Para tapol West Papua |
Jayapura - Pemerintah Indonesia harus berhenti berbohong mengenai keberadaan
tahanan politik (tapol) di Papua yang dipenjara karena mengekpresikan
opini dan aspirasi mereka, demikian pernyataan dalam laporan terbaru
TAPOL sebuah LSM HAM berbasis di London yang bekerja sama dengan
organisasi lokal di Indonesia dan Papua Barat.
TAPOL merilis laporan setebal 31 halaman berjudul ‘Tidak Ada Tahanan
Politik? Pembungkaman Protes Politik di Papua Barat’ pada Senin (19/4)
lalu.
Mereka menggugat pemerintah Indonesia yang selalu menekankan tidak adanya tahanan politik di Papua.
“Pemerintah tidak bisa berdalih tak ada tahanan politik di Papua.
Mereka terdiri dari para laki-laki dan perempuan yang nyata ada dan
harus diakui”, kata Paul Barber, koordinator Tapol dalam pernyataan
resmi.
“Jika pemerintah berniat untuk membangun perdamaian di Papua Barat,
mereka harus berbicara dengan para pimpinan politik, bukan justru
memenjarakannya”, lanjutnya.
Laporan ini didasarkan pada penelitian dan wawancara serta data dari situs www.papuanbehindbars.org, sebuah upaya inisiatif baru dari kelompok masyarakat sipil di Papua Barat dan telah dirilis di Jayapura, awal bulan ini.
Hingga Maret tahun ini, kata mereka, terdapat 40 tapol di Papua.
Laporan ini juga mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat 210 peristiwa
penangkapan bernuansa politik di Papua sepanjang tahun 2012, dimana 9
persennya menimpa kaum perempuan.
‘Untuk setiap tapol di mana pemerintah mengabaikannya, terdapat
ribuan orang-orang Papua yang merasa sakit hati dan diabaikan.
Memberikan orang Papua hak untuk mengekspresikan diri mereka sendiri
sama seperti warga negara lainnya adalah langkah awal menuju dasar
penyelesaian konfik,’ ujar Paul Barber.
Menurut Tapol, penangkapan sewenang-wenang aktivis politik sering
diikuti dengan pelanggaran HAM, termasuk penyiksaan dan perlakuan yang
tidak manusiawi, penyangkalan atas hak-hak dalam peradilan yang jujur
dan lemahnya akses untuk mendapatkan layanan kesehatan dan perawatan
medis yang layak.
“Menurut para pengacara HAM yang ada di Jayapura, penjara-penjara
yang ada di Papua Barat mengalami masalah kekurangan air bersih,
kurangnya fasilitas medis, kesombongan para sipir, dan penggunaan
kekerasan di dalam penjara”, kata laporan ini.
Mina, isteri seorang mantan tapol yang diwawancara dalam laporan ini
mendeskripsikan dampak yang dihadapi anak-anaknya ketika suaminya
dipenjara karena melakukan aktivitas politik.
Ia mengaku, ketika dirinya sakit malaria yang sangat parah, ia harus menjual semua baju dan selimut agar bisa membeli obat.
“Kami terbiasa berbicara lewat telepon, ia meminjam telepon dan
menelepon saya. Saya terbiasa menyatakan padanya bahwa semua baik-baik
saja, meskipun sebenarnya tidak. Saya tidak ingin dia khawatir kepada
saya. Kami luar biasa menderita”, katanya.
Menurut TAPOL, kasus yang menimpa tapol di Papua dijerat Pasal 106
KUHP tentang tindakan makar, bunyinya: “Makar dengan maksud supaya
seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau
memisahkan sebagian dan wilayah negara, diancam dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”
Tapol mengatakan, undang-undang tersebut dipandang oleh para
pengacara di Papua Barat dan daerah-daerah lain di Indonesia sebagai
peraturan perundangan yang telah kadaluwarsa, bekas peninggalan
pemerintah Belanda yang dahulu digunakan untuk menekan para penjuang
nasional Indonesia dan saat ini tidak lagi cocok digunakan dalam suatu
demokrasi modern.
Selain itu, katanya, selama ini UU hanya tegas diterapkan untuk orang Papua.
Wakil Menteri Hukum da Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana tidak
merespon ketika hendak dimintai komentar lewat telepon dan SMS oleh
ucanews.com terkait hal ini.
Tahun lalu, dalam salah satu diskusi di Jakarta terkait keberadaan
tapol Papua Dahana, perwakilan dari Kementerian Hukum dan HAM mengatakan
bahwa di Papua tidak ada tapol.
“Yang ada adalah narapidana karena terjerat kasus makar sesuai Pasal 106 KUHP”, katanya.
Septer Manufandu, Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Untuk
Penegakan Hukum dan HAM di Tanah Papua mengatakan, pemerintah Indonesia
harus segera membuka mata terhadap tahanan politik di Papua.
“Selain membebaskan mereka yang berada di penjara-penjara di Papua
dan segera memulai upaya dialog damai dengan rakyat Papua, pemerntah
juga harus menjamin hak-hak mereka kesehatan dan pelayanan hukum”.
Ia menambahkan, pemerintah pusat harus segera berkunjung ke Papua
dan bertemu dengan para tahanan politik yang sedang mendekam di berbagai
penjara.untuk mendapatkan fakta atas kondisi mereka.
Ryan Dagur, Jakarta
Sumber : www.indonesia.ucanews.com
0 komentar :
Posting Komentar