Tujuh (7) Wilayah Adat di tanah Papua. Foto: Ist. |
Yogyakarta, MAJALAH
SELANGKAH -- Forum Komunikasi Pelajar dan Mahasiswa Katolik Seluruh Tanah
Papua (FKPMKP) di Yogyakarta kembali menggelar diskusi seputar Keragaman Budaya
Orang Papua, hari ini, Minggu (24/11/13) di Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta.
Diskusi dititikberatkan pada masalah Orang Papua yang semakin
melupakan budayanya, padahal, budaya masing-masing dalam lingkup suku bangsa di
Papua memiliki nilai-nilai luhur, falsafah hidup dan ajaran-ajaran yang baik,
yang dapat dipertahankan.
Budaya Semakin
Dilupakan
Mikael Tekege, mahasiswa Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD "AMPD") Yogyakarta, yang memimpin diskusi kali ini
mengajak peserta untuk kembali melihat kekayaan budaya, baik dalam bentuk
tarian, bahasa, lagu, perkakas, juga yang lebih penting, pandangan dan falsafah
hidup.
Salah satu peserta diskusi, Hery Tebay, mengatakan, tidak ada
kontrol diri dan penyaringan oleh orang Papua atas budaya luar yang masuk ke
Papua, sehingga semua budaya luar, entah itu sesuai dan baik bagi orang Papua,
atau yang tidak, diterima orang Papua. Inilah yang menjadi persoalan menurutnya.
"Pendirian kita sekarang itu tidak kuat seperti saman dulu.
Dulu itu, sesuatu yang baru akan diterima setelah dipertimbangkan secara
matang, untung dan ruginya. Sekarang itu tidak. Pendirian kita kidak
sekokoh dulu," kata Hery, mahasiswa Ilmu
Ekonomi jurusan Manajemen di Sanata Dharma ini.
Sementara Mikael Tekege, yang juga adalah ketua FKPMKP
Yogyakarta saat ini, mengatakan, semua itu karena falsafah adat ditinggalkan.
"Misalnya, kalau manusia Mee itu punya Dou, Gai, Ekowai
(Melihat, Berpikir, dan Bertindak). Kita tidak lihat secara jernih, kita tidak
berpikir memilah dan memilih mana yang baik dari kebudayaan luar yang masuk,
makanya kita terperangkap kebudayaan luar yang kurang baik," urainya.
Tatanan Hidup Orang
Papua Hancur
"Dahulu, di Pegunungan Bintang, kehidupan leluhur kami aman,"
kata Frans Kasipmabin, mahasiswa di Sanata Dharma, juga mantan ketua FKPMKP ini
mengawali uraiannya.
"Di tanah saya, itu satu yang saya lihat, itu etos kerja
sudah tidak ada lagi. Kebun rumput tinggi. Rakyat tinggal harap uang dari
pusat, beras, uang dari pejabat yang keluarga mereka, itu saja. Padahal, adat
sudah bilang, manusia kerja dulu baru dapat makan," kata Frans lagi.
Budaya luar datang, awalnya adalah ketika para misionaris,
penyebar agama, bersentuhan langsung dengan orang Papua. Mereka datang,
kemudian mulai menggoyah sistem kepercayaan, dan sedikit tatanan adat dan
kehidupan orang asli Papua.
Mereka, bangsa Barat datang ke Papua di bawah misi 3 G: Gold
(Emas, kekayaan), Gospel (Penyebaran agama Kristen), dan Glory (Kemuliaan,
kejayaan). Jadi, ketika Agama sudah diterima, maka misi untuk kejayaan dan
kekayaan masuk. Maka, terjadilah eksploitasi, pengerukan kekayaan alam, dan dalam satu sisi, semua yang datang dari
luar menganggap kebudayaan, tatanan hidup orang Papua saat itu rendah martabat
dan derajatnya.
"Dulu, rasa memiliki tanah, alam, dan sifat melindungi alam
sebagai mama itu ada. Sekarang tidak ada lagi," kata Yakobus Dogomo, mahasiswa Ilmu Komunikasi di STPMD "APMD."
"Juga rasa kekeluargaan, sifat sosial, saling membantu,
melengkapi, sekarang sudah tidak ada. Individualis yang semakin tinggi. Ini
bahaya. Padahal, ajaran adat sudah denga jelas mengatakan, hidup harus saling
berbagi dan melengkapi. Agama juga bicara yang sama," kata Yakobus lagi.
Dalam hal umur hidup orang Papua misalnya. Menurut Mikael
Kudiai, mahasiswa jurusan Ilmu Sosiologi pada Universitas Negeri Yogyakarta
(UNY), umur orang Papua zaman dahulu, yang notabene mengonsumsi makanan dan
minunan asli tanpa ada bahan pengawet, umurnya relatif lebih lama dari orang
Papua zaman ini, yang hanya berkisar 60-80 tahun.
Banyak Budaya Tidak
Baik Sudah Masuk ke Papua
Diakui peserta diskusi, bahwa banyak kebudayaan luar
yang negatif, telah masuk ke Papua. Togel misalnya, dengan hanya menebak angka,
seseorang dijanjikan uang yang banyak, bila tebakannya benar.
"Ini sudah jelas bertentangan dengan budaya orang
Papua pada
umumnya, khususnya orang Mee yang mengatakan, kerja dulu, baru dapat
makan," kata Mikael menanggapi paparan Frans Kasipmabin tentang
perkembangan terkini di
Pegunungan Bintang.
Sementara Budaya Minuman Keras, juga bukan budaya orang
Papua, kini telah menjadi seakan-akan budaya orang Papua.
Beberapa yang telah membudaya adalah, budaya minta-minta,
budaya malas kerja, individualisme, dan ketergantungan. Sementara budaya solidaritas, budaya kasih, semua mulai punah.
Akulturasi Budaya
Andreas Yeimo, mahasiswa Ilmu Ekonomi Jurusan Manajemen di
Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY) mengatakan, sesuai dengan teori
Sosiologi, orang Papua dengan kebudayaannya dahulu, ketika berbenturan dengan
kebudayaan baru yang datang, akan menghasilkan sebuah kebudayaan baru, yang
merupakan gabungan dari dua kebudayaan itu. Itulah yang dinamakan Akulturasi
Budaya.
Menurut Andreas, yang mesti dibuat orang Papua saat ini
adalah, bagaimana memperkuat penyaringan, agar semua kebudayaan luar disaring. Yang
baik, kita terima, yang tidak, kita buang.
"Kita tetap pertahankan budaya kita yang asli, tetapi tetap
terima yang baik dari luar," kata Andreas.
Perlu Ada Sekolah
Rakyat
"Perlu ada sekolah rakyat, dimana sekoah rakyat ini menjadi media akulturasi
budaya, dimana kebudayaan asli Orang Papua dipelajari kembali, dan dilengkapi
oleh kebudayaan luar yang baik. Sekolah
rakyat juga menjadi tempat menyaring kebudayaan luar yang masuk."
Itulah solusi akhir diskusi FKPMKP tentang budaya ini. Bahwa
melalui sekolah rakyat, disana, sejak usia dini, ditanamkan identitas
sesungguhnya pada setiap manusia Papua di seluruh suku bangsa yang ada, agar
sejak dini, anak Papua menyadari siapa dirinya, dan tetap menjadi anak Papua
yang sungguh Papua.
Namun, Mikael Tekege, pemimpin diskusi menutup diskusi ini
dengan mengatakan, solusi, membangun
Sekolah Rakyat di Papua juga butuh banyak hal. Sokongan dana, siapa yang
bergerak, bagaimana kurikulumnya, dan beberapa hal lainnya.
"Juga,
untuk saat ini, kita mahasiswa hanya bisa melahirkan ide. Kita belum
cukup untuk bertindak. Nanti, bila sudah cukup waktu, kita bertindak
sesuai dengan yang kita bicara saat ini atau tidak, ini juga pertanyaan
renungan buat kita semua," tutur Mikael.
"Diskusi ini mantap, walau tidak hasilkan kesimpulan pas.
Ini kita sudah buka wacana. Ke depan kita akan diskusi lagi. Yang penting,
kemauan kita untuk pelan-pelan membangun Papua, itu saja," kata Mikael Tekege menutup.
(MS/Topilus B. Tebai)
Sumber : www.majalahselangkah.com
0 komentar :
Posting Komentar