Telius Yikwa (foto,FB) |
Duniasemakin ramai saja. Hiruk-piuk,sorak-sorai pesta terlihat
dimana-mana. Ya,dunia terus berhias. Berbagai warna kehidupan terus
menghhiasi dunia ini.Persis seperti yang dikatakan tetuah adat, bahwa
dunia yang semakin tua iniseperti orang tua yang berdandan. Gebyarnya,
gemerlapnya, bisingnya bunyi, kilauannyamenyilaukan mata, pekiknya
suara, histerisnya tangisan.
Inijaman teknologi, jaman
kenikmatan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya.Kanduangan buni yang
berisi kekayaan, terus-menerus disedotnya. Semua untukmendandani bumi
dan bersenang-senang semata.
Dibaliksemua gegap gempita itu, ada
sekelompok orang tengah merasa kesepian. Tidak sedikityang merasa dunia
tidak sedang ramai, tapi semakin sepi dan sunyi. Ya, sunyidari cahaya
iman dan kedekatan kepada Allah. Inilah yang dirasakannya di duniaini.
Didunia
lain, tidak sedikit yang merasa tidak lagi sunyi sepi. Setuasi
yangsemakin ramai saja. Perubahan dan tuntutan jaman jugalah yang
membuat duniatampak begitu kontras. Ada yang sunyi sepi, ada yang ramai.
Warnadunia sangat terlihat dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Seperti Sunyi Persaudaraan, Sunyi Identitas, SunyiKepahlawanan/ Ketokohan, Sunyi Nurani Dan Moral.
Sunyi Persudaraan.
Sebuahkata
mahal dari segala kacamata dan dengan segala artinya. Ya,
persaudaraan.Dari kacamata apa pun, agama atau minimal atas nama
kemanusiaan. Yaitusama-sama sebagai manusia yang menghuni bumi ini.
Darahyang
terus terceceran di Papua dan Papua Barat, kian menambah luapan darah
danair mata yang tumpah di belahan dunia lain.. “ Dunia ini seperti
seekor burungyang sayapnya sudah patah ”, kata seorang tetuah adat, ya,
masuk akal juga.Manusia tidak bisa mampu terbang sekedar mencari
kehidupan, rasa aman, bahkansayap sebagai modal utamanya telah patah pun
tidak ada yang perduli juga.
Papuamisalnya, adalah
sebuah negeri yang sedang bergolak. Daerah yang terusbersimbah darah,
dijajah Negara lain, yakni Indonesia. Tetapi berinya selalutertutup oleh
berita lain. Pada hal setiap hari berjatuhan korban.
Pembunuhan,pembantaian, pemerkosaan, pemenjaraan, intimidasi,
penghancuran sumber hidupdan ekosistem oleh alat Negara, adalah gambaran
nyata di daerah terlupakan ini.
Kinikita merenung.
Seberapa sering hati ini gundah karena bencana itu? Sebarapasering
tenangkah kita oleh tangisan mereka? Seberapa kuatkah tangan inimenjulur
membimbing mereka yang terguyung lemas? Menyisihkan sesuatu yang
mungkin tak begitu bermakna dimata kita. Atau ya minimal
mengirimkandoa.
Faktatragis ini memang tak dibantah
siapa pun. Ini yang sudah, sedang, bahkan akanterjadi di tanah Papua.
Persaudaraan menjadi harga mahal. Orang sudah tidaklagi merasa harga
nyawa. Saling menjual dan bisa dibayar dengan uang. Mungkin mereka yang
hatinya bersih dan jerniotaknya yang dapat mengerti tentang mahalnya
diri sesama.
Setiapmenjelang tidur malam, ia sebut
saudaranya satu persatu untuk mendoakankebaikannya. Walau diantara
mereka tadi siang ada yang menyakitinya. Baginyajustru berdoa itulah
saat pembuktiaan kekuatan dan kebersihan hatinya terhadapsesama lain.
Inipenting,
apalagi sebagai umat beriman.Agama agama mengajarkan soal itu. Berdoa
untuk saudara, kawan, dan musuh.Sekalipun tidak bersama kita. Dan
hubungan hati terikat kuat. Agar persaudaraanmurni tetap terperlihara,
agar perhatian kita tersasah tajam. Ini ajaran SangIlahi yang sering
kita dengar, tapi pernakah sekali saja kita mencoba?
Perhatiandan
rasa persaudaraan yang tinggi menjadi sesuatu yang mulia di hati
oranglain. Mereka mendapat pujian yang maha agung. Itulah nyanyian orang
beriman.
Rasaketerusikan hati, ketika manusia mengami
musibah, jangankan mereka menderita,rela menyakiti, menyimpan dengki
yang tidak terlihat dalam hati pun tidak mau.Jangankan pertikaian fisik,
pertikaian hati pun tak akan ada tempatnya di hatimanusia.
Hariini,
jangan biarkan saudara kita menangis sendiri. Dalam sunyi dan sepi,
janganbiarkan mereka menanggung hidup yang menghimpit sendiri. Kita
tetap bersaudara.Persaudaraan agar tetap dijaga. Jangan sampai ada
perpecahan di antara kita.
Sunyi Identitas.
Memangidentitas
itu mahal harganya. Alam adalah identitas kita. Kehidupan kita
harusdiberi identitas yang jelas. Tidak hanya saat tertentu. Identitas
mesti tampaksetiap waktu dalam segala hal. Ketika bergaul, ketika
bersaksi keluar,identitas ditunjukan. Dari pagi hingga pagi, hingga ajal
menjemput kita.
Ingat,negeri ini hamper tidak terlihat
identitas aslinya. Sudah hilang seiringperunahan jaman. Coba hitung
saja berapa yang tapil dengan identitasnya. Dimanasaja, di sana tampak
sunyi identitas manusia.
Entahkenapa? Kemampuan kita
mengatakan jati dirinya yang kurang? Kita masih maluketika berdiri di
depan cermin. Dalam tataran pelaksanaan pun, identitas kitajauh dari
sesungguhnya. Mungkin masih perlu dibenahi lagi?
Kitabelum sanggup menyatakan diri yang sebenarnya. Asal bikin, asal tampil.Sedihnya ikut-ikutan urusan.
Sunyi Kepahlawanan.
“Mulaisaat
ini kita tidak akan perna takut lagi”. Itu seorang pejuang sejati
yangtelah lama bersama Nyamuk dan Lintah di belantara Papua. Ia bertutur
sesuaigaris hidup. Bahwa, setelah hari ini kita punya hari yang cerah
menanti gerbangkeemasan.
Hari-hariperjuangan masa lalu
tidak juga menjauh dari tekad dan harapan orang Papua.Malang
melintangnya perjuangan itu tidak akan berarti bila kita merasa sepidari
“Kepahlawanan Penerus”. Tidak akan menekuk Negara penjajah yang
kianbertebaran dengan segala kekuatannya ini.
Perjuanganrela
melepas putra putrid kesayangan menghadapi kematian. Hempaskan rasa
takutmati yang sempat hinggap di hati anak-anak negeri Kasuari ini.
“Kalau Andamerasa yakin bahwa Anda ada dalam kebenaran, maka jangan
perna mundur lagi”,begitu seorang member spirit kepada putranya.
Hidupini
hanya sekali saja. Dan meski kini banyak figure, tapi belum ada
yangmelahirkan seorang pejuang setenar Theys Hiyo Eluay, sang pejuang
kharismatikitu. Entah kemana mereka yang lain?
Kendatitidak
seberapa kekuatan, kirahnya mampu menembus kegelapan negeri ini.
Danmeneranginya dengan Obor perjuangan. Saying, Theys cs hanya “hidup”
dijamannya. Mengobati luka, mencoba merajut tatanan bangsa Papua yang
sempat tercabik-cabik. Hari ini,“penjajah” kembali menjadi sumber
kegelapan. Ini karena kalalaian kita. Entahkapan kita akan raih kembali?
Kitasudah
kehilangan kepahlawanan. Pembela dan pelindung. Menjual dirinya.
Rakyatkebingungan. Mau dibawa kemana? Penjajah sangat lihai membujuk
para pemimpinkita. Dengan tidak sedikit iming-iming, terpaksa suara hati
dan nuraninya harusdigadaikan atas nama rakyat.
Rakyatberada
di persimpangan jalan. Komandan entah kemana. Musu dengan
mudahnyamerebut semua yang kita miliki. Ironis, memang. Kita perna punya
sederet manapahlawan. Banyak sekali yang ditorehkan dengan tinta
sejarah. Sedang kitasebagian hanya bisa berandai-andai, mengawang-awang.
Kalau saja hari ini FerryAwom masih ada, seandainya Theys dan Yusuf
Tanawani masih hidup.
Tetesandarah manusia membuat
tubuh ini lemas kehabisan darah. Tapi belum ada yangmemperjuangkan
tetesan-tetesan darah itu. Belum ada pahlawan yang melindungisisa tubuh
yang ada agar tidak lagi tertumpahkan darahnya. Belum ada figureyang
menuntut harga darah yang satu tetesnya mahal dari dunia dan seisinya.
Kitasedang
menanti pahlawan. Dari generasi yang mesti menemukan
kembaliidentitasnya, kita berharap untuk mendapatkan pahlawan sejati.
Penantian inisemoga tidak membuahkan pahlawan karbitan, pahlawan
kesiangan. Pahlawan takpopulis yang tak mendapat tempat di hati rakyat.
Yang berjuang hanyamemanfaatkan momen dan mengatasnamakan rakyat bagi
perutnya semata.
Tapiini pun tak akan perna menyurutkan
lahirnya pahlawan versi rakyat. Lahirpahlawan memecah kebuntuan di
tengah kesunyian perjuangan ini.
Sunyi Moral dan Nurani.
Hari-hariini
memang terasa betapa sulit mendapatkan figure yang mampu memecah
kebuntuandan menyinari kegelapan. Apalagi yang sekedar sewaktu kita
melihatnya, rasatakut kepada Allah dan rakyat muncul di hati.
Ilmudan
pengetahuan masih ada, tapi panutan hamper saja sirna. Ketokohan
yangberilmu dan bermoral belum terobati. Rakyat ingin dibimbing figure
yangpopulis. Sebab rakyat kebingungan ketika banyak figure yang
diharapkanmembimbingnya itu telah menjual nuraninya itu. Rakyat bertanya
hendak kemanakita?
Figuryang bermoral tentu tidak
hanya berkata-kata yang sanggup menembus hatimeluruhkan karat dosa, dan
membuat air mata pertobatan menetes di pipi. Tapikeilmuan yang
dimilikinya berpandukan moral dan nurani yang utuh. Kebaikan dansikap
abdinya di bumi Cenderawasi, agaknya belum tentu sepuluh tahun
atauseratus tahun kedepan kita dapatkan. Mustahil. Bukan
pemimpin-pemimpin bodohyang menyesatkan.
Mungkininilah
salah satu alasan kenapa tidak sedikit yang dijadikan tontotan
sebagaituntunan. Panutan, moral dan nuraninya yang mestinya menjadi
tuntunan tidaklagi dapat dipercaya rakyat. Krisis kepercayaan ini
sejalan semakin sedikitnyamereka yang berilmu, bermoral dan murni
nuraninya.
Ya,kesunyian ini kian mencekam, bila ketidaktahuan kebanyakan orang dipadu dengankeculasan para pemimpin yang negative itu.
Kitaakhirnya
ingin sekali hidup di antara teman-teman baik. Taman Cenderawasi
ini,bumi hijau dan kaya ini tidak saja karena hijaunya alam, tetapi juga
hijau hatikarena selalu segar tersirami air keimanan. Dengan
persaudaraan yang kokoh,identitas yang jelas, ketokohan yang berilmu,
bermoral dan murni hatinuraninya.
Ditanah ini mampu melahirkan
generasi idaman yang hilang. Tanah ini mampu menjaditempat yang damai
dan aman serta benteng pertahanan dari kejahatan luar dan danpenjajah.
Sungguhpun
demikian, taman Cenderawasi ini mulai sunyi, orang mulai saling
berlomba.Menghiasi hidup ini dengan beragam warna. Tetapi itu tidak
mampu menyeimbangkandalam memecah kesunyian di tengah kegelapan ini.
TanahPapua
bak taman kebaikan. Taman yang menjadi sumber inspirasi. Tapi akar
hidupitu sedang dicabut orang lain. Tidak mungkin kita mendapat taman
penganti,sangat mustahil. Tanah surga dengan segala keindahan, tapi kini
mulai keringdan panas. Darah dimana-mana justru terus membasahi. Tiada
hentinya. Sungguhironis.
Keinginanmengatur diri pun
agaknya sudah mulai sulit. Perjuangan setan menembus disetiap ruang dan
waktu. Dosa terjadi dimana-mana. Dan hari ini benar-benarterasa.
Merinduhkan suasana damai, aman dan nyaman terasa makin jauh dari
matahati kita. Jalan ini semoga bersinarkan rasa mau diri. Seraya
berharapkembalinya suasana cepat ditutupi ketika pekikan perjuangan kian
menggemahingga pelosok nun jauh.
Duniamemang ramai.
Bahkan sangat ramai. Tapi di tengah hiruk-piuk itu, orang malahmerasa
kian sunyi sepi. Sebuah keterasingan yang pasti terjadi.
Tinggalbagaimana kita bertahan dan hidup di tengah kesunyian yang kian
menajam.
Ingat,mempertahankan hidup lebih sulit dari
pada meraih. Mempertahankan kebaikan dankearifan amatlah sulit, apalagi
di tengah alunan badai kemaksiatan “Kaumberkuasa dan berduit” yang
membuat banyak orang hanyut terlena.
Bagaimanamenyikapinya? Apakah kita membiarkan perjuangan ini semakin sunyi menjauhjurang kehancuran?(Yamoye)
_________________________________________________________________________________________
Tulisan ini perna diterbitkan dimajalah papuanews. Publisher: watchPapua/volume 2/edisi Maret 2005/hal.1
0 komentar :
Posting Komentar