News
Loading...

DEGEUWO : LUMBUNG EMAS DAN KONFLIK

Sebagian wilayah Degeuwo (IST, Foto. Jubi)
Oleh : Marko Oktovianus Pekei


Kebanyakan masyarakat Indonesia tentu tahu bahwa Propvnsi paling timur di Indonesia ini adalah salah satu daerah  rawan konflik. Kapan saja konflik bisa muncul. Segudang konflik yang muncul, tak kunjung tuntas. Hingga ini, berbagai persoalan tak dikelola secara baik hingga tuntas, sebaliknya hanya sebatas kata-kata yang menenangkan suasana. Persoalan tersebut bukan hanya keinginan orang Papua untuk  melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yakni ‘Merdeka’ saja, tetapi persoalan lain  yang berhubungan dengan sumber daya alam. Diantaranya; persoalan penambangan liar di areal pendulangan emas di Degeuwo, Kabupaten Paniai, Papua. Padahal, sebelumnya kawasan ini masih hutan belantara.

Kondisi geografis Degeuwo
Kampung Degeuwo terletak di hutan belantara yang jaraknya jauh dari kota Nabire dan Paniai. Masyarakat lokal (warga Degeuwo) biasanya memilih berjalan kaki dari Paniai menuju ke kampungnya (Degeuwo) sekalipun harus menginap semalam di pertengahan jalan. Situasi ini kemudian dimanfaatkan Aparat Keamanan dengan mengadakan akses transportasi udara seperti helikopter milik TNI AU dari Nabire tujuan ke kampung tersebut meskipun kampung bukan wilayah kabupaten Nabire. Dengan demikian, para pengusaha dan masyarakat non lokal memilih menggunakan transportasi udara sekalipun harus mereka carter atau membayar ongkos tiket yang sangat tinggi.

Masuknya Perusahaan
Pendulangan emas Degeuwo bermula  sejak masyarakat lokal menemukan butiran emas di sepanjang kali Degeuwo pada  tahun 2003. Sejak itu, Degeuwo menyedot perhatian berbagai pihak, terutama pengusaha. Media massa baik cetak maupun elektronik mulai marak memberitakan temuan tersebut. Sejak dikabarkan media,  Kampung Degeuwo dilirik sejumlah pihak dan mulai didatangi. Meskipun satu-satunya transportasi ke kampung tersebut menggunakan pesawat berbadan kecil dengan cara carter (menyewa).

Sejumlah orang, baik Papua maupun non Papua termasuk para pengusaha dan aparat keamanan mulai hijrah  ke tempat ini. Ketika tiba, mereka mulai mendirikan camp dan berusaha membuka lahan baru. Langkah selanjutnya menetap dan melakukan aktivitas pendulangan.

Dengan demikian, sekalipun Degeuwo terletak di tengah hutan belantara yang jauh dari kota, dalam sekejab berubah menjadi sebuah kota yang ramai di kunjungi orang.

Ketika masyarakat sudah cukup banyak di kampung tersebut, kemudian berkembang pesat menjadi kota seprti ‘texas’ di tengah hutan. Para pengusaha dan pedagang berupaya secepat mungkin untuk mendirikan rumah. Kios dan rumah-rumah makan juga menyusul dibuka. Rumah ibadah dibangun. Tempat-tempat hiburan malam seperti kafe dan diskotik termasuk tempat bilyar dibuka oleh para pengusaha. Minuman keras (miras) mulai meraja lela. Tak memakan waktu lama, wanita-wanita PSK (Pekerja Seks Komersial) didatangkan ibarat stok masuk barang.

Suasana ini terbangun di dua kampung, yakni kampung Nomouwo dan Kampung Bayabiru. Sementara itu, lokasi-lokasi yang dibuka untuk melakukan aktivitas penambangan berjumlah sebanyak 9 lokasi.

Para penambang melakukan aktivitas penambangan dengan menggunakan fasilitas yang bervariasi. Para penambang yang umumnya masyarakat lokal melakukan pendulangan dengan menggunakan kuali (wajang). Para penambang non lokal kebanyakan menggali tanah seperti sumur baik di sekitar rumahnya maupun di tempat lain. Ada pengusaha yang melakukan eksplorasi dengan cara membuat terowongan bawah tanah. Lainnya lagi, menggunakan alat-alat berat seperti exavator. Ini merupakan fasilitas yang digunakan para penambang untuk melakukan aktivitas penambangan.

Konflik
Pasca Degeuwo menjadi perhatian publik, banyak orang dari berbagai kalangan berdatangan dari berbagai daerah. Orang menempuh semua jalur baik jalan darat maupun jalur udara menuju ke kampung tersebut karena emas di kampung tersebut cukup menjanjikan. Namun, sangat disayangkan, Degeuwo tidak hanya menjadi tempat aman, tetapi juga para penambang kemudian diperhadapkan dengan berbagai persoalan yang menarik perhatian publik. Persoalan-persoalan yang muncul tentu mengganggu kelancaran aktivitas menambang. Beberapa persoalan pasca eksplorasi tambang di Degeuwo dapat digambarkan berikut.

Pasca kampung Degeuwo ramai didatangi orang luar menuntut masyarakat lokal berpikir memetakkan lokasi-lokasi disekitarnya sebagai hak milik. Lokasi-lokasi yang sebelumnya tidak dipersoalkan kepemilikannya, kini menjadi perdebatan antar warga setempat. Hal ini disebabkan karena setiap warga merasa lokasi-lokasi tertentu yang sebelumnya hutan diklaim sebagai hak ulayatnya. Kini perdebatan bahkan permusuhan diantara masyarakat lokal muncul. Situasi ini seringkali tidak berakhir dengan suatu kesepakatan, sebaliknya,  cenderung berpikir mendapatkan keuntungan dari lokasi tersebut.

Masalah lain soal lahan, ketika para pendatang (non Papua) datang, mebus sebidang tanah dengan cara barter ibarat seperti jaman Belanda dulu. Mereka membayar dengan  barang atau uang kepada salah satu pihak yang mengkalim tanah itu miliknya. Pihak yang tidak kebagian,  menuntut bagiannya. Dalam konteks ini, persoalan muncul sebatas intern masyarakat lokal. Persoalan ini muncul akibat belum jelasnya kepemilikan dan tapal batas antar lokasi. Selain itu, masyarakat lokal tidak memiliki akses untuk memanfaatkan sumber daya alam sehingga cenderung berharap untuk mendapatkan keuntungan dari siapa saja yang akan memanfaatkan lahanya.

Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Adat Suku Wolani, Mee dan Monni, Tobias Bagubau mengatakan penerapan hukum rimba menjadi sumber konflik horizontal di Degeuwo. Rakyat saling rebut hak ulayat dengan mengorbankan sesamanya. “Saya kecewa, rakyat lokal yang selalu menggunakan hukum rimba. Rakyat ini terkesan tidak tau yang namanya menghargai hak sesamanya,” kata Tobis. Lebih lanjut ia mengatakan, masyarakat selalu mengedepankan egonya untuk merebut hak sesamanya. Rakyat selalu klaim dan merebut tanah adat. Mereka yang kuat, berhasil merebut dan mengambil tanah serta isinya. Semisal, konflik antara Suku Mee dan Suku Wolani akibat tewasnya seorang Kepala Suku Wolani yang memiliki dan menguasai wilayah pertambangan emas yang terdapat di wilayah Wege Degeuwo. Insiden itu membuat Suku Wolani harus menuntut denda berupa uang sebesar Rp. 5 milyar. Lantas, Suku Mee hanya menyediakan uang senilai Rp. 180 juta serta dua ekor babi dan menawarkan kepada Suku Wolani, namun Suku Wolani tidak mau menerima dan masih menuntut supaya pihak Suku Mee harus memenuhi sesuai permintaan. Akhirnya,  saling serang kembali terjadi di kota Nabire yang mengakibatkan banyak orang terluka dan beberapa orang meninggal dunia. Persoalan tersebut hingga kini belum selesai. Dalam situasi tertentu, sering muncul saling curiga antar pihak.

Pengusaha dan Masyarakat
Dalam pengelolaan sumber daya alam, persoalan yang seringkali muncul ialah konflik antara pengusaha dan masyarakat lokal. Masing-masing pihak berdiri pada posisinya, yakni pengusaha dengan kepentingan bisnis dan masyarakat lokal dengan kepentingan hak ulayat. Misalnya konflik antara masyarakat lokal dengan para Pengurus Yayasan Amai Mini (YAM) dipolisikan oleh warga yang terdaftar sebagai nasabah pada yayasan tersebut, karena diduga telah membohongi mereka. Dikatakan bahwa yayasan tersebut sudah sekian lama belum membayar dana yang dijanjikan kepada nasabahnya yang telah menyerahkan emas kepada yayasan tersebut. Pihak yayasan menjanjikan pembayaran yang lebih tinggi dari pengusaha emas lainnya, namun janji tersebut tidak ditepati dalam jangka waktu yang cukup lama.

Menurut pengakuan seorang ibu Pekepa, seorang warga yang mengaku emas hasil dulangannya sebanyak 320 gram, telah diserahkan secara bersama kepada YAM, namun sudah lama tidak pernah dibayar. Dirinya merasa telah ditipu karena meskipun berkali-kali dijanjikan akan dibayar. Tapi, sampai sekarang belum juga terealisasi. “Sekarang mau bayar atau kembalikan saja emas kami sebanyak itu,” ujarnya.  Ironisnya lagi, kekerasan tidak hanya terjadi antara masyarakat lokal, tetapi juga terjadi antara para pengusaha.

Tahun 2007 lalu,  terjadi perselisihan antara dua orang pengusaha, yakni Boy Rakinaung dan Ny. Selly Sanadi. Perselisihan yang diawali masuknya salah satu dari mereka ke lokasi milik yang lain. Perselisihan ini ditangani oleh aparat keamanan, tetapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya, penyelesaian perselisihan ini kemudian difasilitasi Dewan Adat Setempat. Penyelesaian kasus ini berakhir dengan pembayaran kerugian dari pihak Boy Ranung kepada pihan Ny. Selly Sanadi. Menurut beberapa warga dan pendulang disekitar Degeuwo, perselisihan ini sempat melibatkan oknum aparat keamanan setempat dari Polres Nabire.

Persoalan antara masyarakat lokal dengan penguasa tersebut kemudian diperkeruh akibat para pengusaha tambang di Degeuwo seringkali melibatkan aparat keamanan (TNI dan Brimob) agar usahanya tetap berjalan lancar tanpa gangguan dari pihak lain. Keterlibatan aparat keamanan seringkali membuka peluang muncul tindakan-tindakan kekerasan ketika masyarakat lokal menuntut hak ulayat tanahnya. Hal ini disebabkan karena ketika masyarakat lokal menuntut hak ulayatnya, para pengusahapun melimpahkan kewenangannya kepada aparat keamanan untuk menyikapi tuntutan tersebut. Akibatnya, aparat keamanan yang membac-up pengusaha biasanya bersikap represif terhadap masyarakat lokal haknya.  Salah satu kasus yang terjadi misalnya, salah seorang warga yang bernama, Sefanya Anoka ditembak oknum polisi akibat adanya tuntutan masyarakat lokal atas hak ulayat tanahnya kepada salah satu pengusaha.

Selain masyarakat lokal menjadi korban atas tuntutan hak ulayat tanahnya, merekapun seringkali menjadi korban kekerasan aparat ketika mereka dianggap telah mengganggu fasilitas milik penguasa maupun para pendatang baru. Penembakan terhadap 4 pemuda setempat oleh Brimob ketika keempat pemuda tersebut hendak main bilyard. Menurut pengakuan seorang dari keempat pemuda tersebut, karena mengambil stick dan bola bilyard yang ada di ruang belakang salah seorang dari mereka dikira pencuri maka Ibu Yona (pemilik tempat) melaporkannya kepada Brimob. Tiga orang Brimob yang bersenjata lengkap ke tempat bilyard dan membubarkan keempat pemuda. Namun, keempat pemuda tersebut lama dan merasa diri dilawan, maka ketiga Brimob tersebut langsung menembak mati tanpa mengeluarkan tembakan peringatan. Seorang warga yang juga teman dari keempat korban mencoba untuk membantu mereka dan menyampaikan sikap protesnya kepada anggota Brimob, akhirnya iapun ditembak.

Aparat keamanan vs TPN OPM
Konflik yang muncul bukan hanya konflik antar warga atau para penambang, tetapi juga konflik antar kelompok bersenjata. Senjata dipergunakan sebagai alat yang ampuh dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan tertentu. Senjata dianggap akan mampu melemahkan semua kekuatan. Barangkali ini merupakan dasar pikiran bagi para pihak pemicu konflik bersenjata di Degeuwo.  Konflik bersenjata di Degeuwo antara Aparat dan Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Organisasi Papua Merdeka (OPM) sering muncul dalam situasi yang tak terduga. Aksi-aksi pemalangan, penodongan dan penganiayaan sering mewarnai para pendulang. Aksi-aksi semacam ini dilakukan dengan tujuan agar kelompoknya mendapat sesuatu dari para pengusaha emas baik langsung berupa emas maupun berupa uang dalam jumlah besar.

Ironisnya, meskipun sekian banyak aparat keamanan (TNI dan Brimob) membeckap para pengusaha, namun OPM seringkali mengambil alih dan mengendalikan situasi di Degeuwo. Mereka menuntut apa yang diinginkan dan hilang seketika bila keinginannya sudah terpenuhi. Sementara, pada situasi tertentu, terjadi penembakan dan seringkali tidak jelas bahwa kontak senjata tersebut entah dari pihak mana. Namun, sangat disayangkan bahwa aksi-aksi kekerasan bersenjata tersebut justru masyarakat sipillah yang menjadi korban. Selain korban masyarakat sipil, aparat keamanan juga menjadi korban dalam aksi kekerasan yang terjadi. Misalnya yang diungkapkan seorang Pengusaha, Primanto pasca aksi kekerasan yang menewaskan Peltu Sunaryo (anggota TNI) disusuk dua kali dengan pisau dibagian dada. Korban lain ialah Ibu Ros (pengusaha), ditikam dibagian dada dan Acep (penambang) ditikam dibagian leher.

Menurut Primanto,  pelaku masuk melalui pintu belakang. Di pintu belakang ada bekas cungkilan. “Jadi, kami simpulkan pelaku masuk lewat pintu belakang. Anehnya, rumah-rumah milik pengusaha itu bersambung-sambung dan ada rumah yang jaraknya 1 meter saja tetapi tidak ada yang  mendengar teriakan atau apa-apa dari ketiga korban. Kami menduga pelaku adalah orang terlatih,” katanya. Konflik bersenjata ini, seringkali aparat keamanan menuduh masyarakat lokal bekerjasama dengan OPM untuk melakukan aksi-aksi tertentu. Akibatnya,  mereka (masyarakat lokal)  menjadi korban penganiayaan, dipukul dan disiksa bahkan adapula yang langsung ditembak mati.  Sementara itu, OPM pun seringkali menekan masyarakat lokal agar mereka tidak melapor kepada aparat  keamanan. Ksempatan lain, anggota polisi yang bersama-sama sekelompok TPN OPM keluar masuk di lokasi tambang tersebut. Sebenarnya, kedua kelompok bersenjata mau memanfaatkan situasi di Degeuwo untuk mendapatkan keuntungan dari para pengusaha maupun para penambang lainnya.

Berdasarkan data Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Dekenat Paniai tahun tahun  2013 ini, sedikitnya  53 kasus kekerasan terjadi di Degeuwo. Dari kasus itu, korban meninggal sebanyak 26 orang. Dari jumlah itu,  dua orang aparat keamanan. Selanjutnya,  42 orang warga sipil terluka.

Lingkungan Hidup
Kegiatan pertama yang dilakukan dalam rangka menambang emas ialah melakukan eksplorasi, maka tentu mempengaruhi ekosistem alam disekitarnya. Para pengusaha maupun penambang mau tidak mau harus menebang pohon dalam jumlah besar dengan rupa-rupa kebutuhan. Selain untuk kepentingan mendirikan rumah, merekapun menebang pohon dengan kepentingan tiang-tiang penyangga terowongan dalam tanah, membuat pagar untuk memindah-mindahkan aliran sungai dan sebagai pembersihan permukaan tanah dan selanjutnya melakukan penggalian sekitar sungai yang ada urat emas. Akibatnya, daerah sekitarnya menjadi gundul dan mudah erosi.

Penambangan emas di Degeuwo yang diwarnai dengan mengeksplorasi alam tentu berdampak pada kelansungan hidup manusia. Dampak tersebut bukan hanya sekedar dampak positif, tetapi juga dampak negatif yang langsung dirasakan masyarakat lokal. Pasca eksplorasi hutan, muncul erosi dan banjir. Selain itu, para pengusaha memanfaatkan kali-kali yang ada untuk melakukan penyaringan bahkan melakukan penambangan dipinggiran kali dengan cara menggali tanah guna pendulangan. Aktivitas ini mengakibatkan air kabur dan dangkal.

Lantaran demkian, air yang tadinya layak dikonsumsi, tak layak lagi untuk dikonsumsi. Penggundulan tanah dan eksplorasi juga telah menyebabkan kali dan sungai menjadi dangkal dan tercemar. Selain itu, tambang emas ilegal itu juga menghancurkan ekosistem alam. Kerusakan lingkungan keburu terjadi sebelum Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) diterapkan.

Kesehatan
Selain masalah lingkungan, masyarakat lokalpun diperhadapkan dengan persoalan lain, yakni dunia hiburan yang menjadi sesuatu yang baru bagi masyarakat lokal. Puluhan tempat hiburan tidak hanya berfungsi sebagai tempat melepas lelah atau refresing, namun mayoritas menjadi  tempat pemuas dahaga nafsu. Para PSK yang didatangkan dari berbagai kota selalu siap melayani para pengunjung. Suasana ini membuka peluang peredaran penyakit HIV/AIDS. Dari aktikvitas itu, puluhan warga lokal dan PSK terpaksa meninggal dunia karena terjangkit penyakit mematikan itu.

Berdasarkan data dari Dewan Adat Daerah Paniai, akhir tahun 2012 lalu, di Kampung Nomouwo tercatat  20 rumah Kafe, 18 rumah Bilyar. Dewan adat juga mencatat puluhan PSK. Lembaga adat ini tak merinci jumlah total pekerja seks tersebut. Sedangkan di lokasi Bayabiru, terdapat kafe, tempat karaoke, bilyard  di sembilan 9 lokasi. Ketua Dewan Adat Paniai, Jhon Gobay mengatakan bahwa sederetan persoalan ruwet tersebut, kini jadi masalah sosial. Warga sekitar telah terinveksi HIV/AIDS. Berdasarkan hasil pantauan Dinas Kesehatan Kabupaten Paniai pada juni 2012 tercatat  203 orang terinfeksi setelah diperiksa.

Peran Pemerintah
Pada  10 Oktober 2013 lalu, Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe, meminta tambang emas Degeuwo yang berada di Kabupaten Paniai segera ditutup. Lantaran, Sekretaris Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua, Fred Boray mengatakan rencana penutupan tambang emas di Degeuwo ini dikarenakan lokasi tersebut tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitarnya. “Di lokasi ini marak bisnis prostitusi yang cara pembayarannya ditukar dengan emas,” kata Fred. Fred menegaskan, dalam prakteknya, kepala daerah setempat justru tidak melaksanakan instruksi Gubernur Papua tersebut. “Sebenarnya wilayah itu sudah harus kita intervensi, karena sampai sekarang jumlah penambangnya hampir 10 ribu orang lebih,” ujarnya.

Fred menjelaskan, penambangan emas tersebut hampir sebagian besar pengusaha tida mengantongi surat izin. Meski demikian, emasnya terus dikeruk. Padahal, dalam aturan pemerintah, jika belum mengantongi izin maka dilarang. Seharusnya, pemerintah kabupaten setempat serius menyelesaikan kasus Degewo. Pemerintah Daerah juga harus mematuhi permintaan  Gubernur Enembe yang meminta menutup penambangan tersebut.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Perdamaian dan Resolusi Konflik di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Sumber : Sumber : www.tabloidjubi.com


Share on Google Plus

About suarakolaitaga

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar