Isayas Taplo kedua dari kiri (Jubi/Mawel) |
Jayapura,1/2(Jubi) – Salah satu dari 11 tersangka yang divonis
1,7-2,1 bulan penjara dalam sidang putusan kasus Pembakaran Polres
Pegunungan Bintang 16 Juni lalu adalah anak Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Oksibil berusia 18 tahun.
“Kaka saya Isayas Taplo anak sekolah SMK Oksibil kelas 2,” ujarnya
memperkenalkan diri kepada tabloidjubi.com, Sabtu (1/2). Isayas Taplo
menerima Vonis 1,7 bersama 9 rekan lainya. Dua rekan yang lain menerima
vonis 2 tahun 1 bulan penjara.
Isayas menceritakan koronologis peristiwa yang menimpah dirinya.
“Hari itu, Minggu, 16 Juni, saya turun ke kantor Polres menyelamatkan motor yang ditahan karena tidak ada SIM. Saya masuk dorong motor keluar. Saya melempar batu dua kali. Saya lempar ikut ramai saja,” tuturnya.
Setelah itu, ratusan masa termasuk Isayas menghilang ke hutan menghindari aksi balas dendam polisi.
Satu hari pasca kejadian, ada laporan masuk dari oknum tertentu ke polisi.
“Polisi datang tangkap saya pada 18 sore. Saat itu, saya latihan musik di gereja,” kata Isayas menjelaskan
Dari Gereja, polisi membawa Isayas bersama teman lainnya bernama
Ferry Uropmabin untuk dimintai keterangan terkait aksi pembakaran kantor
Polres.
“Waktu periksa, saya pisah dengan Ferry. Saya lihat Ferry dipulangkan lewat pintu belakang,” tuturnya.
Waktu pemiksaan itu, Isayas mengaku polisi telah memaksanya mengatakan apa yang tidak dilakukannya.
“Kami ditodong dengan senjata, masukan pucuk senjata dalam mulut. Kami dipukul. Kami dipaksa mengaku melakukan,” tutur Isayas.
Setelah memberikan keterangan, Isayas menjadi tersangka bersama 10 temannya.
“Kami awalnya saksi langsung menjadi tersangka kemudian dibawa ke
Polda Papua,” tuturnya hingga menerima putusan penjara dalam sidang
putusan yang dipimpin hakim ketua Berlinda Ursula Mayor SH di
Wamena,kabupaten Jayawijaya, Papua (17/1)..
Isayas merasa tidak puas, tidak adil dengan putusan itu.
“Saya hanya melempar 2 batu bersama banyak orang. Mengapa saya yang menerima hukuman. Apalagi saya anak sekolah. Hukuman ini menghalanggi masa depan saya. Saya ingin sekolah,” tutur anak SMK kelas 2 ketika dirinya di tangkap pada bulan Juni 2013.
Isyas berharap pihak pemerintah bisa mencari jalan keluar baginya untuk medapatkan hak peneempuh pendidikan formal.
“Saya inggin mengejar cita-cita. Peristiwa ini pengalaman, guru bagi saya,” pintanya serius.
Kuasa hukum para tersangka, Semy Latunusa SH, MH mengatakan putusan ini memang tidak adil.
“Peristiwa ini peristiwa masa yang dilakukan 300-700 an orang, 11 orang tidak bisa mewakili. Masing-masing orang mempertanggungjawabkan pertubuatannya,” tuturnya kepada media ini (18/1).
Walaupun tidak bisa mewakili, dalam keadaan terpaksa, dengan segala macam pertimbangan. 11 orang ini menjadi korban.
“Kalau banyak, biaya proses sidik, pengadilan, penampungan dan makan minum ini bisa milyaran rupiah. Dari pada keluarkan banyak, 11 orang ini menjadi korban,” tegasnya.
Kerugian dipihak masyarat, pelakunya ratusan orang, saksi yang
meringankan tidak pernah hadir. Ada yang korban luka tembak, menurut
pria asal Ambon ini, tidak juga dipertimbangkan agar 11 tersangka bisa
divonis lebih ringan. “Kalau bebas memang tidak bisa karena sudah
terlibat hingga ke pengadilan walaupun tindakan mereka yang menyebabkan
kaca pecah itu bisa diganti. Kurangi masa tahanan, mereka bisa divonis 6
bulan. Kita harapkan itu tetapi tidak jadi,” tuturnya.
Walaupun tidak sesuai, Semy merasa berhasil mendampingi para tersangka.
“Sebagai orang hukum merasa berhasil bawa mereka menerima hukuman lebih ringan dari tuntutan,” tuturnya. (Jubi/Mawel)
“Sebagai orang hukum merasa berhasil bawa mereka menerima hukuman lebih ringan dari tuntutan,” tuturnya. (Jubi/Mawel)
Sumber : www.tabloidjubi.com/
0 komentar :
Posting Komentar