Thobias Bagubau (Jubi/Mawel) |
Jayapura,9/2(Jubi)-
Pemilik perusahaan yang mengambil emas di Sungai Degeuwo, distrik
Bogobaida, kabupaten Paniai, provinsi Papua, dikabarkan terus melakukan
berbagai cara untuk mengambil hati pemilik hak ulayat. Dari memberikan
uang hingga membangun gereja.
“Perusahaan
milik Haji Ari membangun gereja di Lokasi Baya Biru 1 gereja dan
membangun 4 gereja di lokasi 99,”ungkap Thobias Bagubau, ketua Lembaga
Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani MEe dan Moni (LPMA SWAMEMO),
kepada tabloidjubi.com, di Sekretariat Asosiasi Mahasiswa Pegunungan
Tengah Papua Se-Indonesia, Waena, Kota Jayapura,Papua, Sabtu (8/2).
pihaknya
mencatat sekitar 30an perusahaan yang berebut memburu emas murni, di
sekitar wilayah Kabupaten Nabire dan Paniai, menurut Thobias, merekapun
ikut membangun gereja di setiap lokasi tambang emas.
“Setiap
lokasi pertambangan ada gereja. Gereja di 26 lokasi. Gereja itu
perusahaan bangun dengan dua tujuan. Pertama, dibangun untuk pemilih hak
ulayat. kedua, untuk karyawan perusahaan,”tutur Thobias
Sementara proses pelepasan hak ulayat untuk lokasi pembangunan gereja, sama sekali belum pernah diurus perusahaan.
Menurutnya,
perusahaan-perusahan itu merasa cukup membeli lokasi pertambangan emas,
kemudian membuat bangunan lainnya yang praktis jadi milik perusahaan,
termasuk gereja.
Lokasi
pertambangan itu pun dibeli dengan harga sangat murah. Satu lokasi yang
mengandung puluhan KG emas murni, misalnya, hanya dibeli dengan harga
mulai satu hingga belasan juta saja.
“Perusahaan
biasanya bayar tidak sesuai permintaan masyarakat. Mereka minta ratusan
juta, perusahaan bisa bayar 5 jutaaan saja,”ungkapnya.
Pemilik
hak ulayat tidak bisa menuntut haknya yang belum dibayarkan. Kalau
menuntut, perusahaan tidak segan-segan menghadapi pemilik hak ulayat
dengan menggunakan kekuatan keamanan.
”
Kami hitung- hitung, pelanggaran HAM yang terjadi akibat operasi
perusahaan ilegal itu sudah 217 kasus,”ujarnya tanpa merincikan
kasusnya.
Menurutnya, tidak ada satu kasus pun diselesaikan, pemerintah tidak pernah menanggapinya.
“Sudah empat kali saya lapor kasus ini ke polisi, belum juga ada tanggapan sampai hari ini,”ujarnya.
Karena
itu, pria yang ikut berjuang menuntut dikembalikannya hak milik
masyarakat Degeuwo ini mengkritisi kinerja polisi di Papua. “Apakah
polisi di Papua hanya urus masalah demo-demo, kriminal atau lingkungan
saja?” Thobias bertanya.
Markus
Haluk, Sekretaris Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua
Se-Indonesia, yang pernah mengadvokasi kasus serupa, turut
mempertanyakan kinerja pemerintah dalam menertibkan lokasi pertambangan
emas bermasalah itu. ” Puluhan kasus sudah terjadi. Pemerintah diam
begitu saja.”
Menurutnya, ini merupakan bentuk pembiaran pemerintah yang dilakukan dengan sadar demi kepentingan mereka.
“Pemerintah atau oknum yang menamakan diri pemerintah juga kan butuh, mereka ambil untung dari pengorbanan rakyat,”Markus. (Jubi/Mawel).
Sumber : www.tabloidjubi.com
0 komentar :
Posting Komentar