tapi itu cukup.
Pada saat itu, saya juga tertarik membuat pelayanan saya untuk menjual buku. Karena jika Anda membaca buku pikran Anda dapat melanglang ke mana saja. Suatu kali saya pergi ke Jayapura dan saya bersua dengan perempuan keturunan Cina, warga negara Amerika, yang menikah dengan seorang pria Cina, seorang misionaris, ibu Grace Chung. Beliau menjadi misionaris untuk China bersama Christian Literature Crusade, yang merupakan layanan orang-orang yang menjual buku-buku.
Dan mereka menjalankan usaha took-toko buku. Suami perempuan ini terbunuh di Cina, tapi beliau pergi ke Cina lagi dan mengajukan diri kembali ke layanan misionaris. Maka beliau dikirim ke Surabaya, dari Surabaya beliau merasa terpanggil untuk pergi ke Papua. Di Papua beliau mulai membuka took buku di Sorong. Beliau berpikir untuk pindah kesini ke Jayapura dan mulai membuka took disini. Beliau sudah sangat tua saat itu.
Saya turun ke Jayapura pada pukul 04:00 pagi dan saya melihat perempuan ini. Beliau sedang sibuk memindahkan buku-bukunya. Saya ingin membantunya, karena itu saya ikut membawakan dua kardus buku dan mengambil buku itu dari kantor pos ke toko bukunya. Saya katakana “Mama, saya di sini. Saya ingin menolongmu.” Seperti itulah. Beliau tidak menanggapi saya, namun menurutnya beberapa waktu kemudian, beliau menggangap tindakan saya saat itu bagus sekali. Suatu saat beliau pergi ke kantor CAMA dan berkata, “Saya bertemu dengan seorang anak muda yang sangat baik. Ia sangat membantu saya. Saya bertanya-tanya siapa gerangan dirinya?” Ann Grinnell sedang bekerja di sana saat itu. Ann Berkata, “Ia pasti Benny. Saya akan tanyakan kepadanya.”
Saya tahu bahwa ibu Chung sedang mencari saya, karenanya saya pergi menemuinya. Kemudian saya bekerja untuknya. Saya tiba dan kembali mengatakan, “Mama, saya di sini . Apa yang bisa saya lakukan untukmu?” Beliau berkata, “ Kamu jaga buku-buku ini, Saya akan pergi ke kantor pos.” “Baik,” kata saya. Beliau berkata, “Saya akan membayarkan ongkos taksimu dari Jayapura ke Abepura setiap hari.” Saya katakana “Baik.” Jadi itulah kali pertama saya mulai membantunya menjual buku dari pukul 5:00-8:00 sore hari. Pada akhirnya, ketika saya menyelesaikan studi saya, beliau berkata, “Benny,bagaimana kalau kamu masuk sekolah alkitab?” Saya jawab, “Baik, Mama, itu boleh juga.”
Selain ibu Chung, ada tiga misionaris yang bekerja dengan saya yang mempengaruhi saya. Ann Grinnell, Dave Eckman, dan Edai Hansen. Dave merupakan seorang misionaris CAMA yang bekerja untuk pemuda. Para misionaris ini benar-benar membantu saya untuk bertobat. Mereka membantu saya yang benar-benar ingin bertumbuh di dalam Tuhan. Orang-orang ini orang-orang yang hebat.
Setelah saya lulus dari UnCen, Dave Eckman berkata, “Benny, Saya ingin kamu pergi ke Manila.” Saya jawab dengan bercanda, Masa sih, kamu serius?” Kami biasanya bercanda seperti ini- -,”Ya. Ya,” saya menjawabnya. Dave mengatakan bahwa saya harus menemui Rev.Josia Tebay, yang merupakan kepala Sinode waktu itu, untuk mendapatkan rekomendasinya. Saya perlu mendapatkan rekomendasi Rev. Tebay untuk mendapatkan beasiswa belajar. Saya pikir saat itu, “Baik, saya menikmati pekerjaan saya di sini, namun kerena Dave meminta saya, saya tertarik dengan pilihan baru itu juga dan saya ingin melaksanakannya.” Jadi saya pergi menemui Rev.Tebay, yang memberikn rekomendasi untuk saya. Jadi saya masuk Asian Theological Seminary di Manila dengan beasiswa Asian Theological Seminary merupakan sebuah seminari penginjil interdenominasi. Saya belajar di sana dari tahun 1980 sampai 1983,dan mendapatkan gelar master Teologi.
Tempat itu merupakan sekolah seminari penginjil yang berbeda. Saya membaca bahasa Yunani dan Yahudi, dan semua doktrin-doktrin kepenginjilan. Salah satunya masalah yang saya hadapi di sana adalah saya harus mencoba menggangkat beberapa permasalahan yang kami alami di gereja di Papua. Contohnya, “Bagaimana dengan ilmu sihir dan guna-guna?” Saya tanyakan kepada professor ilmu teologi saya, “Anda tahu, di desa saya orang-orang percaya pada makhluk gaib yang dapat memberikan mereka berkah material, dan semua yang perlu Anda lakukan hanyalah mengikuti aturan mainnya.” Kemudian saya berpikir, “Ya, mungkin orang Papua hanya memerlukan pendidikan.” Saya pikir jika orang Papua memiliki pendidikan yang cukup mereka dapat meninggalkan kepercayaan-kepercayaan kuno itu, jadi saya pikir saya hanya harus mengajarkan mereka. Saya pikir, :Baik lah, saya akan memberikan serangkaian pengajaran kepada orang-orang Papua agar mereka dapat bebas dari praktek-praktek tradisional ini.”
Namun kemudian pikiran saya berubah. Contohnya, saya sekali waktu kembali ke Papua dan mengunjungi orangtua saya. Hari itu hari Minggu. Ibu saya berkata, “Jika kamu pergi ke gereja, kamu harus pulang ke rumah dengan segera karena banyak pawang guna-guna dan sihir di mana-mana, dan mereka akan membunuhmu. Jangan berbicara kepada orang-orang itu.”
Saya tidak belajar hal itu di seminari. Saya tidak diperlengkapi untuk menangani hal seperti itu. Saya pikir, “ Bagaimana dengan semua doktrin-doktrin dasar Kristen, semua buku-buku itu? Saya habiskan berjam-jam untuk membacanya.” Saya pikir, “ Ini lah aku, seorang manusia yang lemah, sama seperti orang-orang kuno, meski saya sudah belajar.” Hal itu menyebabkan krisis bagi saya. Saya mulai mempertanyakan pelayanan saya, hal-hal yang saya sudah pelajari sebelumnya. Ini merupakan dua dunia yang berbeda. Saya hampir meninggalkan kepercayaan dunia penginjilan, namun disini dengan orang-orang desa saya, bersama orang tua saya sendiri, saya berjuang untuk menjadi seorang Kristen. Itulah pertama kalinya saya memikirkan sejarah, saya mulai memikirkan antropologi, saya mulai memikirkan ilmu-ilmu pembangunan. Saat itu, karena saya dapat membaca dalam bahasa Inggris, saya mulai membaca buku-buku tentang orang Papua yang ditulis oleh orang Amerika dan orang-orang Belanda.
Itulah waktunya saya mulai memahami mengapa orang-orang kami (orang-orang Papua) mempercayai hal-hal gaib, seperti guna-guna dan ilmu sihir. Maka kemudian saya berpikir, “Ya, saya harus belajar dengan sungguh-sungguh. Saya sudah mempelajari semua pengetahuan ini di Manila sampai saya memahami bahwa orang-orang ini (orang-orang Papua pedalaman sebagai orang yang tidak tahu apa-apoa.” Tapi pertanyaan-pertanyaan ibu saya, permintaan-permintaan ibu saya, membuat saya berpikir. Saya merasa terbuka dengan orang-orang saya sendiri, tradisi, budaya, dan sejarah mereka. Kemudian saya mulai berpikir mengenai pentingnya membangun pemahaman Kekristenan sendiri dari sana. Itulah awalnya.
Sejak 1986-87 saya mulai berhubungan dengan beberapa orang Papua New Guinea melalui Institut Melanesia. Dan saya mulai belajar bagaimana orang – orang dan gereja di Papua mengatasi permasalahan-permasalahan, permasalahan politik dan permasalahan praktis, permasalahan agama, karena ini semua merupakan permasalahan konstekstualisasi. Maka kemudian terciptalah penghubung untuk masyarakat. Saya tidak memberikan jawaban kepada mereka, namun saya tahu apa yang dipikirkan dan mengapa orang-orang Papua ini berpikir demikian.
Tahun 1988-89, ada kawan baik saya bernama Jan Godschalk, seorang kawan yang baik. Beliau tahu banyak mengenai Papua. Beliau merupakan misionaris RBMU (Regions Beyond Missionary Union). Dan beliau telah mencoba untuk mengangkat permasalahan ini di dalam lingkaran RBMU, namun saya pikir beliau tidak diterima. Kami dapat berbincang dengan baik. Dan saya menghadapi permasalahan yang sama, seperti yang dihadapinya, dengan para misionaris CAMA, namun beberapa di antaranya curiga dan mulai berpikir bahwa saya bukanlah seorang Kristen. Namun saya ingin menyelamatkan orang-orang saya dan membangun pemahaman dan realitas di dalam konteks masyarakat di sini. Para misionaris itu hanya ingin membawa orang –orang Papua ke dunia misionaris, tetapi mereka tidak bekerja dengan orang-orang Papua di dalam konteksnya.
Di titik itu saya merasa sedang menuju ke arah yang berbeda dengan misionaris kebanyakan. Namun Jan dan saya menghabiskan banyak waktu untuk berdiskusi. Beliau adalah seseorang yang setidaknya ada untuk mendengarkan saya. Beliau salah satu orang yang sangat membantu saya, seperti penentuan arah untuk pelayanan ke depan saya. Beliau tahu banyak mengenai orang Papua dan banyak membaca. Beliau, tentunya, sangat kritis terhadap tradisi penginjilan. Beliau benar-benar meluaskan pandangan saya dan beliau salah satu orang yang sangat merekomendasikan saya untuk pergi ke Belanda. Sebenarnya beliau berasal dari Belanda.
Izinkan saya untuk menuturkan cerita lainnya. CAMA melakukan konferensi di Hong Kong dan saya diundang untuk menghadirinya. Saya pergi menemui teman saya, yang memberitahu kepada saya bahwa mungkin sekitar empat hari lagi Professor Pim Schoorl akan berada di Jakarta. Ia katakan, “Kamu harus menemuinya”. Pada saat itu saya sudah menulis beberapa buku, buku saku, karya tulis singkat, dan artikel untuk koran lokal Indonesia. Jadi saya pergi ke Jakarta dan pergi ke toko buku Belanda-Indonesia, KITLV (Koninklijk Institut Voor Taal-,Land-en Volkenkunde; Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies). Professor Schoorl merupakan kepala KITLV. Ketika saya tiba di toko buku itu, saya berkata kepada karyawan toko bahwa saya ingin membeli beberapa buku, namun terlebih dahulu saya ingin tahu apakah professor Schoorl ada di sana. Professor Schoorl keluar dan menemui saya, kemudian ia memanggil supir dan membawakan mobilnya. Beliau mengatakan akan kembali ke hotel, tapi saya dapat pergi bersamanya agar kami bisa bercakap-cakap. Jadi saya membeli beberapa buku, kemudian mengikutinya.
Saya katakana kepada professor Schoorl, “Saya ingin pergi ke Belanda untuk belajar, apakah itu mungkin?” Ia menjawab, “Baik, saya akan baca beberapa karya tulismu dan akan mengabarimu. Saya tidak akan memberikan janji, tapi saya akan menyuratimu.” Pada saat itu, professor Schoorl juga merupakan penasehat untuk Dutch Reformed Church di Belanda yang merupakan gerejanya di sana. Sekitar tiga minggu setelah itu saya menerima sepucuk surat dari professor Schoorl yang mengatakan bahwa saya dapat belajar di Belanda. Ia mengirimkan saya formulir pendaftaran dan saya mulai menyelesaikan surat-surat aplikasi saya. Professor Schoorl juga menyebutkan bahwa Dutch Reformed Church di Belanda akan mensponsori saya. Lalu, tahun 1991 saya berangkat ke Belanda untuk studi S3 di Free University, Amsterdam.
Istri saya saat itu adalah Rukiah. Rukiah sangat bosan tinggal di Manila. Tuhan memilihnya untuk saya. Kami bertemu pada Januari 1986. Saat itu saya sedang menjadi pengajar di Ujung Pandang selama satu tahun, tapi kemudian saya diminta mengajar di Kalimantan di kelas ekstensi seminari. Jadi saya tinggal dan mengajar di Kalimantan selama tiga tahun. Di sanalah saya bertemu dengan Rukiah, yang sedang menjadi pengajar di sekolah tinggi teologi. Rukiah adalah lulusan dari SekolahTinggi Teologi Jaffrey di Makasar (Ujung Pandang).
Rukiah dan saya bertemu di Kalimantan dan membicarakan tentang kehidupan dan pelayanan. Kami saling memberikan tulisan. Kemudian, saya katakan, “Baik, mungkin kita harus menikah.” Hanya seperti itu. Ia jawab, Saya harus tanyakan orangtua saya.” Sebenarnya, beberapa saudaranya pernah bekerja di Paniai pada tahun 1940-an, jadi mereka memiliki semacam hubungan dengan Papua. Dan orang tuanya adalah seorang pendeta dan sangat aktif di pelayanan. Akhirnya, Desember 1986 kami menikah. Di tahun-tahun pertama istri saya merasa kesulitan dengan pekerjaan saya di sini. Kami menikah di kampung halamannya Rukiah di Kalimantan Timur. Kami melewati masa-masa sulit. Saya katakan, “Baik, saya katakan kepadamu bahwa saya tidak akan berada di sini di Makasar. Disini seperti di surga-- segalanya ada di sini, ayo kita mulai dari awal,kita telusuri bersama.” Rukiah tahu bahwa saya selalu mencari hal-hal yang baru. Hidup di Makasar sangat nyaman. Kami berdua mengajar dan mendapatkan dua gaji. Namun saya masih ingin mencari yang lain lagi.
Saya katakan,”Rukiah, ayo kita pergi. Tuhan akan memberikan kita banyak hal.” Dan beliau setuju. Jadi kami sepakat tinggal di Papua. Namun menjelang keberangkatan kami, orang-orang CAMA menyurati saya, “Hai,jangan kembali, kami tidak memiliki gaji untukmu. Gereja di sini sudah sangat miskin.” Surat itu merupakan surat yang sangat penting bagi saya. Saya menagis ke Tuhan, “Tuhan, saya ke sini bukan untuk melayani gereja ini, saya ingin melayaniMu.” Saya katakan ke Tuhan. Saya kecewa. Yang saya inginkan hanyalah di terima oleh mereka. Namun ini merupakan surat yang sangat mengecewakan karena tidak adanya gaji. Saya tanyakan diri saya, “Saya disini bekerja untuk Tuhan.” Saya katakan, “ Saya ingin Tuhan katakan kepada saya apa yang harus saya lakukan.” Saya beritahukan istri saya kalau saya akan berdoa.
Saya ingat pada saat itu Tuhan memerintahkan saya untuk pergi. Saya ayat Alkitab, Matius 28, “Pergi… kamu tidak akan ditolak” Saya mendapatkan kedamaian karena itu saya katakan kepada Rukiah, “Ayo kita pergi! Ayo kita pergi!” Itu lah saat kami kembali ke Papua. Kami tiba dan syukurlah istri saya membawa matras untuk alas tidur. Kami tidak memiliki apa-apa. Hanya ada kompor yang sudah jelek dan kami membawa beberapa celana dan istri saya sangat pintar. Saat tiba kami hanya membawa beberapa bungkus mie dan menggunakan kompor yang sangat kecil.
Jadi tahun 1987 kami tiba di Papua. Rukiah memiliki peran yang sangat besar dalam pelayanan. Ia menyelamatkan hidup saya pula. Saya menderita bisulan dan ia merawat saya sampai sembuh. Itu lah Rukiah, ia sangat taat, setia pada pekerjaan.
Rukiah dan saya pergi ke Belanda bersama-sama dan kami tinggal di sana selama empat sampai lima tahun, dari sekitar bulan September 1990 sampai Juni 1995. Namun selama masa itu, dari Juni 1991 sampai Maret 1992 , kami pulang kampung ke Papua utnuk melakukan penelitian. Kami bertemu dengan beberapa orang yang mengangumkan di Belanda. Mereka di sana benar-benar menolong kami. Salah satunya adalah Rev. Slob merupakan sekertaris pada Dutch Reformed Church. Rev. Slob merupakan salah satu sahabat terbaik saya . Rev. Slob pernah berkata pada saya, “Benny, kita adalah sahabat dekat, tapi saya ingin mengatakan hal ini, saya di sini atasan, karena itu jangan terlalu akrab, tidak baik bagi kita menjadi terlalu akrab karena itu akan mempengaruhi kebijakan saya.” Perkataan itu cukup penting, karena ia ingin menyokong pekerjaan saya namun tetap melakukannya secara objektif. Saya suka itu. Anda tidak akan menemui pria semacam ini sekarang. Saya lihat orang ini sangat penting, ia dapat membantu Anda, berbicara dengan Anda, dan tertawa bersama Anda, dan terkadang mengkritik Anda.
Ada kejadian lucu, karena ketika saya berencana untuk pergi ke Free University, di Amsterdam, Saya mendapati bahwa professor Schoorl akan menjadi penasehat akademi saya. Namun pada saat saya tiba, professor Schoorl sudah pensiun. Professor Peter Kloos, ketua jurusan, menanyakan saya, “ Apa yang ingin Anda pelajari di sini ?” Beliau berkata, “Benny, saya akan memberi anda waktu dua bulan untuk membaca buku yang anda punya mengenai Melanesia dan Pasifik. Kemudian temui saya dan saya akan menanyakan Anda beberapa pertanyaan sebelum saya membimbingmu.” Maka saya membuat daftar buku dan mempresentasikan ringkasannya kepada beliau. Setelah ia melihat ringkasan yang saya buat, ia mengajukan pertanyaan, “ Apa yang anda butuhkan dari studi ini? Saya jawab, “Saya punya masalah ini. Saya belajar teologi. Gereja mengirimkan saya untuk belajar teologi dan saya sudah berlatih di bidang teologi dan memiliki pengetahuan tentang apa itu sebenarnya teologi, tapi saya sadar saya tidak dapat memaksakan orang-orang ini (orang-orang Papua) untuk menjadi seperti saya. Mereka hidup di dunia yang tertinggal dan saya ingin membangunkan jembatan.” Beliau berkata, “Benny, saya suka Anda karena Anda terbuka. Jadi, lain kali Anda datang ke sini, Anda harus memanggil saya ‘Bapa’ (Peter), jangan panggil saya ‘professor,’ Karena kita adalah teman.”
Kemudian ia berkata, “Baik lah, saya akan memasukan Anda ke beberapa kursus mengenai antropologi politik, antropologi agama, antropologi dan pembangunan, metodologi riset, dan sebagainya. Saya akan tunjukan fakultasnya dan Anda akan belajar di sana. Setelah lulus, anda dapat mengerjakan tesis, namun pastikan tesis Anda berkaitan dengan apa yang Anda lakukan nanti setelah pulang ke daerah Anda. Saya kataka, “ Apa yang ingin saya lakukan adalah memahami bagaimana orang-orang saya mengadopsi nilai-nilai Kristianitas. Bagaimana orang-orang di kampong mengenal Kekristenan. Dan dari saya saya ingin mengembangkan suatu pemahaman baru, suatu teologi baru, teologi orang Papua Barat. Beliau merespon, “Baik.” Setelah itu saya menyiapkan proposal sambil mengikuti kursus-kursus seperti antropologi, antropologi agama, dan etnohistoris. Itu lah yang saya lakukan. Ia mengundang saya untuk menghadiri beberapa seminar. Saya juga pergi ke Oslo, Norwegia dan menyajikan beberapa makalah di sana.
Di Belanda, Rev. Jasper Slob dan Peter Kloos sangat membantu saya. Kloos pernah menjadi professor di University of Leiden, namun kemudian diangkat untuk menjadi professor di Free University. Kloos ingin melakukan penelitian di Papua pada awal tahun 1960-an tapi tidak bisa datang karena konflik politik antara Belanda dan Indonesia, jadi beliau pergi ke Suriname untuk melakukan penelitiannya. Saya menikmati hidup saya di Belanda; kami memiliki kawan-kawan yang sangat baik untuk membantu kami kerasan menetap di Belanda. Segera setelah tiba di Belanda, kami harus melaporkan diri ke kepolisian di Amsterdam. Ketika saya menyelesaikan studi saya pada bulan Juni 1995, saya terkejut bahwa studi saya di Belanda di muat di koran-koran Belanda.
Beberapa surat kabar itu menuliskan, merujuk ke saya, “Ini telah diabaikan. Ini menjadi cerita yang sangat bagus. Beberapa koran kampus menjadikan penelitian saya sebagai teras berita mereka. Saya masih punya klipingnya. Beberapa diantaranya membandingkan Zackeus dengan gerakan Simon Kimbango di Afrika. Saya bahkan beberapa kali di waancarai di Belanda. Ada sekitar tiga surat kabar yang meliput penelitian saya. Saya merasa menjadi bagian dari masyarakat Belanda, khususnya Zendinghuis (tempat dimana saya dan keluarga saya tinggal waktu saya belajar di Universitas). Saya tersentuh mungkin orang-orang Belanda ini menangis saat saya meninggalkan Belanda. Kami juga, kami menangis. Saya pikir mereka benar-benar memahami maksud saya dalam melakukan penelitian. Setelah kami tiba di Papua mereka masih membantu kami dengan berbagai cara. Orang-orang di Belanda benar-benar menginginkan saya untuk kembali ke sana. Beberapa di antaranya merasa bahwa jika saya tidak mendapatkan pekerjaan, saya masih bisa mendapatkan posisi mengajar di Jawa, di Universitas Satya Wacana.
Jadi Rukiah dan saya kembali ke Papua pada tahun 1995 dan saya mulai mengajar di Sekolah Tinggi Teologi (STT)-Walter Post dekat Jayapura. Awalnya saya tidak ingin kembali mengajar di STT-Walter Post. Saya pikir saya akan menemukan hal-hal baru untuk dilakukan, tapi istri saya, Rukiah, tidak akan senang jika saya meninggalkan sekolah. Akhirnya, kami memutuskan untuk mengajar kembali dan pada tahun 1995 hal lain yang berkembang , diluar pengetahuan saya, yang menyeret saya ke dalamnya, adalah gerakan perjuangan hak-hak asasi manusia. Itu Karena pada bulan Agustus 1995 ada laporan yang dikeluarkan oleh beberapa LSM di Papua. Selanjutnya laporan itu di terbitkan oleh Uskup Katolik Muninghof di Jayapura. Laporan itu mengenai orang-orang Papua yang dibunuh oleh Militer Indonesia dari bulan Juni 1994 sampai Mei 1995. Beberapa orang yang dibunuh adalah pendeta, para pendeta KINGMI. Seorang pendeta di tembak mati pada tanggal 25 Desember, pada hari Natal, ketika ia sedang berkhotbah. Menurut saya ini harus menjadi sesuatu yang harus diperhatikan oleh gereja. Saya pikir kami harus membicarakan hal ini. Peristiwa ini menjadi perhatian kepastoran.
Bagi saya gereja tidak bisa membiarkan hal ini berlalu tanpa memberikan pernyataan atau menentukan posisi. Itu lah awalnya saya mulai bekerja dengan orang-orang Katolik dan LSM, Karena saya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada saat itu, John Rumbiak adalah direktur ELSHAM (Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia), sebuah organisasi pembela hak asasi manusia di Papua. John melakukan penelitian yang ekstensif dan mendalam mengenai laporan ini sebelum di terbitkan. Ia menceritakan kepada saya apa yang terjadi.
Saya dipindahkan. Gereja tidak bisa diam setidaknya dengan dua alasan. Pertama insiden-insiden intimidasi dan pembunuhan ini bukanlah hal yang baru dan gereja KINGMI ada disana. Sebenarnya, pimpinan gereja KINGMI ada disana, namun ia tidak membuat laporan, sementara pada saat yang bersamaan laporan ini sudah diketahui oleh dunia luar. Dan gereja KINGMI tidak meresponnya. Jadi saya ada disana untuk mendengarkan apa yang telah di temukan oleh LSM dan aktivis HAM setelah melakukan penelitian selama delapan bulan mengenai topik ini. Suatu ketika ia mengatakan bahwa gereja harus memperhatikan permasalahan ini. Karena setidaknya satu kejadian memakan korban para pekerja gereja, dua pendeta, yang terbunuh tanpa ada penyilidikannya. Mereka ditembak begitu saja ketika militer Indonesia masuk tanpa bukti atau penelitian. Bahkan tanpa interogasi.
Kedua, menurut saya, gereja merupakan satu-satunya organisasi, satu-satunya institusi, yang hidup bersama masyarakat di sana. Masyarakat mengetahui hal itu; gereja telah menjadi bagian dari kehidupan nyata. Gereja di sana menjadi satu-satunya agen yang melaluinya orang-orang dapat mengetahui dunia. Saya pikir gereja ada di sana untuk membantu hak-hak masyarakat. Salah satu aktivis HAM, seperti John Rumbiak, mengatakan bahwa orang-orang Papua tidak mencari Kristianitas, mereka tidak meminta Freeport untuk datang. Mereka tidak meminta Indonesia datang. Tetapi mereka semua datang ke sini. Tidak ada seorangpun meminta Kristianitas, Freeport dan orang Indonesia untuk datang. Mereka telah datang dan merusak hidup kami. Ini lah yang dikatakan oleh beberapa aktivis LSM.
John mengatakan bahwa jika gereja diam, siapa lagi yang akan diam? Semua hal ini mempengaruhi kehidupan saya, mempengaruhi saya. Lambat laun saya mulai terlibat dalam permasalahan ini. Dan saya berpikir, baik mungkin saya dapat menggunakan pengetahuan saya untuk melayani orang-orang ini. Dari saat itu saya sangat terlibat tidak saja dengan LSM-LSM Katolik dan Protestan di Papua, tapi juga dengan LSM-LSM di Jakarta untuk mencegah berulangnya pelanggaran hak-hak asasi manusia di Papua. Ada yang sangat menarik bahwa pada tahun 1998, setelah tahun-tahun terjadinya konflik, banyak orang papua mulai keluar dan meneriakkan aspirasi dan kekecewaan mereka. Mereka kecewa karena telah di peralat. Karena tanah mereka telah dirampas, budaya mereka telah ditekan, dan dipaksa untuk menjadi orang Indonesia. Mereka ingin menjadi dirinya sendiri. Mereka ingin menjalankan kehidupannya sendiri; mereka ingin bebas. Dan saya pikir, “Baik, saya bukanlah orang luar, saya bagian dari semua ini.” Jika orang-orang berkata, “Kami sudah jemu denganmu orang Indonesia, pulanglah kalian,” sebenarnya mereka mengekspresikan perasaan saya, perasaan saya sendiri. Jadi saya merasa seperti salah satu dari mereka.
Sejak tahun 1996 orang sudah melepaskan posisinya dari target penjajahan dan pembangunan. Mereka keluar dan berteriak, “Sudah cukup. Sekarang kami ingin menjalankan negeri ini. Sekarang kami ingin merumuskan masa depan kami. Kami ingin menyusun agenda kami sendiri untuk masa depan kami sendiri.” Sentimen ini diekspresikan dengan berbagai cara. Terjadi kerusuhan di mana-mana, di Nabire dan di kota lainnya. Juga di Timika pada tahun 1996. Pasar Abepura habis terbakar. Sentani juga. Biak, Sorong.
Saya pikir berdasarkan keseluruhan konteks ini, kami orang-orang gereja seharusnya berperan aktif melakukan mediasi atau mungkin kami dapat menjadi forum untuk dialog, untuk menyusun agenda transformasi dan perubahan. Pada bulan oktober 1997 kami mulai mengupayakan dialog antara pemerintah Indonesia dan Papua. Persiapan untuk dialog ini memakan waktu sekitar lima atau enam bulan.Dialog dilaksanakan pada bulan Februari 1999.
Ada 100 orang Papua yang pergi ke Jakarta untuk berdialog dengan presiden Habibie untuk menyampaikan pengalamannya di jajah Indonesia. 100 orang Papua tersebut (Tim 100) mewakili organisasai gereja,LSM,masyarakat adat Papua, kelompok perempuan dan mahasiswa. Berdasarkan rencana kami, Karena saya pada saat itu sangat terlibat dalam menyampaikan kerangka acuan, kami berpandangan bahwa itu merupakan langkah pertama untuk melakukan dialog dimana rakyat diberikan waktu untuk menyatakan pengalaman mereka.
Mereka mengekspresikan pengalamannya sebagai orang Papua langsung di depan presiden Habibie, presiden Indonesia ini, menyadari permasalahan-permasalahan yang dikemukakan kepadanya dalam dialog tersebut, berkata” Kalian maafkan lah mereka, maafkan lah mereka yang telah menyiksa kalian. Kalian kembali lah ke Papua dan renungkan apa yang sudah kalian sampaikan kepada saya.” Pada saat itu kelompok 100 mengatakan bahwa mereka ingin membentuk negara Papua Barat yang merdeka. Presiden mengatakan kepada mereka bahwa mereka harus kembali ke Papua dan merenungi dan mendiskusikannya untuk nanti kembali menemuinya.
Pada saat itu ia juga mengatakan bahwa harus ada pembahasan lanjutan, pertemuan lanjutan. Namun ini tidak terjadi karena lebih banyak lagi militer yang dikirim ke Papua untuk menghentikan gerakan setelah dialog tersebut. Terjadi terror, intimidasi terhadap mereka yang terlibat dalam dialog. Beberapa diantaranya di bunuh. Ada laporan mengenai hal itu. Itu terjadi ketika orang-orang Papua mulai membentuk SATGAS Papua(Satuan Tugas) .
SATGAS Papua merupakan satuan tugas untuk melindungi rakyat Papua sendiri. Karena orang-orang Papua tidak percaya kepada orang Indonesia, apakah itu militer,polisi,Angkatan laut atau siapapun. SATGAS Papua seluruhnya terdiri dari orang Papua. Gagasan utamannya adalah untuk melindungi rakyat Papua. Pertama, ada isu, misalnya militer Indonesia berencana mematik konflik agama lagi seperti yang tejadi di Ambon, dimana umat Kristen dan islam saling membunuh. Jadi muncul ketakutan yang sangat kuat bahwa Indonesia akan memasukan beberapa provokator untuk menciptakan konflik antara Kristen dan Islam di sini, dengan tujuan untuk menekan pergerakan kemerdekaan dan untuk mengalihkan perhatian orang Papua yang menuntut kemerdekaan. Orang-orang Papua mengatakan bahwa Indonesia akan mengirimkan provokator untuk menciptakan konflik antara Islam dan Kristen.
Kedua, sejak polisi dan militer Indonesia menyulut semua konflik ini, orang-orang Papua mengatakan, “Mari kita bentuk organisasi paramiliter kita sendiri untuk melindungi diri kita.” Saat itu tahun 1999. Banyak orang yang terbunuh bahkan anggota tim dialog (Tim 100). Contohnya beberapa diantaranya dari Nabire, Sorong, dan Manokwari. Orang-orang dari Jayapura melakukan pertemuan dimana mereka memutuskan untuk mendukung mahasiswa, pemuda, yang akan menjaga rumah-rumah mereka yang berpartisipasi didalam dialog dengan presiden itu. Jadi di rumah saya ada beberapa mahasiswa yang berjaga-jaga selama beberapa hari. Meski saya tidak terlibat dalam dialog itu, para mahasiswa tahu bahwa saya merupakan target militer. Pada saat yang bersamaan, ada sepucuk surat dari militer Indonesia di Jakarta, dan juga dari intelejen militer, yang menyatakan bahwa lima orang pemimpin rakyat Papua dilarang untuk meninggalkan Papua. Mereka masuk dalam daftar hitam.
Saya termasuk dalam daftar hitam tersebut. Juga Octo Mote, Willy Mandowen, Tom Bainal, yang sekarang menjadi wakil ketua DPR Papua, dan Rev.Herman Awom. Kami dilarang untuk meninggalkan Papua, dimasukan dalam daftar hitam sehingga tidak bisa keluar dari Papua. Hal itu disiarkan dalam berita-berita dan TV di Indonesia. Saya dicekal selama setahun atau lebih, dilarang untuk meninggalkan Papua, sampai saya mendengar presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, melakukan intervensi pada bulan Juni 2000. Saya mengetahuinya dari Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, Gilbert. Kenyataannya, dari bulan Juni sampai bulan Agustus saya ada undangan oleh pemerintah Amerika untuk berpartisipasi didalam program yang mereka sebut program tamu Internasional, disponsori oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.
Jadi saya bisa keluar dari Papua setelah presiden Clinton mengangkat isu ini selama Presiden Gus Dur ke Amerika Serikat pada bulan Juni 2000. Saya dapat keluar Papua sejak minggu kedua bulan Juli. Saya mencoba keluar dari Papua di minggu pertama bulan Juli, namun saya ditahan di bandara dan dikembalikan ke Papua. Agustus 1999, istri saya, Rukiah, meninggal dunia. Dua minggu setelah istri saya meninggal, saya seharusnya menjadi anggota tim internasional, disponsori oleh masyarakat internasional, untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di mulai dari Timika, Biak, Paniai, dan Wamena.
Tim internasional itu terdiri dari Amnesty Internasional, dengan ahli-ahli dari universitas Australia, pemerintah Amerika Serikat, salah satu universitas di Eropa, dan perwakilan dari Human Rights Watch. Namun saya tidak mengikuti beberapa pertemuan sebagiannya karena istri saya baru meninggal. Dan saat itu adalah saat-saat yang sulit bagi saya.
Saya tidak ada di Jayapura saat Rukiah meninggal, saya ada di Nabire dimana saat itu kami sedang memulai pembangunan kampus di Nabire. Ketika mendengar bahwa istri saya sakit keras, saya kira, “Mungkin yang sakit istrinya pak Noah karena pagi hari sekitar pukul 8 saya berbicara kepada istri saya.” Saat itu bulan Juli 1999. Tapi kemudian saya bertanya dan kemudian mereka menjawab, “Ya,istri Anda, beliau dirawat di rumah sakit , beliau sakit, beliau jatuh dan sekarang koma.”
Saya mencoba mencari penerbangan Merpati dari Nabire ke Biak dan Biak ke Jayapura, tapi tidak berhasil.Tetapi saya dapat tiba di Jayapura pada hari senin, karena saya menggunakan kapal laut dari Nabire. Ketika saya tiba disini saya melihat istri saya. Ia terbaring lemah. Dan ketika ia melihat saya, ia menangis. Saya memeluknya dan menciumnya. Ia berkata, “Ya, mungkin saya akan sembuh, saya bisa pulang ke rumah sekarang.” Saya tanyakan dokter dan dokter itu menjawab, “Ya, boleh. Ia perlu banyak istirahat. “Namun mereka tidak mengatakan kepada kami bahwa ada yang aneh di kepala istri saya..
Saya bertanya kepada orang yang bertugas di bagian penyiaran sinar-X, dan mereka berkata “Ia baik-baik saja.” Jadi saya membawa pulang istri saya. Tiga sampai empat hari kemudian ia meninggal dunia. Saya tidak memiliki firasat kalau ia akan meninggal dunia. Saya jatuh sakit, kami semua, termasuk Ligia dan Libby. Dua minggu kemudian setelah kematiannya saya harus bergabung dengan tim untuk penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia di Papua ini.
Jadi dikarenakan kematian istri saya, saya tidak pergi ke pertemuan internasional itu. Namun semua yang datang ke pertemuan itu berasal dari Papua yang dideportasi oleh pemerintah Papua.. Saya kira itu terjadi pada awal September 1999. Beberapa pakar lokal termasuk Theo Vanden Broek dan John Rumbiak. Tiga orang termasuk saya. Kemudian ada pertemuan lainnya di bulan Februari, itu merupakan pertemuan yang sangat besar dibulan Februari 2000 (Kongres Rakkyat Papua Kedua), saat dimana mereka membentuk Presiduum dewan Papua. Presidium tersebut merupakan lembaga yang dibentuk oleh rakyat Papua untuk menyampaikan aspirasi rakyat Papua. Menurut mereka, presidium ini merupakan organisasi yang akan memperjuangkan kemerdekaan secara demokratis.
Kongres pertama dewan presidium dilaksanakan di Jayapura pada tahun 1961. Kongres kedua dilaksanakan di Jayapura pada akhir bulan Mei sampai awal bulan Juni 2000. Selama kongres kedua saya ditunjuk sebagai moderator dan tanggung jawab saya saat itu adalah melakukan beberapa penelitian mengenai sejarah Papua dalam rangka menerbitkan buku-buku teks sejarah Papu. Jadi presidium sebenarnya adalah lembaga yang dipilih secara demokratis yang dibentuk untuk rakyat Papua sebagai jalan untuk menyampaikan aspirasi rakyat Papuadengan cara-cara yang damai dan demokratis.
Para pemimpin yang masuk dalam presidium tersebut terdiri dari kelompok masyarakat Papua yang berbeda, pemimpin gereja,pemimpin adat, pemuka masyarakat, kelompok perempuan, mahasiswa, akademisi dan professional, juga faksi perjuangan kemerdekaan Papua yang lainnya, yakni OPM. Semua anggota presidium sepakat untuk mendapatkan kemerdekaan dari Indonesia dengan cara-cara damai dan demokratis.
Beberapa dari pemimpin ini ditangkap, diinterogasi. Setidaknya dua dari mereka dibunuh. Karena sesaat setelah presidium di bentuk, pemerintah Jakarta melihat hal itu sebagai ancaman atas kepentingan mereka dan mereka mulai mengirimkan militer Papua. Tetapi mereka juga ingin menghentikan gerakan ini dengan menggunakan strategi intelijen, intimidasi. Pada saat yang bersamaan, mereka bekerja sama dengan kelompok jihad dari kaum Muslim yang ingin bekerja sama dengan militer dan pemerintah Indonesia untuk menghentikan gerakan kemerdekaan.
Selama kongres rakyat Papua kedua, pada minggu terakhir bulai Mei dan minggu pertama bulan Juni 2000 rakyat Papua sudah membanjiri kota. Mereka ingin menjadi bagian dari perjuangan ini, mereka berpikir saatnya, saatnya sudah tiba bagi orang Papua untuk bersatu. Mereka harus menghentikan penggunaan senapan dan senjata api; ada kesepakatan diantara orang-orang Papua bahwa jika orang-orang Papua ingin memperbaiki kondisi sosial ekonomi dan politiknya mereka harus bersatu dan menggunakan cara-cara yang lebih demokratis dan damai, seperti dialog, dengan Indonesia. Jadi setelah 30 atau 40 tahun dibungkam atau mungkin sekitar 40 tahun berjuang di hutan, rakyat beranggapan bahwa kongres, dengann pembentukan presidium ini, akan memulai masa dimana kami bisa bersatu, kami bisa menggunakan instrument hak asasi resmi ini unntuk mengedepankan kepentingan kami di hari depan.
Selama rapat besar di bulan Februari 2000, saya ditunjuk sebagai moderator dengan tugas utamanya melakukan penelitian mengenai sejarah Papua Barat menurut prespektif orang Papua Barat. Mandat ini dirumuskan dari kesadaran diantara rakyat Papua bahwa sejarah Papua Barat telah di kebir, telah lama di kekang, dipaksa menerima sejarah Indonesia sebagai sejarah mereka, dan ada keinginan untuk menghancurkan sejarah Indonesia yang dipaksakan kepada mereka. Dilandasi kesadaran ini lah mereka mengajukan mandat ini, bahwa saya harus menjadi moderator Presidium dan bahwa saya harus terlibat dalam penulisan kembali sejarah dari sudut pandang rakyat Papua sebagai pelaku sejarah, sebagai subjek sejarah. Ada mandat lain yang dikeluarkan kongres dimana kami harus fokus pada penerbitan sejarah Papua Barat, membuat sejarah itu diajarkan di sekolah-sekolah di Papua. Didepan presidium ada asa bahwa sejarah Papua akan diperkenalkan ke dalam sekolah-sekolah di Papua. Ada pula perayaan sejarah Papua.
Tetapi saya tidak tahu apa yang dilakukan rakyat Papua berkaitan dengan hal ini, karena terbunuhnya Theys Eluay, ketua Dewan Papua, agak mempengaruhi perasaan dan perjuangan rakyat Papua sejak November 2002. Orang-orang Papua tidak siap untuk menangani pembunuh Theys. Tidak siap untuk menyelesaikan fakta bahwa orang Indonesia menggunakan cara-cara kekerasan dan pembunuhan. Saya pikir rakyat Papua memiliki harapan yang besar bahwa Jakarta akan duduk dan bicara, melakukan dialog. Tetapi tiba-tiba kami mengetahui pasukan elit kopassus membunuh Theys, setelah ia diundang oleh kopassus untuk menghadiri perayaan khusus untuk menghormatinya. Setelah kejadian itu orang-orang Papua sangat terkejut bahwa negara seperti Indonesia, yang sedang melalui proses reformasi ini, tega menggunakan kekerasan dalam merespons tuntutan perubahan dari rakyat Papua.
Saya dididik di sekolah tinggi teologi evangelis dan sekarang saya mengajar disebuah sekolahh tinggi evangelis. Dari tahun ke tahun, khususnya sejak tahun 1995, saya mulai sadar bahwa kami dulunya gereja-gereja evangelis di Papua Barat telah mendukung rejim Indonesia diarena keagamaan dan kepemerintahan. Kami telah mendukung mereka yang telah menggunakan kekerasan sebagai cara untuk mengatasi konflik atau perbedaan pendapat. Saya pikir kami para penginjil telah begitu dibutakan oleh pemahaman kami sendiri bahwa pemerintah atau negara merupakan lembaga yang di tunjuk oleh Allah dan, karenanya mereka tidak akan melakukan kesalahan. Itu berdasarkan interpretasi dari Roma 13:1-4
Kami di Papua Barat telah mendukung pemerintah Indonesia, mendorong rakyat kami untuk patuh kepada pemerintah karena pemerintah, menurut pemahaman kami, adalah pelayan Tuhan. Tetapi saya juga sudah belajar tahun-tahun sebelumnya melalui pembunuhan Theys bahwa pemerintah Indonesia juga merupakan alat kejahatan. Dan karenanya, saya berpikir kami harus mengubahnya.
Saya membaca Wahyu 13 dan beberapa komentar yang di buat oleh professor Verkuyl, professor di bidang kemisian di Free University, Belanda, yang menuliskan sebuah buku yang mengenai etnik-etnik Kristen. Verkuyl mengatakan bahwa dimasa lalu di dalam sejarah gereja, gereja telah berusaha untuk menengahi keberadaan di dua posisi. Salah satunya bahwa gereja terkadang mendukung pemerintah, mendukung secara buta pemerintah karena pemahamannya terhadap Roma 13. Namun Verkuyl juga mengatakan bahwa
1“ Tiap-tiap orang harus taat kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah , yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada di tetapkan oleh Allah. 2. Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya sendiri. 3. Sebab jika seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah, hanya jika ia berbuat jahat. Maukah kamu hidup tanpa takut kepada pemerintah? Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian dari padanya.”
Untuk bisa tinggal di dunia di mana kita mewujudkan pelayanan, kita juga membaca Wahyu 13, yang menurutnya ditulis oleh Yohanes ketika ia berada di Kepulauan Patmos. Menurut Verkuyl, Yohanes di kirim oleh Patmos karena ia menentang negara pada saat itu. Negara ingin menempatkan dirinya sebagai Tuhan, Karena itu Yohanes harus menegaskan posisinya.
Di masa lalu kami melihat ribuan warga sipil yang dibunuh dan kami para penginjil tetap berdoa agar Tuhan memberkati pemerintahan ini. Ada suatu kebutuhan, saya pikir, untuk mengubah isi doa kami agar Tuhan tidak hanya memberkati pemerintah ini, atau membuat mereka bertobat. Posisi saya jelas, kami harus menentang pemerintah Indonesia. Sebenarnya gereja disini harus mengakui dosanya karena mendukung pemerintah Indonesia berdasarkan pemahaman terhadap Roma 13 saat itu. Saya pikir jika kami ingin melihat perubahan di gereja kami, di masyarakat kami, saya pikir gereja-gereja di Papua harus mengakui dosa-dosanya.
Suka atau tidak, sadar atau tidak, kami telah menjadi bagian dari pemerintah Indonesia. Kami berbeda dari pemerintah. Kita adalah dua lembaga yang berbeda. Sekarang kami ingin mengakui dosa kami di depan Tuhan dan didepan rakyat kami karena kami pada saat lalu tidak menjalankan peran kenabian kami untuk menyadarkan bangsa ini. Jadi saya sangat terlibat didalam keseluruhan proses ini, di dalam perjuangan hak asasi manusia ini. Saya mendasari aktivitas saya berdasarkan keyakinan ini, keyakinan bahwa gereja, gereja sendiri, tidak seharusnya tidak di gunakan oleh pemerintah atau oleh lembaga politik mana pun.
Pekerjaan utama sehari-hari saya adalah mengajar, tapi saya juga kepala Biro Perdamaian dan Keadilan di gereja. Saya juga bekerja untuk ELSHAM (Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi Manusia), LSM Hak Asasi Manusia di Papua Barat. Ini dimulai pada tahun 1996, di bulan Januari, tujuh bulan setelah saya kembali dari Belanda. Secara resmi ELSHAM didirikan pada tahun 1998. Lembaga ini telah membuat beberapa kesepakatan untuk bekerja sama dengan LSM-LSM internasional lainnya, seperti Amnesty Internasional, Human Right Watch, dan TAPOL di London.
Semua ini telah mendalamkan keyakinan saya untuk terlibat di dalam proses ini, karena terkadang saya merasa lebih mudah untuk berkhotbah, lebih mudah untuk menkonsentrasikan pelayanan saya pada hal-hal yang berkaitan dengan keimanan. Maksud saya tidak terlibat dalam perjuangan penegakan HAM. Saat saya di seminari teologi, saya membaca teologi pembebasan. Izinkan saya mengatakannya pada Anda, buku itu telah mengubah saya. Saya pikir saya sudah berubah, Karena saya melihat orang-orang menyusun teologi, mereka menyusun teologi pembebasan untuk diri mereka sendiri. Mereka melihat Yesus, Yesus yang terkadang kita puja, sebagai seorang pembebas. Orang-orang yang benar-benar melakukan penekanan tidak meninggikan Yesus. Mereka tidak berpikir bahwa Yesus kelak akan kembali. Tidak, Karena itu saya terkadang menanyakan pada diri saya sendiri. Saya bertanya apakah saya yang memiliki kebenaran ini. Interpretasi siapa yang benar mengenai Yesus? Apakah saya punya hak untuk mengatakan bahwa interpretasi Anda salah? Saya katakan kepada Anda bahwa saya sudah berubah. Pengalaman saya dengan orang-orang ini telah mengubah hidup saya.
Ada suatu cerita di Wamena, mengenai cerita Yesus yang muncul di sana. Militer datang ke Jayapura dari Jakarta. Orang-orang melihat Yesus, bila saya katakan kemunculan itu bersifat psikologis, boleh jadi, tetapi apa yang dilihat orang-orang, apa yang akan dikatakan oleh Yesus? Apakah Yesus akan mengatakan. “Mereka gila.” Akankah Ia mengatakan itu, “Itu aku?” Seperti Helena (baca kisahnya di buku ini). Ia mengatakan melihat Yesus, tapi kami orang-orang gereja mengatakan “ itu bukan Yesus, Yesus yang ada di Alkitab ya dalam Akitab.” Apakah kami punya hak untuk mengatakan ini? Kapan Tuhan memberikan kita hak untuk menghakimi semua teologi ini? Apakah kita memiliki lisensi untuk melakukan hal itu? Apakah kami di sana? Apakah kami merasakan tekanan, terror dan sejenisnya, seperti yang diterima oleh Helena? Ini semua telah sangat mengubah saya. Saya bisa di butakan oleh pemahaman saya mengenai Yesus bahwa di dalam otak saya sama seperti yang ada pada Injil suci. Saya dapat di butakan. Jadi menurut saya kita harus membahasnya di dalam gereja, dengan para elit, para pemimpin rakyat kami. Dapatkah kita berdialog dengan tradisi kita? Sanggupkah kita? Atau kita disini hanya membiarkan diri di seret oleh tradisi? Sanggupkah kita menjadi subjek? Mungkin beberapa dari kitaakan berkata, “ Tunggu, saya ingin melihat apakah interpretasi KINGMI mengenai Yesus benar untuk saat ini.” Apakah kita bisa bicara seperti itu? Bahkan dengan Alkitab, bahkan dengan Tuhan, apakah kita bisa berbicara kepadaNya? “Hei Tuhan, apa yang Engkau lakukan di atas sana, Engkau melihat semua kejadian ini, Engkau melihat orang-orang Papua ini?” Pemahaman saya mengenai Tuhan sudah berubah. Saya tidak tahu apakah saya semakin dekat dengan Tuhan atau saya sudah menjauh dari Tuhan. Saya tidak tahu, benar.
Setelah tahun-tahun ini, saya menjadi curiga dengan semua teologi, KINGMI atau Katolik. Semua buku ini saya sangat terbuka. Saya sangat terbuka untuk dikoreksi demi Tuhan. Perasaan saya adalah saya pikir gereja sudah terbawa tradisi. Kami bukan apa-apa. Tetapi saya pikir tradisi itu baik, selama tradisi itu mengajar keberadaan kita di dunia ini, di dalam konteks kehidupan. Saya pikir jika tradisi hanya menggulangi masa lalu dan menjunjung tradisi atau denominasi gereja, saya pikir itu tidak ada berarti. Maksud saya Tuhan tidak senang. Saya pikir, Tuhan, seperti apakah rupaMu? Saya pikir Tuhan beserta umatNya, Ia hidup, bukan? Jika kita pikir Tuhan kita konservatif, dan terpaku pada naskah, maka orang-orang ini menurut saya, mungkin akan menuju kearah yang salah. Satu-satunya permasalahan ketika anda mengatakan “Imanuel”, kita berpikir Imanuel hanya ada pada kaum elit. Imanuel hanya untuk para pemimpin agama, bersifat konservatif. Orang-orang sini maka akan beranggapan Tuhan tidak bersama dengannya.
Jadi saya pikir saya telah berubah. Saya pikir saya terus berubah. Saya mulai melihat karya Tuhan pada manusia, tidak hanya pada semua struktur gereja. Saya pikir Ia dapat bekerja dengan semua struktur-struktur itu selama mereka terbuka, namun struktur atau organisasi yang membentuk tradisi dan membutakan kita dari menjadi terbuka pada kebutuhan-kebutuhan yang berbeda, menjadi terbuka pada tanda-tanda zaman, saya pikir kemuliaan Tuhan tidak di dalam diri kita. Saya pikir apa yang sedang saya lakukan merupakan karya Tuhan . Saya bekerja di dalam sejarah pembebasan orang Papua, saya mencoba mengangkat beberapa permasalahan ini, memoria passionis (ingatan mengenai penderitaan) ini; sejarah penderitaan ini yang perlu dibebaskan. Saya pikir saya sedang mengerjakan apa yang diinginkan Tuhan untuk saya lakukan. Beberapa orang mengatakan bahwa itu adalah politik. Yah, baik, orang-orang punya hak untuk berbicara seperti itu. Tetapi saya berpikir saya harus menuliskan sejarah penderitaan ini agar orang-orang ingat hingga mereka tak akan mengulangi hal yang sama lagi.
Saya pikir, saya sudah berubah.
Harus saya akui bahwa terkadang permasalahan ini, dikarenakan bacaan-bacaan saya, wawancara saya dengan masyarakat, membuat saya membenci diri saya sendiri. Dan kadang membenci Tuhan. Bagaimana Tuhan bisa membiarkan hal ini terjadi? Mengapa Tuhan membiarkan hal ini terjadi? Adalah seorang pemuda dari Biak yang mengekspresikan apa yang di rasakan sebagian besar orang Papua. Ia mengatakan “Salahkan Tuhan! Ini terlalu berat bagi kami! Baik lah, Engkau adalah Tuhan, yang ada di sana dan membiarkan kami mengalami ini. Tapi apa yang akan terjadi bila saya menjadi Tuhan, atau bila, kami akan menunjukan Anda kebenarannya, Ia mau campur tangan.” Pemuda itu mengatakan ini setelah tsunami, yang diikuti dengan tragedi Biak dimana banyak orang terbunuh pada bulan Juli 1988, ketika mereka mengibarkan bendera (Bintang Kejora). Mereka mengibarkan bendera dan militer datang, membunuh orang-orang ini dan membuang mereka ke lautan. Beberapa dari mereka di temukan mati di pinggir pantai.
Ketika saya di Belanda saya berbicara kepada professor Schoorl dan di sana ada orang-orang Indonesia, mahasiswa Indonesia, yang sedang belajar. Mereka menghampiri dan melakukan diskusi karena mereka tahu saya orang Indonesia. Lalu mereka bertanya kepada saya. “ Apa yang sedang Anda lakukan di sini?” Saya katakan, “ Ini professor saya dan saya akan mempertahankan tesis saya minggu depan.” Orang-orang Indonesia ini menertawakan saya karena mereka menganggap saya sedang bercanda. Dan apa yang selanjutnya terjadi?
Ada beberapa cerita yang menunjukan bahwa kami(orang Papua) gagal untuk menjadi orang Indonesia. Jika saya pergi ke luar negeri dan orang-orang bertanya apakah saya orang Indonesia, terkadang saya menjawab, “Bukan.” Saya malu. “Lihat paspor saya, ya saya orang Indonesia, tapi saya orang Papua.” Saya tinggal dikehidupan yang terpecah ini, kepribadian yang terbelah ini. Sulit untuk menanganinya. Mungkin saya tidak tahu apakah ini Karena dosa pendahulu saya atau dosa saya., atau saya lupa diri saya sendiri. Mungkin itulah, saya berjuang untuk itu.
Istri saya yang sekarang bernama Mari. Kami menikah bulan Desember 1999. Bukanlah hal yang mudah bagi dirinya untuk bersatu dengan kami sebagai sebuah keluarga. Ligia sudah tumbuh besar, dan punya jalan hidupnya sendiri. Sering kali saya dan Mari berdoa bersama, sungguh. Perlu banyak energy, butuh kesabaran. Saya sudah di pertengahan empat puluh tahun sekarang. Ia seorang perempuan yang sanngat kuat. Anak perempuan saya, Libby dan Ligia—mereka juga sangat kuat. Menurut saya kami bertiga (Benny, Ligia, Libby) sudah sangat mengenal dengan baik. Karena itu awalnya menjadi tantangan buat Mari untuk berhubungan dengan anak-anak perempuan saya. Itu lah mengapa saya kagum dengan kepeduliannya kepada kami. Ia juga bijak dalam mengatur keuangan kami. Kami berdoa hampir setiap waktu agar Tuhan menolong kami, agar kami makan berkecukupan dan agar kami tidak kelaparan. Dan Ia sudah melakukan itu. Ia sudah menjawab doa kami. Ia bekerja melalui Mari dan itu lah intinya.
Setelah kematian Rukiah, kami bertiga (Ligia,Libby,Benny)semuanya menderita TB (tuberculosis). Salah satu penyebab mengapa saya menderita TB, menurut dokter adalah kami kurang makan. Bagaimana anda bisa mendapatkan makanan yang sehat, makanan yang baik, jika anda tidak punya uang? Jadi kami mengalami banyak masalah sesaat setelah kematian Rukiah. Kemudian Mari muncul dan menyelamatkan kami semua. Ia mengambil alih tanggung jawab dirumah dan hal-hal lainnya. Itu lah Mari. Ia sangat taat dalam langkahnya di dalam Tuhan. Ia satu-satunya yang menyokong kami ketika kami semua sakit. Ia berdoa dan mendapatkan obat yang kami butuhkan. Ia mendorong kami untuk datang kepada Tuhan, percaya kepada Tuhan, tidak pernah menolak kita. Ia menggingatkan kita semua untuk menyerahkan hidup kita kepada Tuhan dan Tuhan akan menyediakan segalanya.
Sumber : http://tigidoovoice.blogspot.com/
About suarakolaitaga
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
0 komentar :
Posting Komentar