Boikot Pemilu 2014 (foto. Gimbal WK) |
Kegiatan politik kolonial Indonesia diatas tanah Papua
merupakan aktivitas illegal dan asing. West Papua yang melingkupi Numbai sampai
ke Merauke, dari Raja Ampat sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak
sampai ke Pulau Adi adalah sebuah wilayah koloni baru dari Indonesia, yang
keabsaannya belum final dibawah hukum internasional.
Demokrasi (prosedural) ala neo-kolonialisme Indonesia hanya mampu menghipnotis rakyat West Papua dalam setiap Pemilihan Umum (Pemilu), tetapi tidak berhasil menjamin kebebasan politik rakyat West Papua dalam menentukan nasibnya sendiri. Jargon “Pesta Demokrasi” Indonesia di West Papua, sangat jelas bertujuan untuk: (a) Melahirkan agen-agen kolonialisme; (b) Memperkokoh sistem kolonialisme Indonesia; (c) dan hegemoni neo-kolonialisme Indonesia.
Sistem Demokrasi kolonial yang demikian telah menciptakan tatanan hidup rakyat Papua yang tercerai-berai, tata kehidupan yang diskriminatif, Gaya hidup yang Konsumeristik, Kesehatan dan Pendidikan yang Materialistik, Sosial yang Individualistik, Budaya yang Hedonistik, Politik yang Oportunistik, Ekonomi yang Liberalistik, Agama yang exploitatif.
Dalam kondisi yang tidak menentu itu, rakyat West Papua digiring dalam perspektif demokrasi kolonial yang menghendaki -dan praktis membuat rakyat West Papua sebagian, khususnya para elit politik partai menjadi budak yang tunduk menerima praktek kolonialisme. Mereka hanya menjadi – dan dijadikan – boneka kolonial yang tidak berdaya dan pasrah menerima semua paket politisasi kebijakan Jakarta.
Kita sedang menyaksikan Otonomi Khusus (Otsus) yang dipaksakan sebagai solusi, lalu dibenturkan dan digagalkan Jakarta dengan kebijakan lain, lalu saat ini mencoba “ditambal sulam” lagi dengan Otsus Plus (Pemerintahan Papua). Pada saat yang sama, harga diri orang Papua dipermainkan ketika MRP, DPRP, dan Gubernur di Papua tidak memiliki kewenangan apapun, tidak berdaya, tidak dihiraukan, atau kasarnya hanya dijadikan boneka penguasa yang tunduk pada perintah Jakarta.
Mental “nurut” dan mental “budak” tidak ada dalam sejarah dan budaya orang Papua. Itu hanya ada dalam sejarah Indonesia vs Belanda dan kini praktek kolonialisme ini diterapkan di West Papua sebagai wilayah koloninya. Pemerintahan sipil di Papua hanya menjadi boneka Jakarta dan tata kendali diambil oleh pemerintahan militer Indonesia di Papua.
Pemilu 2014 akan menjadi ajang perburuan neo-kolonialisme dan kapitalisme di West Papua. Kepentingan neokolim akan menempatkan agen-agen penguasa lokal dan nasional dalam mengamankan kepentingnya. Yang tersisa dari agenda kolonial hanya konflik berdarah demi keutuhan kolonialisme dan kapitalisme. Rakyat hanya puas dengan janji utopis dari para kandidat caleg dan capres Kolonial. Selanjutnya penjajahan berlanjut, penindasan berlanjut, pemusnahan berlanjut.
Kolonialisme Indonesia tidak akan peduli pada hak berdemokrasi, yaitu hak memilih dan dipilih. Sebab, cara-cara represif, rekayasa dan manipulasi hak suara sudah pernah dimulai sejak pelaksanaan Pepera 1969 di West Papua, dan praktek berdemokrasi yang bobrok itulah yang masih terus diterapkan. Oligarki kekuasaan menjadi nyata tatkala resim kolonialisme Indonesia dipegang oleh para Jendral militer yang punya record pelanggaran HAM di Papua nanti.
Hak politik bangsa Papua dalam Pemilu kolonialisme Indonesia tidak berarti untuk melegitimasi Penguasa Kolonial Indonesia diatas tanah West Papua. Keterlibatan rakyat dalam pemilu bukan merupakan kesadaran kolektif rakyat Papua. Tetapi secara real, merupakan manifestasi dari hegemoni Kolonial yang memaksa rakyat Papua untuk, mau tidak mau, suka tidak suka, ikut meramaikan dalam ketidakpastian harapan.
Cita-cita bangsa Papua harus diuji dalam suatu proses demokrasi yang umum dan tuntas, khusus terhadap bangsa West Papua lewat referendum. Hal itu untuk menguji ideologi dan nasionalisme kebangsaan Papua dan Indonesia. Sebab legitimasi politik tanpa dilandasi nilai nasionalisme dan ideologi pada kakekatnya mubazir alias tiada arti. Artinya, orang Papua yang ikut Pemilu tetapi tidak berlandaskan pada cita-cita ideologi dan nasionalisme Indonesia itu percuma. Itu justru merupakan simbolisme demokrasi.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia dan para elit lokal Papua yang sedang bergeming dalam Pemilu Indonesia harus berhenti memberikan harapan utopis, karena tidak mungkin penjajah dan yang terjajah hidup sejahtera bersama membangun wilayah koloni. Yang terjajah harus diberikan ruang dan hak untuk memilih nasibnya sendiri. Praktek demokrasi dalam negara-bangsa yang merdeka akan bermakna bila rakyat bangkit menentukan pilihan berlandaskan ideologi dan nasionalismenya sendiri.
Referendum bagi West Papua adalah satu-satunya jalur demokrasi tertinggi yang harus digelar. Indonesia harus paham dan dewasa untuk melakukan kehendak dekolonisasi terhadap wilayah koloni West Papua. Kolonialisme sudah harus ditinggalkan. Inggris membuktikan itu terhadap referendum di Skotlandia pada September 2014 nanti. Sudah bukan jamannya lagi untuk mempertahankan status quo ala kolonialisme barat abad-18.
- Pemilu Indonesia 2014, bagi rakyat West Papua adalah pesta kepentingan kolonialisme, kapitalisme dan militerisme Indonesia di West Papua.
Demokrasi (prosedural) ala neo-kolonialisme Indonesia hanya mampu menghipnotis rakyat West Papua dalam setiap Pemilihan Umum (Pemilu), tetapi tidak berhasil menjamin kebebasan politik rakyat West Papua dalam menentukan nasibnya sendiri. Jargon “Pesta Demokrasi” Indonesia di West Papua, sangat jelas bertujuan untuk: (a) Melahirkan agen-agen kolonialisme; (b) Memperkokoh sistem kolonialisme Indonesia; (c) dan hegemoni neo-kolonialisme Indonesia.
Sistem Demokrasi kolonial yang demikian telah menciptakan tatanan hidup rakyat Papua yang tercerai-berai, tata kehidupan yang diskriminatif, Gaya hidup yang Konsumeristik, Kesehatan dan Pendidikan yang Materialistik, Sosial yang Individualistik, Budaya yang Hedonistik, Politik yang Oportunistik, Ekonomi yang Liberalistik, Agama yang exploitatif.
Dalam kondisi yang tidak menentu itu, rakyat West Papua digiring dalam perspektif demokrasi kolonial yang menghendaki -dan praktis membuat rakyat West Papua sebagian, khususnya para elit politik partai menjadi budak yang tunduk menerima praktek kolonialisme. Mereka hanya menjadi – dan dijadikan – boneka kolonial yang tidak berdaya dan pasrah menerima semua paket politisasi kebijakan Jakarta.
Kita sedang menyaksikan Otonomi Khusus (Otsus) yang dipaksakan sebagai solusi, lalu dibenturkan dan digagalkan Jakarta dengan kebijakan lain, lalu saat ini mencoba “ditambal sulam” lagi dengan Otsus Plus (Pemerintahan Papua). Pada saat yang sama, harga diri orang Papua dipermainkan ketika MRP, DPRP, dan Gubernur di Papua tidak memiliki kewenangan apapun, tidak berdaya, tidak dihiraukan, atau kasarnya hanya dijadikan boneka penguasa yang tunduk pada perintah Jakarta.
Mental “nurut” dan mental “budak” tidak ada dalam sejarah dan budaya orang Papua. Itu hanya ada dalam sejarah Indonesia vs Belanda dan kini praktek kolonialisme ini diterapkan di West Papua sebagai wilayah koloninya. Pemerintahan sipil di Papua hanya menjadi boneka Jakarta dan tata kendali diambil oleh pemerintahan militer Indonesia di Papua.
Pemilu 2014 akan menjadi ajang perburuan neo-kolonialisme dan kapitalisme di West Papua. Kepentingan neokolim akan menempatkan agen-agen penguasa lokal dan nasional dalam mengamankan kepentingnya. Yang tersisa dari agenda kolonial hanya konflik berdarah demi keutuhan kolonialisme dan kapitalisme. Rakyat hanya puas dengan janji utopis dari para kandidat caleg dan capres Kolonial. Selanjutnya penjajahan berlanjut, penindasan berlanjut, pemusnahan berlanjut.
Kolonialisme Indonesia tidak akan peduli pada hak berdemokrasi, yaitu hak memilih dan dipilih. Sebab, cara-cara represif, rekayasa dan manipulasi hak suara sudah pernah dimulai sejak pelaksanaan Pepera 1969 di West Papua, dan praktek berdemokrasi yang bobrok itulah yang masih terus diterapkan. Oligarki kekuasaan menjadi nyata tatkala resim kolonialisme Indonesia dipegang oleh para Jendral militer yang punya record pelanggaran HAM di Papua nanti.
Hak politik bangsa Papua dalam Pemilu kolonialisme Indonesia tidak berarti untuk melegitimasi Penguasa Kolonial Indonesia diatas tanah West Papua. Keterlibatan rakyat dalam pemilu bukan merupakan kesadaran kolektif rakyat Papua. Tetapi secara real, merupakan manifestasi dari hegemoni Kolonial yang memaksa rakyat Papua untuk, mau tidak mau, suka tidak suka, ikut meramaikan dalam ketidakpastian harapan.
Cita-cita bangsa Papua harus diuji dalam suatu proses demokrasi yang umum dan tuntas, khusus terhadap bangsa West Papua lewat referendum. Hal itu untuk menguji ideologi dan nasionalisme kebangsaan Papua dan Indonesia. Sebab legitimasi politik tanpa dilandasi nilai nasionalisme dan ideologi pada kakekatnya mubazir alias tiada arti. Artinya, orang Papua yang ikut Pemilu tetapi tidak berlandaskan pada cita-cita ideologi dan nasionalisme Indonesia itu percuma. Itu justru merupakan simbolisme demokrasi.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia dan para elit lokal Papua yang sedang bergeming dalam Pemilu Indonesia harus berhenti memberikan harapan utopis, karena tidak mungkin penjajah dan yang terjajah hidup sejahtera bersama membangun wilayah koloni. Yang terjajah harus diberikan ruang dan hak untuk memilih nasibnya sendiri. Praktek demokrasi dalam negara-bangsa yang merdeka akan bermakna bila rakyat bangkit menentukan pilihan berlandaskan ideologi dan nasionalismenya sendiri.
Referendum bagi West Papua adalah satu-satunya jalur demokrasi tertinggi yang harus digelar. Indonesia harus paham dan dewasa untuk melakukan kehendak dekolonisasi terhadap wilayah koloni West Papua. Kolonialisme sudah harus ditinggalkan. Inggris membuktikan itu terhadap referendum di Skotlandia pada September 2014 nanti. Sudah bukan jamannya lagi untuk mempertahankan status quo ala kolonialisme barat abad-18.
- Pemilu Indonesia 2014, bagi rakyat West Papua adalah pesta kepentingan kolonialisme, kapitalisme dan militerisme Indonesia di West Papua.
- Pemilu Indonesia 2014, bagi rakyat West Papua adalah ilegal sebelum hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua dilakukan lewat referendum.
- Pemilu Indonesia 2014, bagi rakyat West Papua adalah sandiwara politik, dan simbolisme demokrasi yang tidak berarti bagi jaminan kehidupan bangsa Papua kedepan.
Boikot Pemilu adalah hak universal yang dijamin oleh hukum internasional. Referendum adalah mekanisme demokrasi yang universal dalam praktek hak penentuan nasib sendiri yang dijamin oleh hukum internasional.
“Kita Harus Mengakhiri”
Jayapura, 4 Februari 2014
Victor Yeimo
Ketua Umum KNPB
Sumber: https://www.facebook.com/victor.yeimo/posts/578114998932196
0 komentar :
Posting Komentar