Lemok Mabel (Jubi) |
Jayapura,15/9(Jubi)—Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah Balim (Lapago)
mengeluarkan pernyataan sikap atas penangkapan Ketua Dewan Adat Lani
Besar, Arki Wanimbo, bersama tiga warga Papua dan dua jurnalis asal
Prancis, di Wamena, Rabu 6 Agustus 2014.
Dalam pernyataan sikap yang ditandatangani Lemok Mabel (Ketua) dan Yulianus Hisage (Sekretaris) itu, selain
mengungkapkan kritiknya atas jaminan hidup, jaminan hukum, dan jaminan
kerwarnegaraan bagi masyarakat adat, DAP Lapago juga mengritik proses
penangkapan yang tanpa melalui prosedur yang benar.
Menurut DAP Lapago, Areki Wanimbo (Ketua Dewan Adat Lani Besar; guru
PNS), Deni Dow (petani), Jornus Wenda (petani), Ahky Logo (Aktivis
pendidikan dan Ketua YP3R), Thomas Charles Tendeis (wartawan), dan
Valentine Baurrat (wartawan) ditangkap dan ditahan tanpa melalui suatu
prosedur hukum yang benar.
“Proses penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan penahanan oleh
anggota Kepolisian Polresta Kabupaten Jayawijaya penuh rekayasa dan
tidak sesuai dengan mekanisme dan prosedur hukum yang berlaku serta
bertentangan dengan Pasal 1 angka 20 KUHAP dan Undang-undang No. 2 tahun
2002 tentang Kepolisian Negara RI,” tegas DAP Lapago.
Berikut pernyataan sikap DAP Lapago selengkapnya:
DEWAN ADAT WIAYAH BALIM
Sektretariat: Gang Pilamo Kuburan LamaKuburan lama Samping Panti Asuhan Pelanggi Wamena.
“Jangan abaikan kami, bebaskan kami dari belenggu, penindasan,
penipuan, diskriminasi dan marginalisasi di tanah leluhur kami,tetapi
hargailah kami Masyarakat Adat sebagai tuan atas pemilik dan hak atas
Tanah Adat di Negeri ini”.
I. PENGANTAR
Wa..wa..wa…wa..!!
Nuri, Nayaklak, Lauknyak, Kinaonak, Yepmum, Wallak, Wiwaoo, …dengan
bahasa Ibu Masyarakat Adat Balim La-pago, kami menyapa; Salam Sejahtera
di dalam pertolongan TUHAN ALLAH Bangsa Papua dan semoga Naungan Moyang
Leluhur, Tulang belulang, Janda, Duda, Yatim Piatu senantiasa
Memberkati setiap langkah kita.
“Barang Siapa Bekerja Dengan Jujur dan Adil di atas tanah ini, Ia
Akan Melihat Tanda Heran yang Satu Kepada Tanda Heran yang Lain”.
Dan begitu juga…..!!
“Barang Siapa Bekerja dan Berkarya dengan tidak Jujur, tidak
adil, di atas tanah ini, Ia akan menerima satu Musibah kepada Musibah
yang Dasyat”
Dihiasi linangan air mata dan kehancuran hati dari sekian banyak
insiden yang di lakukan oleh Pemerintah melalui Kebijakan Regulasi
maupun Tindakan para Aparat TNI/POLRI dari sejak Papua diintegrasikan
dengan Pemerintah Republik Indonesia hingga hari ini; Jaminan Hak Hidup,
Jaminan Hukum, Jaminan Kewarganegaraan bagi Masyarakat Adat Balim La
Pago (Pegunungan Tengah Papua) sangat tidak Jelas.
Pendekatan pembangunan di Wilayah Balim tidak dengan hati atau
Pemerintah tidak mampu menanamkan ideologi sebagai bagian dari NKRI
tetapi dilakukan pendekatan secara militeristik. Sejarah kenangan pahit
yang panjang hingga kini dengan insiden yang terus-menerus tanpa batasan
dari proses : Perencanaan, pengejaran, penangkapan, Pembunuhan,
Pembantaian, Pembakaran Honai Adat, Pembakaran Rumah Warga, pembakaran
Rumah Ibadah, pembunuhan Ternak Warga, pengerusakan hasil kebun, yang
sangat tidak manusiawi dan tidak prosedural. Yang paling ironis adalah
di Papua setiap ada aksi atau terjadi keributan, sasaran pengejaran,
penyisiran, penangkapan, pemenjaraan dan pembunuhan secara membabi buta
oleh aparat gabungan TNI/POLRI adalah Masyarakat Adat Pegunungan Tengah
Papua (La Pago, Me Pago ).
Maka muncul sejumlah pertanyaan yang tak sanggup dijawab dengan kata-kata!
Siapa sebenarnya kami Masyarakat Adat ini?
Siapa sebenarnya pemilik warisan Negeri ini?
Siapa yang lebih dahulu menempati Negeri ini?
Ke mana masyarakat adat harus berpijak untuk mendapatkan keadilan?
Apa salah dan dosa Masyarakat Adat sehingga diperlakukan sewenang-wenang?
Wilayah Adat Balim La-pago, adalah tempat dimana setiap makluk
dapat melangsungkan hidup dengan aman dan damai. Sejak warisan negeri
ini diberikan kepada kami masyarakat adat, yang kami temukan adalah
kerukunan dan kedamaian di dalam nilai kebenaran budaya kami. Namun
akhir-akhir ini, kami merasakan negeri ini seperti sebuah neraka yang
diciptakan bagi kami Masyarakat Adat Papua.
Wilayah Adat Balim La-pago kini dijadikan sebagai tempat
perjudian dan bisnis oleh tangan-tangan usil, yang mana nyata, setiap
mereka yang ingin meraih sukses dalam kenaikan pangkat, sukses meraih
kursi tertinggi justru mengabaikan Masyarakat Adat.
Lebih dari pada itu, wilayah ini dijadikan bisnis jabatan politik
pihak tangan besi seperti halnya pemangku kepentingan di pihak Aparat
Keamanan supaya cepat dinaikkan pangkatnya, supaya cepat diberikan
jabatan, supaya cepat meraih kursi empuk. Akibatnya kami masyarakat adat
tak berdosa dijadikan korban konspirasi politik dan ideology.
Perlu kami masyarakat adat perjelas agar kami jangan dijadikan
komoditas politik dan ideology untuk kepentingan pemerintah dan aparat
keamanan. Perlu ditinjau kembali asal usul politik dan ideology supaya
tidak saling curiga dan saling mengorbankan. Letakanlah masalah pada
tempatnya yang sesuai sebelum bertindak, dan belajarlah tentang akar dan
sumber sejarah masalah supaya tidak mengorbankan kami masyarakat di
tingkat bawah.
II. LATAR BELAKANG
Masyarakat Adat Balim La-pago; Suku Yali, Suku Hubula dan Suku
Lani, sudah semakin kecewa dan kesal terhadap kinerja Kepolisian
Polresta Jayawijaya. Atas Penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan
penahanan dan pemenjaraan Ketua Dewan Adat Lani Besar dan tiga (3) warga
masyarakat serta dua (2) orang Asing yang dimaksud dengan Jurnalis
Asing di Wamena Kabupaten Jayawijaya pada hari Rabu, 06 Agustus 2014
pukul 14:00 WP. Keenam orang ini adalah :
1. Bapak Areki Wanimbo (Ketua Dewan Adat Lani Besar; Guru PNS)
2. Deni Dow (Warga Sipil; Petani)
3. Jornus Wenda (Warga Sipil; Petani)
4. Ahky Logo ( Warga Sipil; Aktivis pendidikan dan Ketua YP3R)
5. Thomas Charles Tendeis (Wartawan)
6. Valentine Baurrat (Wartawan)
Ditangkap dan ditahan tanpa melalui suatu prosedur hukum yang
benar. Proses Penangkapan, Penggeledahan, penyitaan dan penahanan oleh
Anggota Kepolisian Polresta Kabupaten Jayawijaya penuh rekayasa dan
tidak sesuai dengan mekanisme dan prosedur hukum yang berlaku serta
bertentangan dengan Pasal 1 angka 20 KUHAP dan Undang-undang No. 2 tahun
2002 tentang Kepolisian Negara RI.
Proses Penahanan, Pemeriksaan telah melebihi batas hukum, di
bawah tekanan dan teror dengan tidak mempertimbangkan hak masyarakat
yang ditahan, serta proses pemeriksaan dilaksanakan di tempat terpisah:
Dua Orang Asing ditahan semalam pada Hari Rabu, 06 Agustus 2014 di
Polresta Jayawijaya dan langsung diberangkatkan ke Jayapura keesokan
harinya. Lalu ketiga warga sipil lainnya ditahan semalam di Polresta
Jayawijaya dan dipulangkan pada malam hari berikutnya dan proses
pemeriksaan dilanjutkan dengan status sebagai saksi, sedangkan Kepala
Suku Lani Besar ditahan dan dimasukan ke dalam Sel dan selanjutnya
ditetapkan sebagai tersangka, tanpa melihat dengan saksama status dan
kedudukan persoalan atau kasus.
Sementara itu, proses penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan
penahanan sebagaimana diberitakan Media Massa, Cenderawasih Pos dan RRI
Pro 3 Jakarta, tidak disertai dengan pernyataan tentang pembuktian yang
sah oleh Kepolisian Polresta Jayawijaya serta Kabag Humas Polda Papua.
Pihak Kepolisian mengatakan kepada media bahwa pihak kepolisian telah
menangkap anggota kriminal bersenjata (KKB) pimpinan Enden Wanimbo.
Pernyataan ini merupakan rekayasa dan tuduhan yang tidak berdasar. Pihak
Kepolisian menyatakan bahwa masyarakat sipil yang ditangkap telah
melakukan perbuatan makar. Hal ini adalah suatu pernyataan yang belum
dibuktikan secara sah.
Tuduhan makar yang dituduhkan kepada Kepala Suku Lani Besar
sangat tidak wajar dan tidak terbukti. Pemeriksaan terhadap Kepala Suku
Lani Besar, Areki Wanimbo dilakukan di bawah tekanan anggota kepolisian
hingga penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan dan surat penahanan.
Berita acara penangkapan dan penahanan baru diterbitkan pada malam hari
Jumat 08 Agustus 2014 dan berita acara pengeledahan baru terbit pada
Senin 11 Agustus 2014, sedangkan penggeledahannya sudah dilakukan pada
Rabu 06 Agustus 2014.
Koordinasi dan audiensi tokoh-tokoh masyarakat, kepala-kepala
suku dari tiga suku besar; Suku Yali, Suku Hubula dan Suku Lani dengan
pihak Polresta Jayawijaya berulang kali terjadi, sejak ditahannya hingga
hari diberangkatkan ke Jayapura pada hari selasa 12 Agustus 2014. Akan
tetapi dalam audiensi tersebut, terjadi penipuan dan pembohongan
terhadap dewan adat dan penasihat hukum. Dengan itu, pihak kepolisian
Polresta Jayawijaya memilih bermusuhan dengan rakyat dari tiga suku
besar.
Kami masyarakat Balim La-pago, tiga suku besar di Pegunungan
Tengah; Yali, Hubula dan Lani sangat-sangat menyesal dan kesal terhadap
tindakan dan kinerja Kepolisian Polresta Jayawijaya terhadap salah satu
pimpinan kami, Dewan Adat Daerah Lani (Kepala Suku Lani Besar), yang
mana selama ini telah terjalin kerja sama yang baik dan sama-sama telah
menjaga ketertiban, kenyamanan dan kedamaian, dan juga sama-sama ikut
melaksanakan pengawalan atas pembangunan. Dan sangat disesalkan juga
bahwa pimpinan kami yang selama ini memberi andil atas terselenggaranya
Pesta Demokrasi pemilihan Calon Legislatif sampai dengan Pemilihan Calon
Presiden di Lani Jaya, berjalan aman dan lancar, justru
dikriminalisasikan.
Areki Wanimbo adalah seorang tokoh dan pimpinan Dewan Adat
Wilayah Lani Besar yang juga Kepala Suku Lani Besar, juga merupakan Abdi
Negara yang baik. Di samping sebagai Kepala Suku, Areki Wanimbo juga
mengabdi kepada Negara dalam mempersiapkan generasi bangsa sebagai Guru,
Pegawai Negeri Sipil NKRI. Namun sangat disayangkan, pihak kepolisian
Polresta Jayawijaya dengan sewenang-wenang mengkriminalisasi Ketua Dewan
Adat kami dengan tuduhan makar.
Masyarakat adat sangat terluka, terpukul dan sakit atas kinerja
dan sikap Aparat gabungan TNI/POLRI terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat
Papua Balim La-pago, dengan tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan
yang terlalu arogan melalui berbagai tindakan di antaranya :
1. Penembakan dan pembunuhan terhadap anak Adat tak berdosa atas
Nama Opinus Tabuni pada tanggal 09 agustus 2008, di lapangan Sinapuk
Wamena pada perayaan Hari Masyarakat Adat Bangsa Pribumi Internasional .
2. Penembakan dan pembunuhan anak adat atas Nama Ismail Lokobal
pada 4 Oktober 2010 di areal kantor Dewan Adat Wilayah Balim La-pago
3. Pembakaran yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Polresta
Jayawijaya terhadap Kantor Dewan Adat Wilayah Balim La-pago pada malam
hari 15 Desember 2012 tanpa sebab dan alasan yang jelas.
4. Pembakaran Honai Dewan Adat Daerah Hubula di Sinapuk – Wamena
5. Pembakaran Honai Dewan Adat Klein Suku Itlay Ikinea Daerah Hubula di belakang Pasar baru Jibama Wamena
6. Dan kini kami sangat terluka sekali karena salah seorang
pimpinan Dewan Adat daerah Lani Besar ditangkap dan diproses dengan
penuh konspirasi dan manipulasi.
7. Pembakaran Rumah Ibadah, Rumah tinggal Warga dan pengrusakkan hasil perkebunan masyarakat Suku Lanni Besar
8. Banyak anak-anak adat menjadi korban penembakan oleh aparat
dengan tuduhan sebagi anggota Organisasi Papua Merdeka, Anak- anak dari
organisasi KNPB, pada hal Masyarakat Adat Papua sudah menyiapkan suatu
jalan solusi terbaik, yakni Jaringan Damai Papua (JDP) bekerja sama
dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ( LIPI ) untuk memediasi akar
persoalan Papua. Atau dengan jalan terbaik lain yang bisa di sepakati
bersama.
Sehingga, kali ini dengan hati terluka dan dengan kesedihan yang
mendalam, kami masyarakat adat Balim La-pago dengan berbagai
keterbatasan yang ada, hanya dapat menyapa Sang Pencipta yang memberikan
dan menempatkan kami masyarakat adat di Negeri ini. Kami memohon
keadilan dan kejujuran atas kami masyarakat adat pada Sang Pencipta.
Sebab selama ini yang ada dalam orientasi dan nurani kami adalah “tiga
tungku satu honai” yang artinya adalah Adat, Gereja dan Pemerintah harus
dihormati. Tetapi telah nyata bahwa tungku tersebut telah hancur, kami
masyarakat adat telah berusaha dan berusaha melupakan masa lalu dan
membangun kembali kehancuran masa lalu akan tetapi ternyata hanya sebuah
harapan hampa yang diimpikan oleh kami masyarakat adat. Ternyata tidak
ada niat baik pemerintah terutama Kepolisian untuk kami masyarakat adat.
Masyarakat adat, juga sangat sesalkan pihak yang memiliki
hubungan langsung dengan status Imigrasi, terhadap dua (2) warga asing.
Kantor Imigrasi Indonesia yang berkedudukan di Jakarta dan provinsi
Papua tidak terlihat Profesional dalam menangani dan menjalankan peran
sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam manajemen ke-Imigrasian.
Sehingga perlu dipertanyakan bahwa adanya proses pembiaran dan unsur
kesengajaan yang terjadi, sehingga kedua jurnalis asing bisa sampai ke
Papua, apalagi sampai di Wamena. Bagi kami masyarakat awam, kejadian ini
kami nilai sebagai suatu konspirasi, untuk menangkap dan mencari
persoalan.
Maka dengan tegas kami menyatakan bahwa pihak yang telah
melakukan dan menciptakan masalah adalah pihak Imigrasi dan Kepolisian,
kedua orang asing masuk secara resmi melalui aturan hukum yang berlaku,
dengan melaporkan diri, namun yang menjadi pertanyaan masyarakat adat
adalah kenapa mereka dibiarkan sampai ke Wamena? Kemudian status mereka
baru diungkap kepada publik sebagai jurnalis asing, setelah penangkapan
dan penahanan berlangsung, berarti jelas bahwa telah terjadi sebuah
konspirasi antara pihak Imigrasi dan Kepolisian. Ada apa sebenarnya
dalam proses baku tipu ini? Apa kejujuran itu sesuatu yang harus dibayar
dengan mahal? Apakah menjebak orang tak bersalah tidak melanggar hukum?
III. KRONOLOGIS
Adapun kronologis yang membuat timbulnya berbagai pertanyaan dalam masyarakat adat adalah terdapat kejanggalan-kejanggalan hukum dan perampasan Hak Asasi Manusia oleh pihak lain. Perampasan hak asasi orang lain dengan sewenang-wenang tersebut terjadi sebagaimana dapat dilihat dalam kronologis berikut:
1. Penangkapan dilakukan pada sekitar pukul 14.00 WP hari Rabu 06
agustus 2014. Dalam peristiwa penangkapan itu, Kepolisian Polresta
Jayawijaya sebagai penegak Hukum, tidak mengantongi atau menunjukan
surat Perintah penangkapan, penggeledahan dan penahanan sesuai KUHAP
yang berlaku. Setelah ditangkap pada hari Rabu tanggal 06
Agustus 2014 dan dibawa ke Polresta Jayawijaya, 6 orang yang ditangkap
ditahan di kantor Polresta Jayawijaya. Kemudian pada hari Kamis 07
Agustus 2014 pukul 22.00 WP ketiga warga sipil dipulangkan sedangkan dua
warga Negara asing diberangkatkan ke Polda Papua di Jayapura pada siang
hari. Sedangkan Kepala suku Lani Besar, Areki Wanimbo dinyatakan
sebagai tersangka tanpa melalui sebuah prosedur hukum yang berlaku,
2. Sebelum pemeriksaan dilaksanakan lebih lanjut oleh kepolisian
Polresta Jayawijaya, tiga dari empat tahanan dinyatakan status sebagai
anggota Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) oleh Kabag Humas Polda Papua
sebagaimana diberitakan Cenderawasih Pos pada 8 Agustus 2014 dan
Cenderawasih tanggal 13 Agustus 2014. Pemberitaan ini tidak benar dan
merupakan pembohongan Publik yang dilakukan oleh pihak kepolisian.
Sementara itu, pada tanggal 7 Agustus 2014, ketiga orang dari empat
orang yang ditahan sudah dibebaskan dan hanya ditetapkan sebagai saksi.
Pertanyaannya, jika mereka dituduh sebagai anggota KKB, mengapa mereka
justru dibebaskan dan bukannya ditahan?
3. Daya dan upaya masyarakat adat melalui Dewan Adat Papua Balim
La-pago bersama pimpinan-pimpinan Gereja, pimpinan adat suku Yali, suku
Hubula dan suku Lani, sejak tanggal 06-12 Agustus 2014 telah membangun
komunikasi melalui dialog tatap muka bersama Kapolres Jayawijaya di
ruang kerjanya secara terus menerus, namun yang terjadi, pembohongan dan
penipuan yang dilakukan oleh Kapolres Jayawijaya, dalam memberikan
keterangan dan penjelasan.Sampai pada hari Selasa 12 Agustus 2014,
koordinasi tatap muka dan audiensi terus terjadi oleh pimpinan Dewan
adat dan juga penasihat hukum, namun, penjelasan menyangkut status Bapak
Areki Wanimbo tidak dijelaskan dengan seksama.
4. Pada hari Selasa 12 Agustus 2014, Areki Wanimbo diberangkatkan
ke Jayapura secara diam-diam oleh kepolisian Polresta Jayawijaya dengan
tidak menghargai dan menghormati hak-hak dari Areki Wanimbo sebagaimana
terdapat di dalam Pasal 1 angka 20 dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, pasal 18 angka 4 serta pasal 30 KUHAP, seperti harus
diketahui dan didampingi Kuasa hukum/Pengacara dan juga diketahui oleh
keluarga.
5. Pembohongan publik dilakukan oleh kepala Kepolisian Polresta
Jayawijaya terhadap Kuasa Hukum, Masyarakat dan Keluarga Areki Wanimbo,
dengan memberangkatkan Areki Wanimbo secara diam-diam.
IV. PERNYATAAN SIKAP
Kami masyarakat adat tiga suku besar wilayah Balim La-pago; Suku
Yali, Suku Hubula, Suku Lani dengan dipimpin oleh TUHAN sang pencipta
dan dalam perlindungan moyang leluhur kami yang mewarisi Negeri ini kepada kami dengan
tegas menyatakan :
1. Kami Masyarakat Adat tiga suku Besar Yali, Hubula dan Lani
sama sekali tidak percaya dengan kinerja kerja Kepolisian Polresta
Kabupaten Jayawijaya karena Polisi tidak menunjukan profesionalime
sebagai penegak hukum yang baik, dan peran kepolisian sebagai pengayom
dan Pelindung rakyat.
2. Kami Masyarakat Adat Suku Yali, Hubula dan Lani sungguh-sungguh
merasa kesal dengan sikap Kapolres Jayawijaya yang tidak mengikuti
Prosedur hukum yang berlaku sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. (KUHAP) seperti :
a. Polisi tidak memiliki surat tugas dari pimpinan Kepolisian dalam penangkapan
b. Anggota Polisi yang bertugas melaksanakan penangkapan tidak
memiliki surat perintah Penangkapan dari pimpinan kepolisian Polresta
Jayawijaya
c. Polisi tidak memiliki surat perintah Penangkapan terhadap tersangka, sesuai KUHAP Pasal 1 angka 20
d. Polisi tidak memiliki surat perintah penggeledahan dan penyitaan
dari pengadilan sesuai KUHAP Pasal 1 angka 17 dan pasal 1 angka 18
e. Pada saat interogasi berlangsung, keempat masyarakat sipil yang
ditangkap tidak didampingi oleh penasehat hukum ( PH ), padahal
masyarakat adat telah mengajukan surat permohonan pendampingan hukum
sesuai KUHP Pasal 1 angka 20 dan UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi
manusia pasal 18 angka 4 serta pasal 30 tahun 1999.
f. Polisi mengeluarkan surat Perintah penangkapan dan penahanan
setelah diinterogasi. Hal ini bertentangan dengan UU No. 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara RI
3. Tuduhan tersangka oleh Kepolisian Polresta Jayawijaya, terhadap
Kepala Suku Lani Besar, Areki Wanimbo, dengan Tuduhan Makar, dan
memiliki hubungan dengan dua warga asing, tidak benar dan tidak mendasar
demi hukum dan harus dibatalkan demi hukum
4. Kami masyarakat tiga suku besar; Yali, Hubula dan Lani meminta
kepada Kapolres Jayawijaya untuk segera menghentikan pemeriksaan dan
pemanggilan terhadap warga sipil yang sedang berlangsung di Polresta
Jayawijaya, dan beberapa orang yang akan dipanggil sebagai saksi. mulai
hari selasa 12 Agustus 2014 sampai dengan seterusnya.
5. Bebaskan dan pulangkan Areki Wanimbo dari Polda Papua, ke Kabupaten Jayawijaya demi kebenaran dan keadilan hukum.
6. Kepolisian Polresta Jayawijaya dan Polda Papua, melalui Kabag
Humas Polda Papua segera bertanggung jawab atas pembohongan publik dan
segera melakukan pemulihan nama baik, terhadap 2 orang Warga Asing dan 3
orang warga sipil. Tuduhan bahwa ketiga warga sipil merupakan anggota
KKB pimpinan Enden Wanimbo merupakan suatu tuduhan yang tidak mendasar
dan merupakan fitnah yang kejam untuk mengkriminalisasi
7. masyarakat sipil dan membenarkan tindakan sewenang-wenang dari
pihak kepolisian. Berita yang dimaksud diberitakan di Cendrawasih Pos,
Pada 8 Agustus 2014 halaman pertama dan Radio Pro 3 RRI Jakarta
8. Kami Masyarakat tiga suku besar Yali, Hubula, dan Lani merasa
kesal dan sangat menyesal atas sikap Kapolresta Jayawijaya, yang sama
sekali tidak
menghargai Penasehat Hukum (PH), karena tanpa ada koordinasi dengan
penasihat hukum, Areki Wanimbo langsung diberangkatkan ke Polda Papua.
9. Penangkapan dan Penahanan terhadap 2 Wartawan Thomas Charles
Tendeis dan Valentine semakin perkuat asumsi Internasional selama ini,
bahwa pemerintah Indonesia masih sangat kaku dan menutup akses bagi
Jurnaslis asing, untuk datang dan meliput situasi Sosial Politik,
Ekonomi dan Demokrasi juga Hak Asasi Manusia di Tanah Papua.
10. Masyarakat tiga Suku Besar Balim; Yali, Hubula, dan Lani
mendesak pemerintah Indonesia untuk membebaskan dua orang Warga Negara
Asing yang ditangkap di Wamena.
V. REKOMENDASI
1. Kepada Presiden Republik Indonesia, segera membuka ruang Dialog
Jakarta-Papua melalui Jaringan Damai Papua ( JDP ), demi penyelesaian
Damai Konflik yang berkepanjangan hingga ½ Abad di Papua
2. Proses pengejaran, penangkapan, pemenjaraan dan penembakan
terhadap Rakyat Papua dengan alasan: organisasi papua merdeka, TPN/OPM,
separatis atau Kriminal Bersenjata untuk sementara dihentikan terkait
langka poin 1 (satu), karena menyebabkan Korban nyawa manusia dan
pelanggaran Hak Asasi Manusia tiga pihak yakni : kelompok Organisasi
Papua Merdeka, Aparat TNI/POLRI dan terlebih adalah masyarakat sipil
Papua
3. Menghentikan, membatasi serta menarik Mobilisasi pasukan
TNI/POLRI dan penempatan Aparat organik dan non organik yang berlebihan
4. Gubernur Provinsi Papua dan Papua Barat segera menggelar suatua
Dialog yang bermartabat demi membatasi Stikmanisasi dan Penekanan
terhadap Masyarakat Adat Papua
5. Pasal Makar KUHP sangat tidak relevan untuk di kenakan kepada
Masyarakat Adat Papua, sehingga Masyarakat Adat Papua yang di kenakan
pasal Makar segera di bebaskan.
6. TNI/POLRI, dengan badan Inteligen Negara segera Stop dan
hentikan membangun Proses Politik pecah belah atau aduh domba Masyarakat
Adat Papua.
7. Sesuai Surat tembusan yang kami sampaikan agar dapat menilai dan
menyampaikan pandangannya melalui jalur kerja organisasi masing-masing,
baik pemerintah maupun non pemerintah.
8. Segera bebaskan kedua warga Negara asing, Thomas Charles Tendeis
(Wartawan) dan Valentine Baurrat (Wartawan) serta pulangkan Bapak Areki
Wanimbo sebagai Kepala Suku Besar Suku Lanni Wilayah La Pago.
9. Pemerintah segera buka akses Media secara Nasional dan Internasional
10. Pandangan dan Rekomendasi ini sifatnya sangat penting dan segera, demi Kemanusiaan dan Keadilan.
Balim, Kamis 21 Agustus 2014
DEWAN ADAT PAPUA WILAYAH BALIM
( LA-PAGO )
Blogger Comment
Facebook Comment