Buku berjudul Jiwa Yang Patah, cetakan pertama, Juli 2012. Antropolog dari UNIPA ini mengulas tentang sejarah, politik dan ekonomi termasuk Mambesak dalam buku setebal 241 halaman.(Jubi/ist) |
Jayapura, 4/11 —Para
antropolog asing asal Negeri Belanda pernah saling berdebat soal
manusia Papua baik jaman antropolog Jaan Van Baal mantan Gubernur
Nederlands Nieuw Guinea dan juga Jan Pouwer serta Paul Haenen dalam
Peoples on the Move. Agaknya tidak berlebihan kalau membandingkan
sumbangan para antropolog ketimbang ilmuwan sosial lainnya dalam
melakukan pengamatan dan penelitian tentang manusia dan lingkungan di
Tanah Papua sangat banyak serta menarik untuk disimak.
Lalu Bagaimana Manusia Papua menilai dirinya sendiri ? Jelas tak etis
karena nanti dorang bilang jeruk makan jeruk. Tak heran kalau karya
dosen antropolog UNIPA, I Ngurah Suryawan dalam esseynya berjudul Jiwa
Yang Patah bisa menggugah semua orang agar mulai stop baku tipu soal
Papua.
Walau tidak semua antropolog di Indonesia bahkan di Papua sendiri
berani menulis apa adanya tanpa menutupi realitas sosial yang dialami
masyarakat akar rumput. Tapi kehadiran buku berjudul Jiwa Yang Patah
bisa menambah pengetahuan orang tentang situasi kritis Papua Barat sejak
dari Nederlands Nieuw Guinea menjadi Irian Barat, Irian Jaya dan Papua
serta Papua Barat hingga kebijakan Otsus Papua dan terkini UU Otsus Plus
dan UU Pemerintahan Papua. Apalagi tanah Papua seperti daerah lainnya
di Indonesia kata Ngurah Suryawan telah dijadikan obyek penderitaan
tanpa henti.
Pertanyaannya sederhana, mengetahui tanahnya kaya, mengapa rakyat
Papua hingga kini masih ada yang miskin? Bagaimana hak-hak dasar rakyat
Papua dan identitas politik budaya mereka dihargai oleh negara? (Hal
43).
Antropolog, Ngurah Suryawan dosen Fakultas Sastra dari Uneiversitas
Negeri Papua di Manokwari, Papua Barat telah menerbitkan sebuah buku
yang diberi judul “Jiwa Yang Patah.” Buku setebal 241 halaman ini
terdiri dari enam bagian ditambah pengantar penulis dan pengantar Pdt
Socrates Sofyan Yoman serta pendahuluan dari Dr Jaap Timmer.
Buku berjudul Jiwa Yang Patah ini menurut DR Ngurah Suryawan berasal
dari istilah aktivis HAM John Rumbiak. Bagi naek (sebutan saudara dalam
bahasa Biak) John Rumbiak orang-orang Papua mengalami Jiwa Yang Patah
karena mereka telah hilang kepercayaan diri, frustasi, apatis,
mengendapkan dendam dan kebencian yang mendalam terhadap pihak yang
membuat mereka menderita.(hal 45).
Kutipan essay dari John Rumbiak menegaskan penjajahan didukung pula
dengan teori-teori kebudayaan yang rasialis. Kaum penjajah beranggapan
bahwa kelompok masyarakat yang dijajah tidak berkebudyaan atau
kebudayaannya rendah. Oleh karena itu berbagai kebijakan dilakukan untuk
memperadabkan sekaligus menaklukan kelompok-kelompok masyarakat
tersebut.
Tak heran kalau Rumbiak sangat kagum pula dengan aktivis kemanusian
Marthin Luter King dan mengutip tokoh pembebasan Frantz Fanon, seorang
psikiater asal Caribia yang kemudian mendukung perjuangan bangsa
Aljazair dari penjajahan Perancis. Rumbiak melihat kondisi ini hampir
sama dalam konteks penjajahan Indonesia terhadap bangsa Papua Barat.
Selain mengutip essay John Rumbiak, antropolog muda asal Bali ini
menyebutkan hak hidup orang Papua makin sulit dijamin ditambah lagi
jumlahnya yang jauh lebih kecil dibandingkan seluruh penduduk Indonesia.
Kini perbandingan antara pribumi dan pendatang hampir sama, yakni 58 % :
42 %. Bahkan sebagian besar kaum pendatang menguasai sektor ekonomi
menengah ke atas dan tinggal di daerah perkotaan sedangkan penduduk asli
tersisih di daerah pinggiran.
Suryawan mengaku kalau ikatan emosionanya terhadap Tanah Papua
dimulai dari tantangan Prof Dr PM Laksono. Bahkan lelaki yang pernah
mengikuti Research Fellow Indonesia Young Leaders di Faculty of
Humanities Universitiet Leiden, The Nederland 2013 menambahkan PM
Laksono sebagai pembimbing disertasi, guru, mentor, dan layaknya sangat
berpengaruh dalam karier akademik program Doktor Universitas Gajah Mada.
Prof Dr PM Laksono, MA pernah menjadi konsultan dari berbagai
penelitian yang dilakukan oleh bidang penelitian dari Yayasan
Pengembangan Masyarakat Desa(YPMD)- Papua sekitar 1995-1996 dalam
diskusi lepas di Ruang Honai YPMD, Jalan Jeruk Nipis, Kotaraja,
Jayapura.
PM Laksono juga terlibat dalam penelitian Program Pengembangan
Pariwisata dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Sekitarnya, Studi Pada
Masyarakat Marao, Desa Sawa, Kecamatan Biak Timur, 1993. Juga menjadi
konsultan dalam penelitian terhadap dampak Industrialisasi di Biak
Numfor (PT Wapoga Timber dan Perusahaan Ikan Milik Perusahaan Perancis).
Begitu pula dengan studi Gender di Kawasan Bintuni Lokasi Perusahaan
LNG Tangguh.
Tak heran kalau PM Laksono dalam Peta Jalan Antropologi Indonesia
Abad Kedua Puluh Satu: Memahami Invisibilitas(Budaya) di Era Globalisasi
Kapital,”2009) menegaskan melihat interkoneksi masyarakat tempatan
dengan kekuatan-kekuatan global kapital, identitas budaya termasuk
didalamnya subyek (identitas masyarakat tempatan) adalah merupakan ruang
penafsiran persoalan resistensi(siasat), perlawanan, dan boleh
dikatakan sebagai gerakan sosial. Kondisi ini jelas peran antropolog
reflektif mengerjakan secara berkelanjutan dengan mengapresiasi
pengalaman-pengalaman dan narasi reflektif identitas yang berbeda-beda.
Meskipun dalam pengantarnya Socrates Yoman mengatakan Ngurah Suryawan
telah merekam sebagian besar peristiwa penting tentang sosial politik,
ekonomi, kebudayaan, sejarah dan pembangunan di Tanah Papua. Socrates
mengakui dengan jujur bahwa essey berjudul Jiwa Yang Patah tidak secara
teliti dan menyeluruh.
Lepas dari kelebihan dan kekurangan buku ini, sebenarnya wajib dibaca
karena menambah wawasan dan pemahaman soal jati diri Manusia Papua
dalam menempatkan dirinya di tengah pertarungan kaum pemodal dan saling
baku tipu guna mengeruk kekayaan alam masyarakat di Tanah Orang Papua.
(Jubi/Dominggus A Mampioper)
Sumber : www.tabloidjubi.com
0 komentar :
Posting Komentar