Aliansi Mahasiswa Papua ketika demo di Yogyakarta. Foto: Dok. MS |
Yogyakarta -- Pulau
Papua yang kaya, luas, dengan penduduknya yang sedikit, tidak bisa
ditampik lagi, telah manjadi solusi tersendiri bagi kepadatan penduduk
di pulau Jawa dan sekitarnya. Terbukti, sejak Papua dianeksasi melalui
Pepera 1969, program Transmigrasi pun digalang. Dan, perpindahan
penduduk besar besaran ke tanah Papua terjadi.
Saat ini,
Papua telah menjadi 2 Provinsi, dengan puluhan kabupatennya. Pemekaran
menjadi pembuka isolasi bagi datangnya pendatang ke tanah Papua.
Pada 3 tahun
lalu, tahun 2010, penelitian menunjukan populasi penduduk Papua di atas
tanah Papua adalah 40%, berbading 60% untuk pendatang. Saat ini, sudah 3
tahun berselang sejak penelitian itu.
"Papua
benar-benar akan dikuasai pendatang. Papua jadi minoritas di atas tanah
airnya sendiri. Sementara mereka (OAP) juga dikuasai dalam dunia bisnis,
pasar dan beberapa aspek lainnya," elas perwakilan dari paguyuban
Sorong Selatan, ketika diskusi bebas tentang persoalan umum di Tanah
Papua yang dibuat Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Asrama Kamasan I
Papua, Rabu (13/11/13) malam.
Dia mengaku,
ayahnya bekerja pada bagian itu di kabupaten Sorong. Katanya, bahkan
pendatang dari luar Papua telah memiliki KTP Papua sebelum mereka injak
tanah Papua.
"Jadi pegitu
injak Sorong langsung mobil su siap jemput mereka. Mereka naik, alngsung
dibagi KTP san jadi warga Sorong," jelas perwakilan paguyuban Sorong
Selatan ini sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Padahal,"
kata dia lagi, "di Jogja ini, saya sangat sulit mendapat KTP. Jangan
KTP, KTP sementara Warga Jogja saja susah. Urusannya ribet. Baru di
Papua, belum injak tanah, KTP su jadi. Ada apa ini?" katanya bingung.
Mahasiswa lain
dari paguyuban yang sama menambahkan, bahkan mereka dikawal oleh
TNI/Polri, sehingga keamanan mereka terjamin. Namun ulah militer kadang
meresahkan warga asli. Karena kata dia, bila pendatang itu membuat ulah,
yang salah tetap dan hampir pasti adalah warga asli Sorong.
Tanah Kelas Satu Milik Pendatang
Masalah
lainnya adalah, bahwa tanah-tanah yang di tengah kota, dengan gampangnya
beralih tangan kepada pendatang. Kadang, warga asli di tipu dengan
motor, seperti pengakuan John dari Dogiyai, atau seperti pengakuan
mahasiswa perwakilan dari Lany Jaya dan Tambraw, bahwa pendatang datang,
langsung menguasai tanah-tanah kelas satu, yang berada di pusat kota.
"Jadi, mau
tidak mau warga asli Papua harus mundur menuju hutan di pegunungan. Kota
dikuasai pendatang yang datang," katanya sedih melihat realita yang
ada.
"Kelak,"
katanya menyambung, "Bisa jadi orang Papua jadi seperti suku Aborigin,
pemilik tanah Australia yang bahkan dikarantina. Atau seperti penduduk
asli Jakarta, yang malah menjadi penghuni perumahan kumuh di pinggir
kali-kali penuh sampah di kota mertopolitan Jakarta." (MS/Topilus B. Tebai)
Sumber : www.majalahselangkah.com
Sumber : www.majalahselangkah.com
0 komentar :
Posting Komentar