Akademisi dan Dosen kampus Universitas Cenderawasih Jayapura. Foto: Mateus. |
Yogyakarta, -- Staff Pembela Umum pada Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Yogyakarta, Emanuel Gobai menilai rektor Universitas Cenderawasih
(Uncen), Prof. Dr. Karel Sesa,
M.Si., tidak menunjukkan sikap ke-bapa-an untuk
melindungi anak didiknya, namun ada pembiaran rektor agar mahasiswanya
ditangkap ketika sedang melakukan aksi demonstrasi menuntut penolakan adanya
RUU Otsus Plus di Papua.
"Kalau rektornya bersikap seperti ini sangat disayangkan
dalam arti tidak menunjukkan sikap kebapaan dimana setiap orang-orang tua, menitipkan
anak-anaknya utk mendapatkan hak berpendidikan, tetapi jika orang tua dimana tempat
yang dititipkan tidak bertanggug jawab seperti ini maka secara moral ini sangat
disayangkan. Apapun keadaannya sebagai pemimpin di sebuah Universitas, wajib
melindungi mahasiswanya. Sehingga ketika mahasiswanya masalah dia harus
bersikap disana, tidak hanya menunggu dan melihat," ungkap Emanuel Gobai,
ketika menghadiri mimbar bebas AMP di titik nol Malioboro, Sabtu (9/11/2013)
malam.
Lebih lanjut Staf Pembela Umum pada LBH Yogyakarta itu
menjelaskan, sebagai pemimpin di sebuah Universitas harus bersikap terbuka dan
memberikan sebuah kajian dan analisis ilmiah kepada pemerintah untuk
menciptakan ruang demokrasi yang baik.
"Sebenarnya di sini beliau sebagai rektor dan juga
sebagai salah satu tim akademisi yang kadang dipakai oleh pemerintah untuk
memberikan tinjauan-tinjauan akademisi sebenarnya punya kapasitas yang bisa
menciptakan ruang demokrasi yang baik. Dalam hal ini ketika mahasiswa
menyalurkan aspirasinya dan dalam kenyataannya terdapat kendala-kendala seperti
ini, seharusnya bisa dijadikan kajian ilmiah untuk memberikan dan analisis
ilmiah kepada pemerintah untuk memberikan rumusan tentang bagaimana
konsep-konsep berdemokrasi melalui contoh kasus yang ini, tapi kalau yang
terjadi rektornya malah tutup mata, wah, ini sangat keliru sekali," jelas
alumnus Universitas Janabadra (UJB) Yogyakarta ini.
Kata dia, terkait RUU "Otsus Plus" saat ini di Papua
masih ada pro dan kontra, namun, Ia meminta aktivis mahasiswa wajib dihargai
dan dilindungi dalam menyampaikan apa pun agar undang-undang kebebasan publik
terimplementasi dengan baik. Karena menurutnya, undang-undang itu bagian dari aturan publik
yang wajib diakses oleh siapa pun termasuk mahasiswa dalam menuntut sesuatu
dengan bentuk aksi demonstrasi.
"Ketika faktanya undang-undang tersebut tidak dipublikasikan,
ini sudah terindikasi adanya pelanggaran sebelum lahirnya undang-undang
tersebut karena selain perumusan itu, sebenarnya ini kan harus ikuti
mekanismenya harus ada sosialisasi, jaring pendapat dan sebagainya. Nah, apa
yang dilakukan mahasiswa kemarin itu bagian dari pemenuhan jaring pendapat dan
sosialisasi itu, selain itu menjadi hak konstitusi mereka tetapi kalau faktanya
tidak dikasih sesuai permintaan mahasiswa, maka ini ada apa-apa dibalik undang-undang
"Otsus Plus" itu dan ada apa-apa juga di balik tim akademi dalam melihat kondisi
itu," katanya.
Ia juga meminta rektor sebagai pemimpin universitas,
ketika mahasiswanya dicekal dalam hal kebebasan berekspresi harus
menunjukkan sikap sebagai seorang pemimpin.
"Kita kan sedang mengajarkan mahasiswa ya, mahasiswa itu
kakak dari siswa, mulai dari TK sampai SMA, ketika ilmu yang ditransfer dalam
hal ini tentang demokrasi yang ditransfer itu terjadi kejanggalan-kejanggalan
ini, secara tidak langsung itu pembelajaran praktek yang keliru. Sebenarnya rektor
harus punya sikap yang bijaksana, karena apa yang mahasiswa dapat di kampus ketika
dia keluar dia harus implementasikan sebagai wujud Tri Dharma Perguruan Tinggi."
Gobai menilai terkesan adanya pemeliharaan demokrasi
yang keliru di Papua oleh rektor sendiri yang telah diberikan tanggung jawab
untuk membina kehidupan kampus yang terbuka, namun sebaliknya terkesan ada
pemangkasan-pemangkasan arti-arti demokrasi itu sendiri. (MS/Mateus Ch. Auwe)
Sumber : www.majalahselangkah.com
0 komentar :
Posting Komentar