Tambang Terbuka PT. Freeport Indonesia (Ist/Google) |
Jayapura,
9/2 (Jubi) – Apa yang kita bisa katakan melihat realitas Papua kemarin,
hari ini dan mungkin besok? Frasa ‘Wam Bahallimo’ kurang lebih bisa
merangkum gambaran dari ribuan kisah pilu yang mencabik-cabik wajah
Papua.
“Wam
Bahallimo” berasal dari bahasa Huwula (sebutan suku-suku di lembah
Balim kabupaten Jayawijaya dan Walak,- kini kabupaten Mambermo Tengah).
Kata “Wam” artinya “babi”. Sedang “Bahallimo” terbentuk dari dua kata;
“Bahal” dan “Limo”. Limo artinya “padang rumputyang luas dan hijau”.
“Bahal” artinya “masuk, serbu”.
Wam
Bahalimo berarti penyerbuan babi hutan atau babi ternak ke padang
rumput hijau yang luas. Babi-babi menyerbu mencari makanan tambahan atau
memang mencari makan sendiri.
Waktunya
bisa sehari atau berminggu-minggu lamanya, hingga pemandangan padang
rumput itu rusak total, porak poranda tanpa bentuk. Proses alami
kemudian mengembalikan wajah padang rumput, menjadi hijau sediakala.
Dalam
konteksnya, kata Wam Bahalimo digunakan orang Huwula pada peristiwa
ketika babi menyerbu kebun atau lahan pertanian warga. Penyerbuan ternak
babi bisa dari mana saja, milik siapa saja, atas dasar kesepakatan para
pemilik kebun tanpa terkecuali karena beberapa alasan ini.
Pertama,
warga kampung sepakat dan telah membuka kebun baru yang siap panen,
untuk menjamin kehidupan warga kampung. Karena kesepakatan itu,
Ternak-ternak itu dibiarkan makan sendiri di kebun itu.
Kedua,
warga kampung jadi tahu, serbuan babi-babi itu membuat tanah menjadi
subur. Cungkil balik tanah bercampur kotoran dan rumput-rumput yang
terkubur, jadilah kompos. Warga pun siap mengolahnya menjadi lahan
pertanian baru.
Tapi
Ada tiga hal buruk dalam kesepakatan ini. Pertama, peristiwa ini tidak
melibatkan orang kecil. Orang kecil, orang yang belum siap atau belum
waktunya panen di kebun baru, suka tidak suka menjadi korban suara
mayoritas, suara orang-orang kuat berkuasa.
Kedua, warga yang punya lahan pertanian dan tidak memiliki ternak babi rugi. Hanya mereka yang punya babi yang untung.
Ketiga,
serbuan babi membuat tanah terobrak-abrik tanpa bentuk, babi-babi ini
mencungkil tanah untuk mencari makan, entah umbi-umbian, rumput dan
cacing. Bedengan-bedengan dicungkil habis dan menutup kolam-kolam kebun.
Hanya
ingatan atau genangan air saja yang bisa membedakan itu kolam dan itu
bedengan. Warga butuh waktu, tenaga yang cukup untuk mengembalikan
kerusakan itu melalui satu proses pengolahan.
Dan
situasi orang-orang Papua hari ini, persis “Wam Bahallimo”. Papua
menjadi padang rumput maha luas dan hijau,menarik perhatian
manusia-manusia dari bebagai penjuru dunia untuk datang membawa
ketamakan dan keserakahannya. Inilah Pernyerbuan tanpa kehendak, apalagi
kesepakatan kaum pribumi. Orang Papua tidak pernah setuju apalagi
mempersilahkan orang lain menyerbu lahan subur tanahnya.
Orang luar, yang kuat kuasa, memaksa orang Papua setuju dengan serbuan ke tanah mereka yang kaya dengan kekuatan bedil.
Pemaksaan
itu benar-benar terbukti. Setidaknya sejak Indonesia menandatangani
eksplorasi tembaga di gunung Smatoa (Gersberg) dengan PT. Freeport, 1967
silam.
Pemerintah
Indonesia bahkan melakukan ini, jauh sebelum orang Papua melaksanakan
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969, momen dimana Papua dihadapkan
pada pilihan ikut Indonesia atau merdeka, jadi negara sendiri. Indonesia
mempunyai alasan sendiri yang terlihat jelas dengan menyerbu,
menguasai, mencuri dan merusak alam Papua.
Perusakan
alam dan tatanan kehidupan orang Papua telah terbukti ,sejak
penandatanganan eksplorasi Freeport itu. Orang-orang luar datang
menyerobot dengan rakus, membabat rumput padang, hutan kayu, mencungkil
tanah, mengeruk habis isi perut bumi tanpa sisa. Bahkan lebih rakus dari
babi.
Tanah,
bukit, lembah dan gunung-gunung Papua kehilangan wajah indahnya. Habis
diperkosa, meninggalkan lubang-lubang raksasa menganga yang siap menelan
korban, yang menakutkan sekaligus memuakkan.
Kita
saksikan sendiri, orang-orang Papua selatan. Orang Ha Anim menyaksikan
perusahaan raksasa, Merauke Integrated Food Energy Estate (MIFEE)
menyerbu tanah mereka. Kelapa dan sagu yang menjadi sumber ekonomi
keluarga jadi rusak. Mitos yang menceritakan bahwa dirinya berasal dari
tumbuhan kelapa dan sagu juga ikut dirusak. Rusa dan Kus-kus yang dulu
banyak berkeliaran kini tiada gampang lagi terlihat. Tinggal dongeng
saja.
Mari
kita lihat lagi contoh lain. Orang Sentani menyaksikan kerusakan gunung
dan hutan sagu sekitar danau Sentani. Gunung-gunung botak plontos,
akibat pengambilan batu, pasir untuk pelebaran jalan.
Orang
Timika menyaksikan pengalian gunung Smatoa. Gunung Smatoa yang indah,
mengagumkan, kebanggaan mereka kini hancur lebur. Hanya tersisa lubang
raksasa yang siap menelan korban. Rasa takut adalah hantu sehari-hari
orang Timika.
Kita
sadar, semua penyerbuan ini tidak menghargai kehidupan dan keberadaan
orang Papua yang sejak lama hidup dengan keyakinannya sendiri.
Tempat-tempat keramat mereka dihancurkan, membiarkan perasaan pemiliknya
yang tercabik-cabik. Orang Papua kehilangan sumber ekonomi, tempat
mempraktekkan relasi dengan leluhur dan sang Pencipta telah dirusak.
Semuanya buntu, putus.
“Orang
Papua kehilangan hal yang penting, pijakan hidup yang membuat dirinya
menjadi manusia utuh dan sejati, jauh sebelum kontak dengan orang-orang
yang mendatanginya,”tutur Pastor John Kore OFM suatu ketika, dalam
seminar Budaya dan Injil, (5/2).
Penghancuran
alam dan budaya secara besar-besaran, telah menjadi jalan tol bagi
penghancuran manusia Papua. “Kalau berhasil menghancurkan budayanya,
sangat gampang untuk membunuh manusianya,”tutur Ibrahim Penyong, dosen
Antropoloi Universitas Cendrawasih, mengutip pernyataan salah satu
Antropolog Rusia beberapa waktu lalu di Gedung Shopie P3W Padang Bulang
Jayapura.
Orang-orang
Papua kini menghadapi situasi ini. Mereka lebih dulu mati, sebelum mati
fisik. “Bangkai-bangkai hidup yang berjalan di atas tanah leluhurnya
sendiri,”tulis Agus A. Alua dalam bukunya “Papua Barat dari Pangkuan ke
Pangkuan” .
Komentar
Agus itu membawa kesadaran kita orang Papua, bahwa pemerintah, yang
katanya dewa penyelamat, dewa kesejahteraan, adalah pelaku perusakan dan
penghancuran orang Papua.
Kita
tidak lagi punya sandaran hidup. Orang Papua hari ini tidak lagi
berpijak pada bumi yang membesarkan dirinya menjadi manusia utuh dan
sejati. Orang Papua kini hidup di bawah kekuatan asing.
Lantas,
kalau pemerintahnya sendiri penjadi penghancur, kepada siapa orang
Papua berharap? Orang Papua tidak bisa berharap kepada siapapun, kecuali
pada dirinya sendiri. Orang Papua harus bangkit mencari solusi,
melindungi yang belum hancur sebelum hancur total.(Jubi/Mawel)
Sumber : www.tabloidjubi.com
0 komentar :
Posting Komentar