Integrasi West Papua ke Indonesia (foto,IST/http://jaringnews.com) |
Oleh : YANCE A GOBAY
Peristiwa integrasi Papua dalam bingkai NKRI kini masih menarik
perhatian berbagai pihak. Tentunya, mereka juga memiliki pandangan yang
berbeda-beda dalam mengenang hari ulang tahun kemerdekaan RI ke 50 yang
lalu. Mereka pun mengenang para pahlawan yang telah gugur dalam medan
pertempuran dengan para penjajah Belanda.
Tidak hanya itu, mereka
lagi pula mengenang segala kegagalan dan kesusksesan, keuntungan dan
kerugian yang terbentang dalam sejarah tersebut (baca Papua Pos: Papua
Peringatan 50 Tahun Kembalinya Papua ke dalam NKRI Rabu, 01 Mey 2013,
hal. 1). Lagi pula, Papua sampai kini masih mengalami sebagai warga
kelas dua.
Martabatnya semakin hancur bagaikan kepingan-kepingan
emas dan pertama. Itulah wajah integritas Papua dalam NKRI. Tapi
pertanyaan mendasar adalah integrasi dari apa dan untuk siapa?
Perbedaan Ideologi
Rakyat asli Papua biasa mengakui bahwa mereka adalah manusia sejati.
Itu artinya mereka berada sebagai manusia sempurna sejak semula.
Kesejatianya mulai semakin berpotensi dalam segenap realitas Papua.
Syarat sebagai manusia sejati yakni mereka memiliki norma dan hukum
moral yang terbatas, punya filosofi hidup, alam yang kaya raya bagai
surga dunia, 250 an suku bangsa Papua dan memiliki tatapan akan
kebahagiaan secara sejati pula. Semua kriteria ini pernah dihayati sejak
mereka ada sebagai manusia sejati sampai sekarang dan di sini. Ini juga
menjadi ingatan bersama dalam sejarah hidupnya.
Dalam kaitan
dengan ideologi Papua, orang luar juga pernah mengakuinya secara baik
adanya. Salah satu contoh gamblangnya yakni pemerintah Belanda. Ia
mengakui ideologi bangsa Papua dengan ikut mengumandangkan lambang
kenegraan yakni sangsaka bendara bintang kejora, lagu kebangsaan “Hai
Tanah-ku Papua”, dan struktur kabinet dan burung mambruk sebagai lambang
kedaulatan kemerdekaan bangsa Papua.
Peristiwa kemerdekaan ini
pernah dihayati di seluruh Tanah Air Papua sejak 1 Desember 1961, di
bawah pengawasan Kerajaan India Belanda di Holandia, sekarang dikenal
dengan (Jayapura).
Meskipun demikian, akan tetapi pemerintah RI
mengekspresikan sebuah ideologinya secara berbeda dan keliru. Perbedaan
ideologi itu dinyatakan pemerintah RI melalui peristiwa Trikora di
alun-alun Yogyakarta 1 Mey, 1961.
Melalui peristiwa Trikora,
Presiden Sukarno mengumandangkan tiga pesan mendasar yakni menghancurkan
Negara Papua Barat buatan Negara Belanda Boneka, mempercepat mobilisasi
massa, memperluas militerisme di Tanah Papua. Sampai kini, tiga amanat
ini masih merupakan misi dunia koloni dalam mengelolah alam dan manusia
Papua demi kepentingan ekonomi dan pilitik semu belaka
(selanjutnya….anda baca gejala Papua).
Derita Papua
Eksistensi
penderitaan Papua masih semakin gencar bertumbuh sumbur di Papua. Mereka
dibuat berada dari penderitaan dan tangisan untuk bersatu dalam NKRI.
Penderitaan Papua tentunya menjadi makanan harian di sana-sini, karena
masih ada tindak kekerasan dan konflik dari pemerintah RI atas rakyat
asli dan alam Papua.
Rakyat asli dan alam Papua semakin merasa
tidak aman dan damai justru karena pemerintah RI lebih mencintai
pendekatan kekerasan dan konflik. Kekerasan adalah teman sejati bagi
pemerintah RI. Ia lahir, hidup dan mati dari mama kekerasan. Kekerasan
harus dialamatkan oleh mereka kepada rakyat asli dan alam Papua.
Menurt mereka, kekerasan adalah jalan tertbaik selagi kotak integrasi
masih bergema dalam Papua, atau integrasi Papua dalam NKRI. Damai
menjadi suatu kenyataan seperti sebelum integrasi Papua dalam NKRI, jika
pendekatan kekerasan ini tidak digunakan oleh pemerintah RI. Mereka
juga tidak pernah akan mempercayai pemerintah jika kekerasan ini masih
semakin terus digunakan dalam menyenyelesaikan konflik Papua.
Sebaliknya, rakyat asli Papua akan merasakan makna integrasi jika
pemerintah RI mau baik-baik saja dengan rakyat asli dan alam Papua.
Namun, upaya kedamaian dari orang Papua hanyalah semakin menjadi mimpi
di siang bolong. Mereka termakan secara terus menerus dalam kotak
integrasi tersebut.
Realitas penderitaan Papua ini lahir dan
terbentuk secara metodis, berkaitan dan tersistematis ketika Papua
direbut oleh pemerintah RI, 1 Mey 1961. Eksistensi penderitaannya
kemudian dilegalkanya lagi melalui proses PEPERA (1969), meskin dinilai
tidak demokratis sesuai hukum internasional oleh rakyat Papua dan para
pencinta kebenaran di dunia.
Sementara pemerintah RI masih
terus-menerus hidup dari eksistensi derita Papua. Papua adalah sumber
dan puncak kehidupan bagi mereka. tanpa derita Papua, maka mereka tidak
akan pernah merasakan kehidupan yang baik dan damai.
Karena itu,
kita tidak heran jika alam dan manusia Papua diberadakan secara
tersistematis dan metodis dalam konflik dan kekerasan pemerintah RI. Itu
namanya, integrasi derita Papua, bukan integrasi Papua tanah damai.
Saya pikir, pemerintah Indonesia mesti menghayati integrasi Papua dalam
pengeritian yang semakin mendalam. Anda jangan lagi membuat eksistensi
alam dan manusia Papua dalam dunia konflik dan kekerasan yang memisahkan
integrasi Papua dalam NKRI Karena Papua Merdeka Hak rakyat Papua
landasan diatas kekayaan maka NKRI Sadar diri bineka tunggal ika.
Karena kita adalah makhluk integral. Tidak ada darah merah dan puti,
gelap dan terang di antara kitorang. Kita ini satu, ika dan sama-sama
manusia dalam NKRI. Namun makna integrasi itu dapat menjadi lebih baik
lagi di muka dunia hanya apabila ada dialog nasional, bahkan dialog
internasional. Seperti yang diperjuangkan oleh rakyat Papua .
Jika tidak demikian, kita tidak akan pernah menemukan makna integrasi Papua dalam NKRI.***
Penulis adalah YANCE A GOBAY Kepsek SMK YPPGI Timika
About suarakolaitaga
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
0 komentar :
Posting Komentar