News
Loading...

KEDUDUKAN INDONESIA DI WEST PAPUA ILEGAL

Situasi keamanan dan Hak Asasi Manusia di teritori West Papua mulai terganggu sejak Ir. Soekarno Presiden Republik Indonesai mengambil inisiative bersama militer Indonesia melakukan upaya untuk merebut wilayah koloni Nederlands Nieuw Guinea dan menguasai West Papua dari kekuasaan Pemerintah kolonial Nederland tanpah hak dan inisiative tersebut ditentang oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Drs. Mohamad Hatta dengan alasan Ras dan Kebangsaan yang berbeda serta kewajiban Pemerintah Republik Indonesia menghormati Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua, namun Ir. Soekarno Presiden Republik Indonesia tetap pada kehendaknya yang bertentangan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 26 Juni 1945, Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa nomor 1514(XV) tanggal 20 Desember 1960 dan alinea Pertama Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Pemerintah Republik Indonesia dan Angkatan Perang Republik Indonesia dibawah kepemimpinan Ir.Soekarno Presiden Republik Indonesia yang mengumumkan Maklumat Tri Komado Rakyat (TRIKORA) di Alun-alun Jog Jakarta, 19 Desember 1961 mengawali kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia Bangsa Papua dengan melakukan tindakan Infiltrasi, Konfrontasi dan Aneksasi wilayah West Papua tanpa hak dengan memanfaatkan situasi politik dunia yang terbagi antara kekuatan kelompok Komunis yang dipimpin Uni Sovyet bersama Tiongkok dan Kelompok Liberalis yang dipimpin oleh Amerika Serikat.


Pemerintah Republik Indonesia berhasil di rangkul oleh Pemerintah Amerika Serikat yang didukung oleh TNI AD dan menerima tawaran penyelesaian melalui perundingan yang difasilitasi Duta Besar Amerika Serikat di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Mr.Oswalt Bunker.


Mr. Oswalt Bunker Duta Besar Amerika Serikat di PBB mendesaign Persetujuan New York yang pada prinsipnya mengamankan tujuan dan kepentingan Pemerintah Republik Indonesia dengan harapan Pemerintah Amerika Serikat mendapatkan hak investasi di Indonesia secara khusus di West Papua melalui dokumen kesepakatan yang didesaign Mr. Oswalt Bunker, hal tersebut nampak jelas dalam penandatanganan Kontrak Karya PT. Free Port Mc. Moran 1966 atas eksploitasi Tambang Emas dan Tembaga di Tembagapura West Papua sebelum pelaksanaan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua di bekas koloni Nederlands Nieuw Guinea tahun 1969 sebagimana pasal 18 d dan 22 ayat 1 Persetujuan New York yang ditandatangani oleh Pemerintah kerajaan Nederland dan Pemerintah Republik Indonesia pada 15 Agustus 1962 di gedung Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.


Sejak berakhirnya Pemerintahan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa UNTEA di West Papua bekas koloni Nederlands Nieuw Guinea 1 Mei 1963 dan kemudian Kekuasaan Administrasi diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia, dalam bulan tersebut Ir. Soekarno Presiden Republik Indonesia menerbitkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia, Nomor : 8/Mei/1963 yang Menyatakan : “ Melarang/menghalangi atas bangkitnya cabang-cabang Partai Baru di Irian Barat. Di daerah Irian Barat dilarang kegiatan politik dalam bentuk rapat umum, pertemuan umum, demonstrasi-demonstrasi, percetakan, publikasi, pengumuman-pengumuman, penyebaran, perdagangan atau artikel, pameran umum, gambar-gambar atau foto-foto tanpa ijin pertama dari gubernur atau pejabat resmi yang ditunjuk oleh Presiden Republik Indonesia.“


Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia, Nomor : 8/Mei/1963 adalah bukti pelanggaran terhadap pasal 22 ayat 1 Persetujuan New York tanggal 15 Agustus 1962 yang ditanda tangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Nederland.


Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia, Nomor : 8/Mei/1963, memberi legitimasi kepada militer Indonesia untuk melakukan intimidasi dan operasi penangkapan, penahanan sewenang-wenang tanpa bukti kesalahan terhadap orang pribumi Papua, penyiksaan, pemerkosaan terhadap perempuan dan ibu-ibu Papua, perampokan dan perampasan terhadap harta benda warga masyarakat pribumi Papua, Pembunuhan terhadap aktivis Hak Asasi Manusia dan Demokrasi bangsa Papua yang bersuara keras untuk keadilan dan penegakan pasal 22 ayat 1 Persetujuan New York 15 Agustus 1962 yang ditanda tangani oleh Pemerintah Kerajaan Nederland dan Pemerintah Republik Indonesia.

Kejahatan terhadap Demokrasi dan Hak Asasi Manusia bangsa Papua yang dilakukan oleh militer Indonesia berlangsung sampai pelaksanaan PEPERA 1969, July-Agustus dibawah legitimasi Keputusan Presiden Republik Indonesia, nomor : 8/Mei/1963.

Pada tahun 1967, dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 199/1967, Irian Barat dijadikan salah satu Projek diantara 17 Projek Nasional yang mengalami perobahan susunan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 18/1969, dijadikan Sektor-Sektor dimana Irian Barat (West Papua) termasuk sebagai salah satu sektor Khusus.


Untuk merealisir Operasi Sektor Khusus tersebut, Amir Machmud Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia selaku Ketua Sektor Irian Barat segera mengeluarkan Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang meliputi :

a. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 31 s/d 38/1968, tentang Pembentukan Daerah-Daerah Musyawarah Kabupaten-Kabupaten. 

b. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29/1969, tentang Penyempurnaan Susunan Organisasi, Tugas dan Wewenang serta Tata Kerja Sektor Irian Barat.
c. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. IB X/1/1/2, tentang Pedoman Operasi yang merupakan kebijaksanaan Menteri Dalam Negeri selaku Ketua Sektor Irian Barat.

d. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 1/X/1969, tenteng Realisasi Pemantapan dalam bulan Mei dan Djuni 1969 dan Pengamanan Pelaksanaan Pepera.

e. Pedoman No. 12 tahun 1969, tentang tjara kerja Panitia Pembentukan Dewan-Dewan Musyawarah Pepera di Kabupaten-Kabupaten di Irian Barat. 

Ketentuan yang dimaksud pada butir a sampai dengan e menegaskan bahwa Pepera 1969 dilaksanakan dalam bentuk musyawarah-mufakat melalui perwakilan yang diseleksi dan ditunjuk oleh Panitia Sektor Irian Barat yang konsultasinya dimulai 14 July 1969 di DMP Merauke sampai dengan selesai tepat pada tanggal 2 Agustus 1969 di DMP Djayapura.

Anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang dipersiapkan oleh Panitia Sektor Irian Barat 1969, ditugaskan untuk membaca naskah Pernyataan Sikap yang telah dirancang oleh Pemeritah selaku Panitia Sektor Irian Barat dalam musyawarah-mufakat yang bunyi kalimatnya sebagai berikut : “ Tetap bersatu dengan Negara Republik Indonesia dan tidak mau dipisahkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” 

Keterangan Anggota Dewan Musyawarah Pepera bahwa Naskah Pernyataan yang dibaca dan ditandatangani oleh mereka adalah sangat bertentangan dengan hati nurani mereka, namun mereka tidak bisa melawan karena sejak dipilih dan ditetapkan sebagai anggota DMP sampai saat dijemput dan diantar oleh militer Indonesia menuju gedung tempat pelaksanaan Musyawarah-mufakat. Dalam perjalanan mereka dibawah tekanan dan diancam dibunuh oleh militer Indonesia, jika kalimat yang diucapkan bertentangan dengan naskah pernyataan yang telah disiapkan oleh Panitia Sektor Irian Barat dan diserahkan kepada Anggota Dewan Musyawarah Pepera.

Pada akhir tahun 1969, Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Mr.Adam Malik, menyampaikan hasil pelaksanaan PEPERA yang cacat hukum pelaksanaannya kepada Sekretaris General Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai laporan untuk memenuhi kewajiban yang diatur dalam pasal 21 ayat 1 Persetujuan New York 15 Agustus 1962. 

Pada tahun 1971, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui Resolusi nomor 2504, yang menerima pelaksanaan dan hasil PEPERA 1969 July – Agustus. Resolusi 2504/1971 tersebut memberikan legitimasi kepada pemerintah asing Republik Indonesia untuk menjajah dan melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia di West Papua tanpa didasari suatu pelaksanaan Referendum yang sejati menurut praktek Internasional ;

Selanjutnya dibawah legitimasi Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa 2504/1971, Pemerintah Republik Indonesia dibawah kepemimpinan Jenderal TNI Soeharto Presiden Republik Indonesia menetapkan teritori West Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) yang didukung oleh Doktrin Dwi Fungsi ABRI pada masa Orde Baru dan telah membunuh lebih dari seratus ribu orang pribumi West Papua tanpa alasan kesalahan namun hanya karena menuntut keadilan atas Pelaksanaan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua.

Status politik Papua Barat dalam NKRI adalah masalah utama bangsa Papua Barat. Statusnya, belum final.

Trus, Bagaimana menyelesaikannya?
Ada dua cara yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan secara internasional, yaitu secara damai atau bersahabat dan secara paksa. Tapi, setelah perang dunia ke-II PBB menyeruhkan tidak dengan
paksa. Cara penyelesaian secara damai ada dua, yaitu secara politik dan hukum. Secara politik meliputi negosiasi, jasajasa baik, mediasi, konsiliasi, penyelidikan, dan penyelesaian dibawah naungan PBB. Sedangkan secara hukum dilakukan melalui lembaga peradilan internasional yang telah dibentuk (Mahkama Internasional).

Mahkama Internasional
Mahkama Internasional, International Court of Justice (ICJ) adalah badan kehakiman PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Ia berfungsi untuk menyelesaian kasus-kasus internaasional sesuai dengan pertimbanganpertimbangan hukum Internasional. Jadi, kalau masalah Papua Barat mau selesai, maka orang Papua Barat dengan segala kekuatannya menjadikan wilayah Papua Barat sebagai wilayah yang sedang bertikai. Jangan diam, bergerak dan beraksi.

Ketika Mahkamah Internasional mau bicara, orang Papua Barat butuh Pengacara Internasional. Maka, saat ini kita punya Internasional Lawyers for West Papu ILWP. Ingat, ILWP adalah pengacara Papua Barat. Karena kasus Papua Barat adalah kasus yang berkaitan dengan proses hukum internasional.
Share on Google Plus

About suarakolaitaga

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment