Saat Dramatari "Upacara Pemberian Nama Anak Adat dan Ratapan Mama-mama Papua" dipentaskan pada Festivak Budaya SMA Adhi Luhur. Foto: Yermias Degei |
Nabire, -- Sekolah Menengah Atas (SMA) YPPK
Adhi Luhur, Kolese Le Cocq dArmandville Nabire Papua menggelar Festival Budaya
di halaman sekolahnya, Jalan Merdeka Nabire, Sabtu, (02/11/13).
Festival
digelar meriah. Tampak anak-anak SMA dari berbagai suku yang sekolah di SMA ini mengenakan pakaian
adat mereka masing-masing. Tidak hanya para murid, para guru di sekolah ini
tampak mengenakan pakaian adat mereka.
Tidak seperti
Festival Budaya tahun-tahun sebelumnya, tampak di tangan tamu dan undangan terlihat
bendera merah putih berukuran kecil.
"Kami diberi bendera kecil di pintu masuk oleh penerima tamu. Ya, pegang
saja," kata Stevanus Mote.
"Budaya itu bukan hanya soal-soal tampilan,
melainkan merupakan seluruh proses kerja. Akhirnya, saya menyampaikan selamat
menikmati tampilan-tampilan gelaran budaya dari suku dan etnis yang ada di SMA
Adhi Luhur," demikian kata Kepala SMA Adhi Luhur, V. Seno Hari Prakoso, SJ mengahiri
sambutannya.
Tampilan
drama dari suku Asmat, "Perayaan Pembabtisan" dari para Tahun Orientasi Rohani
(TOR) dari lima keuskupan di tanah Papua menandai pembukaan Festival ini.
Bupati
Nabire, Isaias Douw dalam sambutannya
yang dibacakan Asisten II, Sukadi mengatakan, kebudayaan adalah hasil cipta,
rasa dan karsa manusia dari tiap suku bangsa di dunia. Maka,
kebudayaan menunjukkan identitas sebuah suku yang harus terus diwariskan oleh generasi muda di
zaman ini.
"Saat ini,
budaya kita mulai terkikis oleh perubahan zaman. Maka, saya apresiasi apa yang
dilakukan SMA Adhi Luhur ini. Karena
budaya adalah perwujudan harga diri sebagai manusia," kata Bupati.
Selanjutnya, penabuhan tifa Papua oleh Bupati Nabire menandai
pemukaan Festival ini secara resmi. Disusul, para siswa menyanyikan lagu Theme Song yang diciptakannya sendiri
sebagai opening ceremony dilanjutkan
catwalk dari masing-masing suku.
Sebuah
drama bertema "Perayaan Keberagaman" sosial
budaya yang dibawakan para siswa kelas XII usai opening ceremony cukup mengundang tawa hadirin. Drama ini
mengisahkan bagaimana kehidupan masyarakat Indonesia yang multi etnis dengan
kompleksitas masalahnya.
Tidak
disangka, kritik muncul dari orang tua murid atas drama ini. "Drama ini
panjang. Saya justru melihat drama ini lebih banyak diperlihatkan superioritas
suku tertentu atas suku lain. Juga, menempatkan tokoh anak Papua ini sebagai
pencuri dalam drama ini. Peran dia hanya pencuri, ini bisa menyinggung perasaan
orang tua murid, walaupun ingin gambarkan kehidupan sosial kita di Indonesia," kata Antomina.
Usai, drama
yang cukup panjang ini, tamu undangan diarahkan ke stand-stand yang menyajikan
makanan khas dan karya seni dari tiap suku. Ada makanan khas Batak, Jawa, Bali,
Timor, Toraja, Key, Pesisir Papua, Pegunungan Papua, dan Cina. Icip-icip
makanan khas berlangsung sekitar 30
menit.
Tarian
Jospan (Josim Pancar) secara bersama mengundang para tamu kembali mengikuti
acara inti. Acara inti diawali sebuah drama.
Beberapa
siswa berpakaian adat koteka (pakaian
adat laki-laki Pegunungan Papua dan moge (pakaian adat perempuan pegunungan
Papua) memasuki arena utama dari dua
pintu yang didesain khas Papua.
Menyimak Dramatari Papua
"Kehidupan
di sekitar Danau Wissel," demikian sebuah papan nama dipajang. Drama "Upacara
Pemberian Nama Anak Adat dan Ratapan Mama-mama Papua" dimulai. Ini adalah
sebuah dramatari gabungan suku-suku pegunungan Papua dan pesisir Papua yang sekolah di SMA Adhi Luhur.
Intinya,
drama ini menceritakan bagaimana kehidupan orang Papua sebelum ada kontak
dengan dunia luar. Para siswa menggambarkan bagaimana kehidupan masing-masing
suku sebelum ada kontak dengan dunia luar.
Pertemuan
orang Papua gunung dan orang Papua pesisir pada zaman dahulu digambarkan kembali
dalam drama ini. Beberapa anak berpakaian pegunungan Papua bertemu dengan
beberapa anak berpakaian pesisir Papua. Di sana terjadi kontak antar mereka dan
membangun hubungan sosil dan ekonomi.
Suasana kehidupan suku-suku yang digambarkan dalam
dramatari berubah setelah upacara adat pemberian nama adat usai. Bunyi "bomm, bomm, trum, trum" membuat
kehidupan damai yang digambarkan kocar-kacir. Bagaimana kontak-kontak awal
dengan dunia luar yang disertai kekerasan di masa lalu digambarkan di sana.
Air mata
beberapa tamu undangan berlinang pada adegan ratapan atas tertembaknya seorang
anak laki-laki kepala suku. Suasana tampak benar-benar hening saat salah satu anak
tampak tak berdaya meminta pertolongan. Lagu dan bunyi tifa mengiringi adegan ini. Digambarkan,
anak ini meninggal dan ditemukan oleh
suku pesisir Papua dan mereka meratapi anak ini.
Di tengah
ratapan suku pesisir, beberapa suku lain yang terseber di Papua mulai
berdatangan. Beberapa siswa perempuan yang berperan sebagai mama-mama Papua dan
mereka meratapi dia. Suasana ratapan inilah yang membuat air mata tamu undangan dan beberapa siswa SMP
tak tertahankan. Selanjutnya, anak ini digotong keluar oleh suku-suku dalam
kondisi hening.
Diperlihatkan
pada akhir drama ini, kondisi bagaimana saat ini orang-orang Papua mulai
bangkit dari suasana keterpurukan mereka. Ajakan-ajakan untuk maju dan bekerja
untuk memperbaiki kehidupan disampaikan di sana. "Buna
yoka, anigou-anigou. Buna yoka ekowai-ekowai" (orang Papua, maju-maju.
Orang Papua bekerja-bekerja).
Selanjutnya,
ditampilkan tarian budaya dari suku Jawa, Timor, Tinghoa, Batak, Manado,
Toraja, Maluku, dan kebudayaan dari pesisir Papua. Semua penampilan dari tiap
suku menarik. Festival yang dimulai 08.00 WIT itu diakhir sekitar pukul 15.00
WIT.
"Saya
benar-benar senang dan puas melihat anak-anak SMA ini berpakaian adat. Anak
saya ini dulu takut tetapi sekarang berani pakai koteka. Saya salut buat SMA Adhi Luhur yang hidupkan
budaya kita," kata Damiana Magai, salah satu orang tua murid.
Apresiasi disampaikan
juga dari Zakeus Petege. "Saya senang
dengan kegiatan ini. Saya ajak anak-anak saya ke sini untuk nonton." Kata dia,
Festival Budaya ini adalah kegiatan berbobot dan banyak nilai hidup di sana.
Tidak
disangka, salah satu alumni SMA Adhi Luhur,
Stevanus menyampaikan kritik
tajam.
"Saya suka
acara ini. Tiap dua tahun saya datang nonton. Tetapi, saya tidak suka kalau
dalam apresiasi budaya ada muatan-muatannya. Saya jadi heran, kenapa ada bagi-bagi bendera merah putih pada
acara budaya ini. Ini kita mau bangun nasionalisme Indonesia karena orang Papua
tidak ada nasionalisme atau acara budaya," kata dia.
Kata dia,
pendidikan (sekolah) dan apresiasi budaya tidak bisa disisipi kepentingan.
Menurutnya, pendidikan dan kebudayaan haruslah ditetakkan pada posisinya. Hasil
dari apresiasi budaya dan pendidikan itu
tentu akan melahirkan manusia-manusia
yang dapat memilih kehidupannya. "Tidak perlu ada pemaksaan seperti
ini," kata dia. (MS/Yermias Degei).
Sumber : www.majalahselangkah.com
0 komentar :
Posting Komentar