News
Loading...

Papua, Daerah Operasi Militer (DOM) diubah menjadi Daerah Operasi Intelijen (DOI)

Tanah Papua adalah Daerah Operasi Militer (DOM) dari sejak tahun 1960 sampai tahun 2013, sedangkan dari tahun 2013 sampai sekarang Papua dijadikan sebagai Daerah Operasi Intelijen (DOI) berikut ini ringkasan sejarah penderitaan orang Papua.
DARI TAHUN 1960 SAMPAI TAHUN 2013, INDONESIA JADIKAN PAPUA “DAERAH OPERASI MILITER” (DOM)  

Indonesia jadikan Tanah Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dari sejak orang Papua berintegrasi melalui sebuah perjanjian internasional yang ditandatangani pada tanggal 12 Agustus 1962 di New York dan dilanjutkan dengan referendum tujuh tahun kemudian. Referendum itu disebut oleh Indonesia sebagai Pepera yang dijalankan secara musyawarah antara 1.025 orang mewakili seluruh orang Papua. Baru setelah Pepera di tahun 1969 itulah Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan tulang punggungnya pemerintahan militer.

Operasi militer untuk memaksa Papua berintegarasi ke dalam Indonesia secara faktual dirintis mulai tahun 1961 dengan masuknya bala tentara Indonesia ke Papua dengan sebutan sukarelawan dalam rangka melakukan infiltrasi untuk menguasai sebagian wilayah Papua dari Belanda dan kemudian daerah itu dimanfaatkan untuk mengacaukan jalannya pemerintahan Belanda atas Papua. Sejak k tahun 1961 itulah, masyarakat Papua mengenal Indonesia secara nyata berkat adanya pasukan-pasukan ABRI yang menyusup ke Papua. Artinya, wajah pertama Indonesia di Papua diwakili oleh sepak terjang para pasukan infiltran ini.

Fase infiltrasi ini ditujukan untuk membentuk basis-basis gerilya dan mempersiapkan pembentukan pos terdepan bagi upaya penyerbuan Papua oleh Indonesia. Dalam fase ini, dimasukkan Lebih kurang 10 kompi prajurit ABRI ke Papua. Fase kedua adalah melakukan serangan terbuka di beberapa daerah seperti Biak, Fak-fak, Sorong, Kaimana, dan Merauke. Fase ketiga adalah konsolidasi pasukan sebagai kekuatan militer Indonesia di Papua.

Salah satu perwira ABRI yang menjadi infiltran ini adalah Kapten Benny Moerdani (kemudian menjadi Menghankam/ Pangab 1983-1988, Menhankam 1988¬1993) dengan pasukan berkekuatan 206 yang berasal dari RPKAD dan Kompi II Batalyon 530/Para dari Kodam Brawijaya. Pasukan ini diteijunkan di Merauke dengan sandi Operasi Naga. Operasi penyusupan di Papua ini secara keseluruhan diberi sandi Operasi Djayawijaya. Setelah New York Agreement disetujui, Benny dipindahkan ke Holandia (Jayapura) menjadi komandan sementara seluruh pasukan infiltran Indonesia di Irian Barat.

Seluruhpasukan infiltran ini sebagaimana disyaratkan oleh New York Agreement kemudian diorganisasi ke dalam Kontingen Indonesia (Kotindo) sebagai pasukan keamanan UNTEA. Konsentrasi dari pasukan Indonesia ini awalnya adalah Merauke, Kaimana, FaMak, dan Sorong. Semua pasukan Indonesia ini kemudian dibagi ke dalam empat datasemen, yaitu Datasemen A di Merauke, Datasemen B di Kaimana, Detasemen C di Fak-fak, dan Detasemen D di Sorong.

Pasukan-pasukan Indonesia ini kemudian diperbantukan kepada United Nation Security Force (UNSF) yang merupakan aparat keamanan UNTEA. Meskipun demikian, seluruh komando tetap berada di bawah Panglima Mandala. Artinya, pasukan Kotindo secara organik tetap merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ABRI. Maka dari itu, segala tanggung jawab organisatoris dan administratif tetap menjadi tanggung jawab Indonesia.

Dengan posisi yang demikian, ABRI di Papua memiliki dua misi, formal merupakan alat kelengkapan dari UNTEA dalam UNSF, sementara infomal adalah untuk melanjutkan komando Trikora. Maka dari itu, ABRI dalam Kotindo, lebih mementingkan tugas informalnya, yaitu mengawasi UNTEA agar tidak merugikan Indonesia dan menekan kekuatan-kekuatan sosial politik orang-orang Papua yang menentang Indonesia.

Kehadiran dan sepak terjang ABRI yang kerap melakukan kekerasan di Papua di kemudian melahirkan satu sikap yang khas Papua pula, yaitu Indonesia diasosiasikan dengan kekerasan. Untuk keluar dari kekerasan, orang-orang Papua mulai membangun identitas Papua sebagai reaksi untuk menentang kekerasan yang dilakukan oleh para anggotaABRI yang menjadi representasi Indonesia bertahun-tahun di Papua. Makna yang terbangun di balik itu adalah menolak menjadi Indonesia berarti menolak menjadi korban kekerasan dari ABRI. Sikap ABRI atas reaksi orang-orang Papua bukannya mencari jalan penyelesaian secara damai, melainkan mengintensifkan kekerasan dengan Skala yang lebih besar melalui operasi militer dengan menjadikan Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Akibatnya, kekerasan menjadi lingkaran yang tiada putus di Papua selama puluhan tahun.

Sejak itu secara perlahan, orang-orang Papua, baik elit maupun jelata tugas mulai mengenal Indonesia dalam arti sesungguh-nya. Singkatnya dalam pandangan orang Papua, ABRI adalah Indonesia, Indonesia adalah ABRI. Akibatnya, perlawanan terhadap Indonesia yang mulai sejak tahun 1963 sampai hari ini tidak pernah berhenti.

Untuk mendapatkan perhatian, OPM kerap melancarkan gerakan bersenjata secara sporadic. Hal itu ditempuh OPM karena terbatasnya kemampuan tempur akibat sedikitnya jumlah persenjataan. Selain itu, juga karena tidak mudahnya medan Papua untuk membangun kekuatan besar yang terorganisasi secara baik. Selain gerakan bersenjata, secara umum usaha OPM untuk menunjukkan diri mereka tetap eksis adalah aksi penculikan, aksi penyergapan, pengibaran benders Bintang Kejora, penyebaran propaganda melalui media selebaran, dan mobilisasi demonstrasi atau rapat umum di daerah-daerah terpencil. Selain itu, kerap pula ditempuh aksi lintas batas, terutama ke PNG.

OPM pada awalnya adalah reaksi orang-orang Papua atas sikap pejabat-pejabat asal Indonesia yang mengecewakan mereka sejak tahun 1963. Perlawanan secara bersenjata pertama kali diluncurkan di Kebar, Manokwari 26 Juli 1965. Perlawanan di Kebar ini dipimpin oleh Johannes Djambuani dengan kekuatan 400 orang yang berasal dari suku Karun dan Ayamaru. Seiring dengan itu, sukuArfak di Arfai, Manokwari melancarkan pula perlawanan yang dipimpin oleh Mayor Tituler Lodewijk Mandatjan yang diikuti oleh Kapten Tituler Barent Mandatjan dan Lettu Tituler Irogi Maedogda dengan mengajak penduduk lari ke hutan.

Sementara di Manokwari 28 Juli 1965 juga terjadi perlawanan yang dipimpin oleh Permanas Ferry Awom dengan pengikutnya sekitar 400 orang yang berasal dari suku Biak, Ajamaru, Serui dan Numfor menyerang asrama Yonif 641/Cendrawasih I. Dalam penyerangan ini 3 anggota ABRI tewas.
Setelah terjadi penyerangan, ABRI melancarkan Operasi Sadar di bawah komando Pangdam Brigjen R. Kartidjo untuk menghancurkan kelompok perlawanan. Operasi Sadar ini tidak saja bertujuan untuk mematahkan perlawanan yang terjadi di Manokwari, tetapi juga menegaskan kekuasaan Kodam XVII atas seluruh wilayah Papua. Tugas pokok operasi adalah melakukan penghancuran terhadap gerombolan yang bergerak di sekitar Manokwari dan Kebar sekaligus, minimum menangkap Ferry Awom dan Julianus Wanma, baik coati maupun hidup sebelum tanggal 17 Agustus 1965. Operasi ini sejak 10 Agustus dilancarkan secara intensif dan terus-menerus ke kampung-kampung yang menjadi basis-basis perlawanan. Dalam operasi pengejaran terhadap kelompok perlawanan, 36 orang penduduk yang disebut sebagai anggota OPM tewas.

Sejalan dengan operasi pengejaran ini, Operasi Sadar dikembangkan ke seluruh wilayah Irian Barat pada tanggal 25 Agustus 1965. Sejak ini, Operasi Sadar langsung dipimpin oleh Pangdam. Berdasarkan perintah operasi ini, wilayah Papua kemudian dibagi ke dalam 4 sektor. Sektor I adalah daerah yang meliputi Manokwari dan sekitarnya menjadi pos terdepan operasi. Untuk daerah ini dilancarkan operasi intelijen dan teritorial untuk mendukung operasi fisik (tempur). Di sektor lainnya yang belum menujukan adanya perlawanan fisik, hanya dilancarkan operasi intelijen dan teritorial dengan tujuan untuk mencegah meluasnya pengikut perlawanan.

Operasi ini dilanjutkan oleh Pangdam yang baru, yaitu Brigjen R. Bintoro. Sepanjang tahun 1966-1967 operasi tempur ABRI kian massif untuk menghadapi kelompok-kelompok perlawanan yang tumbuh dari suku Arfak di Manokwari di bawah pimpinan Lodewijk Mandatjan dan Ferry Awom dan juga di daerah sekitar Jayapura dan Merauke. Nama operasi kali ini adalah Operasi Baratayudha dengan mendatangkan pasukan dari Yonif 314/ Siliwangi dengan 2 kompi Yon 700/RIT dan 2 kompi Yon 935/Brimob. Selain itu dalam operasi ini juga dilibatkan 2 Ton KKO/ALRI, 1 Ton Kopasgat dan 1 tim RPKAD. Pasukan tempur ini juga diperkuat dengan 2 pesawat Bomber B-26 dan 1 Pesawat Dakota dan 1 Kapal Perang.

Operasi Baratayudha bertujuan menghancurkan perlawanan dan mempersiapkan pemenangan Pepera. Operasi ini bersifat tempur dengan dibantu oleh operasi intelijen dan teritorial yang disiapkan dalam tiga fase, yang fase terakhirnya adalah tahun 1968. Fase ketiga, ini ditujukan untuk konsoliasi persiapan memenangkan Pepera.

Operasi Baratayudha yang banyak menelan korban jiwa membuat kelompok perlawanan terpecah menjadi kecil-kecil dan surut. Untuk mengintensifkan kemenangan dalam Pepera, kelompok-kelompok kecil ini kemudian dikejar terus-menerus. Inti dari pasukan yang mengejar ini adalah dari RPKAD. Sejalan dengan ini, show offorce dari kekuatan yang diiringi dengan operasi intelijen dan territorial dilancarkan di daerah yang perlawanan kecil dan melemah untuk memenangkan situasi psikologis. Sepanjang tahun 1967, operasi berhasil menembak coati 73 orang dan menangkap 60 orang dengan menyita 39 pucuk senjata. Adapun yang menyerahkan diri 3.539 orang. Operasi Barathayuda ini menggetarkan hati banyak orang Papua, karena mereka tidak mengira Indonesia akan melancarkan perang terbuka yang banyak mendatangkan penderitaan fisik dan psikis dalam menghadapi protes mereka.

Ketika Brigjen Sarwo Edi menjadi Pangdam, digelar operasi baru yaitu operasi Wibawa dengan tugas utama adalah memenangkan Pepera untuk Indonesia. Tugas pokok dari operasi ini adalah menghancurkan kelompok perlawanan, mengamankan usaha memenangkan Pepera Berta menumbuhkan dan memelihara kewibawaan pemerintah. Untuk tujuan itu, Kodam melakukan sinkronisasi operasi tempur, intelijen, dan teritorial. Sejalan dengan ini, Pangdam memerintahkan di setiap Kodim disiapkan kekuatan tempur agar bisa digunakan jika diperlukan.

Dalam kerangka memenangkan Pepera, OPSUS di bawah pimpinan Mayor Ali Moertopo yang bergerak dalam bidang intelijen dan sosial-ekonomi berperan dominan dalam melakukan operasi teritorial untuk penggalangan. Dalam kerangka Operasi Wibawa, pemenangan Pepera ke Kodam diperbantukan intelijen dari Den Dipiad dan intelijen dari Tim Karsa Yudha/RPKAD. Untuk memenangkan Pepera itu, intimidasi dan kekerasan telah memaksa sebagian orang memilih menjadi Indonesia. Secara keseluruhan, dalam operasi ini dilibatkan 6.220 orang pasukan.

Operasi pemenangan Pepera ini dibagi ke dalam 4 fase. Fase pertama adalah menghancurkan kelompok perlawanan dan sekaligus memperluas sebaran pasukan ABRI ke daerah-daerah yang telah dikuasai. Selain itu, di setiap Puterpa disiapkan 1 regu pasukan infantri untuk melakukan operasi teritorial. Fase kedua adalah memastikan di daerah-daerah Kepala Burung Pepera dimenangkan oleh Indonesia. Untuk ini, segenap unsur ABRI dilibatkan untuk mengeliminir kelompok perlawanan. Fase ketiga dan keempat adalah memastikan kemenangan pada hari H-nya dan mengamankan hasilnya.

Meski pun fase-fase itu telah disiapkan, ternyata upaya memastikan Pepera bisa dimenangkan oleh Indonesia tidak berjalan secara mulus. Di daerah Erambo (Merauke), Dubu/Ubrub (dekat perbatasan), Enaratoli dan Wahgete (Paniai) terjadi penolakan oleh masyarakat setempat. Para utusan pemerintah dan unsur ABRI yang ada di daerah itu dilawan oleh penduduk.
Di Enarotali, perlawanan lebih hebat dengan melancarkan gerakan bersenjata serta terang-terangan menolak bergabung ke Indonesia yang dipimpin oleh A.R. Wamafma, Senen Mote, Maphia Mote, dan Thomas Douw. Perlawanan ini juga didukung oleh beberapa orang polisi asal Papua yang berpihak kepada kelompok perlawanan. Untuk menghentikan gerakan ini, Pangdam Sarwo Edi ‘memerintahkan menghancurkan kelompok perlawanan. Untuk itu, pasukan Kopashanda dan pasukan dari Kompi 3, Batalyon 724/Hasanuddin diterjunkan di Enarotali untuk membantu pasukan yang ada di Kodim 1705/Nabire. Pasukan ini dalam operasinya didukung pula oleh Dipiad (Dings Pelaksana Intelijen AD) dan Satgas AURI yang dilengkapi pesawat B 26, Dakota, dan Hercules. Pasukan Yon 724/Hasanuddin ini kemudian bergerak melancarkan operasi ke berbagai daerah di sekitar Paniai. Operasi yang dipimpin oleh Mayor Mochtar Jahja dan Mayor Sitompul ini tidak mudah dilupakan oleh rakyat Paniai karena dalam operasi ini militer bertindak secara kasar dan membabi buts itu. Ditengarai ada sekitar 634 orang penduduk terbunuh sepanjang operasi itu.

Aksi perlawanan menjelang Pepera ini jugs pecah di Piramid, Wamena. Dua orang anggota ABRI dibunuh oleh penduduk. ABRI dalam pensttwa Piramid ini melancarkan operasi intelijen dan teritorial untuk mencari pelakunya. Pasukan dari Satgas 3/Hasanuddin dikerahkan untuk menguasai kampung-kampung dan mencari pelaku.

Gencarnya operasi-operasi militer yang diperintahkan oleh Pangdam Sarwo Edi tidak terlepas dari fungsinya sebagai Ketua Proyek Pelaksana Daerah. Sesuai dengan surat Mendagri No. 30/1969, Pangdam bertanggung jawab atas pengendalian, penggerakan, dan koordinasi kegiatan semua aparatur pemerintah daerah, sipil, dan swasta dan ABRI di Papua. Dengan lain kata, Pangdam adalah penguasa tertinggi di Papua dalam menjalankan pemerintahan dan bertanggung jawab penuh untuk memenang-kan Pepera. Dalam posisinya sebagai Ketua Proyek, Pangdam melancarkan usaha-usaha peningkatan operasi tempur di semua line untuk menghancurkan perlawanan, melakukan operasi teritorial untuk penggalangan kondisi bagi pemenangan Pepera dan mengintensifkan operasi intelijen untuk mematahkan sisa-sisa, gerakan separates. Selain itu, melakukan operasi pengamanan objek vital dan tempat-tempat sidang Dewan Pepera.

Sejalan dengan kemenangan Indonesia dalam Pepera, ABRI melakukan pula fungsi¬fungsi sosial-politiknya. Untuk itu, Kodam melancarkan program penggantian para pej abat kabupaten dan dinar-dinar yang dilihat diragukan loyalitasnya pada Indonesia. Bersamaan dengan ini, keanggotaan DPRD I dan II melakukan penyusunan ulang dengan memasukan anggota, ABRI menj adi anggota atau pimpinan dewan. Dalam konteks ini, pasukan ABRI juga dirapatkan di kampung-kampung untuk mengawasi kehidupan masyarakat secara langsung. Di ramping itu, juga melancarkan proyek civilisasi dan kesehatan bekerja sama dengan zending dan misi yang telah ada. Dalam bidang ekonomi, Kodam juga turut serta melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi dengan mengontrol arcs dan harga barang. Semua kegiatan ini disebut sebagai kegiatan civic mission ABRI di Papua.

Setelah memenangkan Pepera, 29 Januari 1970 Brigjen Acub Zainal ditunjuk menjabat Pangdam Tj endrawasih. Di tangan Pandam baru ini, organisasi Kodam menjadi 3 Korem, 9 Kodim, dan 3 Yonif. Yonif 751/ Tjendrawasih di Arfai, Manokwari berasal dari Kodam Diponegoro dengan status tugas jangka panjang. Yonif 752/Tjendrawasih di Sorong berasal dari Kodam Siliwangi dan Yonif 753/Tjendrawasih di Ifar Gunung, Jayapura berasal dari Brawijaya ditambah prajurit asli orang Papua. Ketiga Yonif ini dikembangkan menjadi pasukan organik Kodam Tjendrawasih. Sementara pasukan¬pasukan ABRI dari kesatuan lainnya yang berasal dari luar Papua mengalami rotasi penugasan. Pasukan lama pulang dan diganti dengan pasukan baru dari asal kesatuan yang sama. Reorganisasi ini juga sejalan dengan reorganisasi Kopkamtibda di Irian Jaya. Semua ini dipersiapkan untuk menyambut pelaksanaan Pemilu 1971.

Pemilu 1971 ini merupakan pemilu pertama Indonesia di bawah kekuasaan rezim Orde Baru Soeharto. Pemilu ini juga merupakan pemilu pertama bagi orang Papua dalam kekuasaan Indonesia. Dalam mempersiapkan Pemilu 1971 ini, Kodam juga menghadapi perlawanan, terutama di Biak Utara dan Barat, serta di kepala burung Manokwari. Untuk menghentikan perlawanan tersebut dilancarkan operasi militer. Sandi operasi adalah Operasi Pamungkas dengan pendekatan pada operasi teritorial yang dibantu tempur dan intelijen. Pelaksana Operasi adalah Kodim Biak yang dibantu pasukan tempur dari Yonif 753 dan 752/Tjendrawasih serta Dipiad. Operasi di Biak ini dipimpin oleh Dandim Biak Mayor R.A. Hendrik dan Mayor Puspito yang juga Komandan Yon 753.
Bulan Juli 1971 ini, Kodam juga melancarkan Operasi Pamungkas di Manokwari untuk mengejar Ferri Awom yang belum menyerah. Operasi ini dipimpin oleh Danyongab Satgas 3/Merdeka, Mayor Ahmad. Kemudian digantikan oleh Letkol S. Mardj an. Dalam Operasi ini terlibat pasukan dari Satgas 3/.N4erdeka dan 1 peleton dari Yon 751 dan 1 peleton dari Kompi 753. Batalion-batalion bertugas mengejar kelompok perlawanan sepanjang hari selama berbula-bulan, Siang, dan malam. Dalam pengejaran ini Kapten Sahala Rajaguguk berhasil membujuk Ferry Awom untuk Turín menyerah dengan 400 orang anggotanya.

Operasi militer yang masif di tahun 1971 ini alih-alih membuat sentimen anti Indonesia surut, malah perlawanan berkembang ke berbagai kota dalam bentuk penyerangan terhadap pos-pos ABRI dan pemerintahan. Melihat perlawanan menguat, Kodam kian memperkuat kekuasaannya di Papua dengan menutup, Papua bagi media. Suasana ketakutan merajalela di seantero Papua. Selama menjelang dan sesudah Pemilu 1971 tidak ada satu pun orang di Papua berani mempersoalan ketidakadilan atau tindakan-tindakan anggota militer yang menyakitkan hati mereka

Atmosfer ketakutan itu muncul dari tindakan militer Indonesia yang selalu melancarkan serangan militer besar-besaran terhadap daerah-daerah yang ditengarai sebagai basis OPM. Dalam melakukan serangan, ABRI kerap melibatkan pasukan dalam jumlah besar dengan dibantu oleh pesawat pembom Bronco dan helikopter bersenjata. Serangan besar-besaran itu tidak saja mengejar anggota OPM yang mencoba menyerang pos-pos ABRI, melainkan kerap kali menelan korban jiwa dari penduduk kampung yang tidak terlibat dalam OPM.

Banyaknya korban jiwa di akhir tahun 1970-an ini juga disebabkan oleh sikap militer Indonesia sendiri yang tidak pernah secara jelas memposisikan OPM sebagai gerakan kemerdekaan. OPM hanya dilihat sebagai gerakan kriminal yang disebut sebagai Gerakan Pengacau Liar (GPL) atau Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Dengan cara seperti ini, setiap korban jiwa yang jatuh dari kalangan orang-orang Papua dengan mudah diklaim oleh militer sebagai anggota OPM.

Menjelang Pemilu 1977 kembali perlawanan dilancarkan, oleh kelompok-kelompok OPM di Papua, terutama di daerah Kobagma, Bokondini, Mulia, Ilaga, Piramid, Kabupaten Jayawijaya. Perlawanan ini dipicu oleh penempatan kesatuan-kesatuan ABRI di hampir seluruh wilayah Papua. Operasi-operasi militer untuk mematahkan perlawanan menjelang Pemilu 1977 dan Sidang Umum MPR 1978 ditingkatkan baik secara kuantitatifmaupun kualitatif. Selain itu, perlawanan juga pecah di Enarotali, Biak, dan Mimika serta di sepanjang daerah perbatasan dengan PNG Era ini dianggap oleh orang Papua sebagai era awal status Daerah Operasi Militer bagi Papua diterapkan . Pangdam Tjendrawasih waktu ini dijabat oleh Brigjen Imam Munandar.

Di Jayawijaya, terutama di daerah sekitar Tiom dan Kwiyawage yang merupakan lembah-lembah di Baliem dilangsungkan pula operasi militer untuk menghentikan perlawanan dan mempersiap-kan Pemilu 1977. Operasi dilancarkan di bulan April dan Juni. Perlawanan orang Ndani di daerah ini diawali oleh perasaan tidak suka Suku Ndani terhadap kebijakan Indonesia yang memaksa mereka berganti pakaian. Sekitar 15.000 orang berkumpul melakukan protes. Perlawanan ini diawali oleh Operasi Koteka yang dilancarkan untuk mengadabkan orang-orang di daerah itu. Di Tiom sekitar 4.000 orang melawan dengan cara menyerang pos pemerintah di daerah itu. Kemudian ke daerah ini diterjunkan pasukan khusus dari RPKAD dengan didrop dari helikopter. Selain itu, para penduduk yang mencoba menyelamatkan diri ke hutan-hutan dihujani tembakan dari udara.

Di areal PT Freeport di Timika bulan Juli 1977 juga terjadi gejolak. penduduk setempat yang ditengarai digerakkan oleh OPM juga melancarkan serangan terhadap pips-pips dan fasilitas PT Freeport karena merasa kecewa atas kehadiran perusahaan itu. ABRI membalas aksi penduduk itu dengan melakukan penembakan dari udara menggunakan pesawat Bronco. Setelah itu, ke berbagai deretan kampung di selcitarAgimuga diterjukan pasukan infantri dari Batalion 753/Tjendrawasih untuk mengejar penduduk dan membakar perkampungan. Implikasi dari aksi kekerasan ini penyelengaraan Pemilu 1977 di beberapa kampung di daerah pegunungan ini terpaksa ditunda.

Robin Osborne mencatat operasi militer di tahun 1977-1978 adalah operasi militer paling buruk. Dalam setiap operasi pengejaran terhadap mereka yang disebut kelompok OPM diterjunkan pasukan dalam jumlah besar yang berintikan kesatuan RPKAD dan pasukan angkatan darat lainnya. Di daerah selatan Jayapura yang berdekatan dengan perbatasan yang dikenal sebagai daerah Markas OPM diterjukan 10.000 orang tentara setelah daerah itu dibombardir dari udara oleh dua pesawat Bronco. Dalam penyerangan ini, diperkirakan 1.605 orang para pendukung OPM dan penduduk di wilayah itu tewas. operasi militer ch tahun-tahun ini selalu diingat oleh orang-orang tua di daerah itu, sebagai kenyataan paling pahit dalam hidup mereka.

Sepanjang tahun 1977-1978 itu, Dubes Indonesia untuk PNG memperkirakan 1.800 orang pasukan dikerahkan beroperasi di hutan-hutan untuk melakukan pengejaran dan 3.000 orang siaga berada di Jayapura untuk setiap saat menggantikan. Menyadari operasi militer itu telah menciptakan ketakutan dan menelan banyak korban jiwa yang tidak perlu, Panglima ABRI kala itu, Jenderal M. Yusuf, mengumumkan akan mengurangi operasi militer di Papua dengan mengintrodusir kebijakan bare yang dikenal dengan kebijakan Operasi Senyum. Dalam Operasi Senyum ini dinyatakan Indonesia tidak akan melancarkan operasi besar-besaran, karena OPM mulai dilihat kecil dan tidak membahayakan. ABRI hanya, akan melancarkan patroli di perbatasan dan tugas keamanan rutin.

Gejolak kembali membuncah di tahun 1980-an, terutama sekitar tahun 1984. Di tahun 1980-an Kodam telah dinyatakan sebagai Kotama dalam jajaran AD. Panglima Kodam menjadi pimpinan di daerah untuk seluruh jajaran komando. Pangdam dalam reorganisasi organisasi ABRI ini langsung berada di bawah Panglima ABRI. Sejalan dengan itu, Panglima ABRI juga memiliki komando langsung kepada Kotama AD lainnya, yaitu Kostrad dan Kopassus. Oleh karena itu, di era ini kerap kah operasi militer melibatkan pasukan-pasukan dari Kostrad dan Kapassus dengan perintahnya langsung dari Panglima ABRI, dan Kodam hanya memfasilitasi. Kenyataan ini kemudian dikenal dengan nama pasukan BKO (bawah kendali operasi). Di era ini, Papua juga tertutup bagi media sehinggabanyak operasi yang dilancarkan oleh militer tidak diketahui oleh orang luar. Robin Osborne menyebut keadaan ini sebagai perang rahasia Indonesia di Papua.

Di awal tahun 1980-an, Kopkamtib mengeluarkan analisis bahwa kekuatan OPM telah mengecil dan terpencar-pencar ke dalam kelompok kecil-kecil dengan senjata yang sangat terbatas. Meskipun demikian, Laksusda Irian Jaya kala itu juga melihat gerakan kelompok-kelompok OPM itu kembali mulai aktif setelah menerima pukulan telak sepanjang tahun 1977-1978. Gerakan OPM itu aktif sepanjang daerah perbatasan dengan PNG. Antara bulan Maret dan Juni 1984, pasukan dari Kopasandha (Kopassus) mulai melakukan penyusupan ke daerah-daerah sekitar perbatasan.

Aksi pasukan baret merah ini adalah dengan melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang dicurigai. Osborne mencatat gerakan pasukan ini sangat menakutkan penduduk sekitar perbatasan karena perlakuan buruknya terhadap penduduk. Akibatnya, ratusan orang melarikan diri ke daerah PNG karena takut. Pengungsian ke PNG di tahun 1984 ini kian banyak ketika Suku Muyu di Mindiptana, Woropko, dan Merauke juga masuk ke PNG. Pengungsian Suku Muyu ini dipicu oleh kehadiran pasukan ABRI, yaitu intelijen Kopassus di daerah itu untuk mencari anggota OPM setelah ter adinya penyerangan pos ABRI di desa Kanggewot dan Kakuna tanggal 11-12 April 1984. Gerakan suku Muyu ini kemudian juga diikuti oleh penduduk dari daerah lainnya, yaitu dari Jayapura, Wamena, Sorong, Mimika (Amungme), Manokwari, dan Fak-fak. Seluruh pengungsi asal Papua yang masuk ke PNG ini diperkirakan mencapai 10.000 orang. Sementara Yafet Kambai mencatat dari seluruh pengungsi itu hanya sekitar 7.500 berhasil masuk ke PNG dan 1.900 orang berdiam diri di hutan-hutan sekitar perbatasan. Seluruh pengungsi ini ditempatkan di kamp East Aswin dan Western Province, PNG.

Gerakan pengungsian ke PNG selain faktor operasi militer di daerah perbatasan itu, juga disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan, yaitu aktifnya OPM di daerah itu, munculnya rasa kecewa karena macetnya pembangunan, banyaknya operasi intelijen, dan masuknya arcs transmigrasi secara besar-besaran ke Papua terutama di sekitar daerah perbatasan. Transmigrasi yang di dalamnya juga masuk keluarga ABRI dan para pensiunan ABRI kian membuat orang takut sekaligus merasa tanahnya dirampas. Para purnawirawan ABRI yang ikut dalam pemukiman transmigrasi sekaligus menjadi Intel Kodam dalam mengawasi daerah itu. Daerah daerah transmigrasi ini seperti di Arso dan Koya atau di beberapa daerah di Merauke dijadikan pula sebagai daerah penyangga bagi OPM dan memudahkan ABRI untuk melakukan patroli di daerah itu.

Pengungsian ke PNG di tahun 1983-1984, juga dipicu oleh banyaknya terjadi penangkapan-penangkapan di kota-kota Papua, terutama Jayapura oleh intelijen Kopasandha. Mereka yang ditangkap ada 20 orang yang berasal dari Uncen dan pegawai Gubernuran Irian Jaya. Salah seorang dari mereka adalah Arnold Ap yang menjabat sebagai Kepala Museum Antropologi Uncen. Penangkapan ini menimbulkan keresahan di Jayapura. Akibatnya, banyak dari para mahasiswa Uncen dan pegawai di pemerintah daerah lari ke PNG. Bahkan di Jakarta, tiga orang sahabat Amol Ap yang memprotes penangkapan dan pembunuhan Arnold oleh Kapassus ke DPR-RI terpaksa meninggalkan Jakarta.

Setelah pelarian besar-besaran ke PNG tahun 1984 ini, gerakan perlawanan dari OPM betul-betul surut. Namun, ABRI yang kian merasa berkuasa atas Papua tidak bisa meninggalkan cars-cars kekerasan untuk menunjukkan dominasinya. Stigma OPM diekploitasi sedemikian rupa untuk melumpuhkan siapa saja yang dianggap menentang Indonesia. Tindakan kekerasan itu kerap pula dipakai setiap menjelang pemilu demi memenangkan Golkar di Papua.

Operasi militer setelah tahun 1984 berjalan secara lebih masif, namun aksi kekerasan dalam operasi itu tidak diketahui oleh publik di luar Papua karena media massa dilarang memberitakannya. Kemasifan operasi itu ditopang oleh kebijakan ABRI yang menjadikan yonif sebagai kekuatan inti tempur dengan pasukan tambahan dari Jakarta atau Makassar dan Maluku yang di-BKO-kan ke kodam. Di tahun 1984 ini, kodam. memilik 6 yonif, 3 di Papua dan 3 yonif di Maluku sebagai hasil penggabungan kodam. Dare 3 yonif di Maluku, satunya adalah Yonif Linud 733 di Ambon yang berkualifikasi para. Yonif dare Maluku ditugaskan melakukan operasi secara bergantian, sementara yonif di Papua melakukan operasi sepanjang tahun di bawah kendali korem.

Papua sebagai daerah operasi, satuan intelijen kodam dan jajarannya memegang peranan yang besar untuk menghancurkan gerakan yang disebut separates. Oleh karena itu, peranan intelijen dan operasi kontra intelijen selalu aktif sepajang tahun. Para intelijen dari kodam dan korem direkrut dari anggota satuan tempur yang memiliki naluri intelijen dan kemudian dilatih 3 sampai 10 hari sebelum diterjunkan mengumpulkan informasi. Selain itu, anggota intelijen ini latihan sambil bertugas bersama dengan intelijen tempur yang datang dari Kopassus.

Operasi-operasi di masa ini adalah Operasi Gagak I (1985-1986) yang dipimpin oleh Pangdam Mayjen H. Simanjuntak. Dalam operasi ini, pasukan operasi dibagi ke dalam sektor A di perbatasan, B di tengah dan C kepala burung dengan komando Korem masing-masing. Danrem adalah komandan sektor operasi. Kodim menjadi subsektor dengan Dandim sebagai Dansubsektor. Titik tekan operasi adalah teritorial dengan didukung oleh operasi intelijen dan tempur serta kamtibmas. Sektor Al meliputi daerah Kodim 1701/Jayapura, yaitu Membramo, Arso, Wares. Senggi, Kemtuk dan Demta. Pasukan yang dikerahkan di daerah ini adalah Yonif 733/ BS, satu kompi dari Yonif 751, 9 tim intelijen, aparat teritorial setempat serta dibantu oleh 2 SSK Wanra. Sementara A2 meliputi daerah Kodim 1702/Wamena dengan kekuatan pasukan dari 1 regu Yonif 751, 2 peleton Kilipur-4/Diponegro, 2 peleton Senzipur 10 serta pasukan teritorial setempat berserta 2 SST wanra/hansip. A3 adalah daerah Kodim 1707/Merauke dengan sasaran utama adalah desa Mendiptana dan Waropko. Pasukan yang ditedunkan di daerah ini adalah 1 kompi Yonif 751,1 peleton Zipur 4/Diponegoro, I peleton Denzipur 10, dan aparat teritorial yang dibantu oleh 2 SST wanra/hansip.

Daerah operasi sektor B adalah meliputi daerah Korem 173/PVB, dengan hot spot operasi di Nabire. Sasaran utama adalah Enarotali dan Kebo, Ilaga. Operasi ini bertujuan memburu pimpinan OPM, yaitu Daniel Kogoya, Tadius Yogi, dan Simon Kogoya. Pasukan yang dikerahkan ke daerah ini adalah 1 pleton Yonif 753,1 peleton Zipur 4/Dip dan Apter setempat dan dibantu oleh 2 SST hansip/wanra.

Sektor C adalah daerah Fak-fak dengan fokus operasi di daerah C3, yaitu daerah kompleks Tembagapura, Agimuga, dan Timika. Pimpinan OPM yang hendak dikejar di daerah tambang PT Freeport ini adalah Vicktus Wangmang dengan mengerahkan pasukan dari Yonif 752 dengan kekuatan 2 kompi dibantu Apter dan 2 SST hansip/wanra. Dalam Operasi Gagak I ini, Kodam mencatat 14 orang yang diduga OPM berhasil dibunuh dan 8 orang ditangkap dengan menyita 2 pucuk senjata.

Memasuki tahun 1986 operasi ini dilanjutkan Pangdam Mayjen Setiana dengan sandi Operasi Gagak II (1986-1987) dengan tugas pokok penghancuran GPK. Titik tekan operasi adalah operasi teritorial dan intelijen untuk memisahkan GPK dari rakyat serta melakukan deteksi loyalitas rakyat terhadap pemerintah. Operasi intelijen melakukan penggalangan agar loyalitas rakyat meningkat. Operasi tempur terus dijalankan dengan menggelar patroli untuk mengejar dan menghancurkan. Operasi dilancarkan dengan tetap membagi daerah operasi ke dalam 3 sektor. Pasukan yang dilibatkan dalam Operasi Gagak II ini adalah seluruh pasukan organik tempur dan teritorial Kodam VIII/ Trikora. Serta pasukan BKO dari Satgas Yonif321/Kostrad, 6 Tim Intelpur Kostrad, I Kompi Yonzipur/Dip, 1 Kompi Yon Zipur/ Brawijaya, satuan dari TNI AL dan AU serta Penerbad. Selama operasi ini, ABRI melaporkan 21 orang berhasil dibunuh, 5 ditangkap dan menyerah 12 orang dengan menyita 13 pucuk senjata.

Ketika Mayjen Wismoyo Arismunandar menjadi Pangdam Trikora digelar operasi dengan sandi Operasi Kasuari 01 (1987-1988), yaitu Juni 1987 sampai Mei 1988 dengan tugas utama menghancurkan GPK secara fisik, terutama di sekitar daerah perbatasan. Selain itu, operasi juga ditekankan di Kabupaten Jayapura, Paniai, Fak-fak dan Biak. Perkiraan ABRI waktu ini kekuatan OPM hanya 222 orang dengan 14 pucuk senjata campuran. Akan tetapi, operasi digelar dalam 3 sektor dengan Danrem tetap sebagai komandan. sektor. Untuk daerah subsektor Al yang meliputi perbatasan di Kabupaten Jayapura dikerahkan pasukan dari Satgas Yonif 321/ Kostrad, Satgas Patimura II, 2 peleton Yonif 751, tim Yonif 752, tim analis Kopassus, tim Intelpur Kostrad, Satgas Intel Laksusda, satu peleton Kizipur 4/Diponegoro, I kompi Zipur 5/Brawijaya dengan dibantu 4 SSK wanra sebagai TBO. Sementara untuk Subsektor A2, Wamena dikerahkan 1 Ton Yon 751, 1 Ton Zipur 5/Brawijaya, 1 tim Intelpur Kostrad, 1 Ton Plus Satgas 642/Tanjungpura dan dibantu. SST wanra. Sementara di sector yaitu Merauke dikerahkan pasukan 1 Ton Yonif 751, dan 1 Ton Zipur 5/Brawijaya, Satgas Intel Laksusda dan Tim Intelpur Kostrad dan 2 SST wanra.

Di daerah operasi subsektor Bl, Nabire sasaran adalah Enarotali dan Sugapa, dengan mener unkan pasukan dari Yonif 753, Intel Laksusda, Kizipur 4/Diponegoro, peleton Intelrem 173, Ru Marinir, 1 peleton Kopaskhas AU, I Tim Khusus Kodim Nabire dan 2 SSK wanra. Kampung yang menjadi sasaran adalah Kampung Tagitakaida, Seruai, Kampung Swaipak, Ampobukar, Supriori dan Swainober, Biak Barat. Selain itu juga di desa Hitadipa, Kecamatan Komopa, Kecamatan Sing, Desa Sapolinik, Kecamatan Sinak dan Lereh, Nabire. Begitu. juga Desa Tamakuni, Waropen. Pimpinan OPM yang dikejar di daerah ini adalah Tadius Yogi dan Simon Kogoya.

Sementara itu di sektor C, pasukan dikonsentrasikan untuk patroli tempur dan penjagaan areal PT Freeport serta Kecamatan Agimuga dan kampung Jila. Pasukan yang dikerahkan adalah berasal dari Yonif 752 satu kompi, Yonif 753 satu. regu, Ton Intelrem 171, Satgas Intel Laksusda dibantu satu SSK wanra. Semua pasukan di-BKO-kan kepada Kodim 1706/Fak-fak.

Operasi militer ini kemudian dilanjutkan dengan Operasi Kasuari 02 (1988-1989). Operasi ditekankan di sepanjang perbatasan dengan PNG dengan titik tekan operasi teritorial, intelijen dan tempur serta kamtibmas. Operasi teritorial diarahkan untuk membentuk desa binaan agar rakyat berpihak pada ABRI. Pasukan yang bertugas dan sektor operasi sama dengan Operasi Kasuari 01. Kelly Kwalik muncul sebagai pimpinan OPM di daerah Agimuka dan Tembagapura di masa Operasi Kasuari 02 ini.

Mayjen Abinowo setelah meng-gantikan Wismoyo Arismunandar mengelar Operasi Rajawali 01 (1989-1990) dan Operasi Rajawali 02 (1990-1991). Operasi tetap, ditujukan untuk penghancuran OPM di sepanjang perbatasan dengan PNG. Jenis operasi adalah teritoril, intelijen clan tempur secara terpaclu dan serentak. Operasi teritorial diarahkan untuk pembentukan desa binaan dengan tujuan memisahkan rakyat dari GPK. Sementara, operasi intelijen ditujukan untuk mengidentifikasi gerakan GPK dan menetralisir penganihnya. Sementara itu, operasi tempur melancarkan patroli, pengejaran, dan penghancuran. Pasukan yang terlibat dalam operasi ini adalah pasukan organik Kodam VIII ditambah Yonif 621 /Tanjungpura, Yonif 43 1 / Brawijaya, (diganti Yonif 3 1 O/Siliwangi), 1 tim Intelpur Kostrad, Satgas Dampak XX Kopassus, Satgas Udara 3 Heli Puma, 1 Cassa AL, dan 32 Polsek, dan 6 SSK wanra. Di mass inilah, Thomas Wangai mengibarkan Benders Melanesia Barat di Jayapura.

Memasuki tahun 1990, kekuatan OPM diperkirakan hanya 215 orang dengan 69 pucuk senjata campuran. Konsentrasi gerakan berada di sepanjang perbatasan dan sebagian tersebar di Kabupaten Jayapura, Biak, Yapen-Waropen, Fak-fak, Merauke. Pada periode ini, ABRI telah membagai empat kelompok GPK, yaitu politis, orang hutan, rakyat pendukung, dan clandestine yang berada dalam Pemda I dan II, perguruan tinggi, dan SLTA. Pasukan pendukung operasi ini adalah pasukan organik Kodam tambah 32 Koramil rawan, yaitu Satgas Yonif 732 asal Maluku, Satgas Ki. Denzipur 10, 1 Ki. Yon 751, 752, 753, Satgas Intel, dan ditambah pasukan nonorganik, yaitu Satgas Yonif 621, 431, 310, tim Intelpur Kostrad, Den Kopassus, dan Satgas Udara.

Di tahun 1990 inilah, operasi intelijen militer yang berintikan pasukan Kopassus di Papua meningkat. Penangkapan-penangkapan yang disertai pembunuhan terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai OPM kerap terjadi di berbagai tempat.

Operasi jenis ini kemudian terkuak ketika terjadi serangkaian pembunuhan terhadap penduduk kampung di desa Wea, Tembagapura di bulan Oktober sampai Desember 1995. Dalam aksi ini, pasukan dari Yonif 752 melakukan penembakan membabi buts terhadap penduduk yang sedang berada dalam ruma-rumah mereka. Tindakan ABRI itu diawali oleh adanya demontrasi beberapa bulan sebelumnya dengan mengibarkan benders Bintang Kejora. Dalam peristiwa ini, 11 orang terbunuh dan bebeberapa orang lainnya ditangkap dan kemudian disekap, di kontainer milik PT Freeport. Sebagian dari penduduk di kampung-kampung itu juga mengalami penyiksaan. Aksi kekerasan yang sama jugs terjadi di Mapenduma ketika pasukan Kopassus mencoba membebaskan orang-orang yang disandera oleh kelompok Yudas Kogoya dan Kelly Kwalik.

Operasi militer dengan tujuan untuk memburu kelompok yang disebut OPM kembali terjadi di tahun 2003 tepatnya antara bulan April sampai Juni dan kemudian terus bertahan sampai Oktober di Wamena. Dalam operasi pengejaran di tahun 2003 ini diterjunkan pasukan dari Kopassus dan Kostrad yang di BKO-kan kepada Korem 171/Jayapura.

Operasi militer ini diawali oleh terjadinya pembobolan gudang senjata Kodim 1702 Wamena oleh sekelompok orang bersenjata dini hari tangal 4 April 2003. Untuk mengejar kelompok bersejata itulah operasi ke kampung-kampung di seputaran kota Wamena dilancarkan. Pengejaran bahkan sampai ke daerah Kwiyawage. Mereka yang ditangkap di sekitar kota Wamena ditahan di Kodim dan kemudian mengalami penyiksaan yang luar biasa.

Di kampung-kampung yang dilewati pasukan TNI ini terjadi rangkaian kekerasan terhadap penduduk. Namun, tindakan kekerasan yang luar biasa dilakukan pasukan TNI terjadi di Kwiyawage. Kampung-kampung yang diperkirakan berpenduduk hampir 7.000 jiwa ini dihujani tembakan dan rumah-rumahnya dibakar. Ribuan penduduk¬nya yang berhasil ditangkap mengalami penyiksaan dan beberapa orang di antaranya dibunuh. Ketika penulis datang keKampung Kwiyawage ini di bulan September 2003, kampung ini masih kosong dan sisa-sisa pembakaran dan pengrusakan masih terlihat jelas.

Operasi militer yang paling mengejutkan setelah DOM dicabut di Papua adalah tindakan Kopassus di tahun 2001, yaitu membunuh Theis H. Eluay di Jayapura. Pembunuhan itu dilakukan setelah Theis diundang Kopassus ke markasnya di Hamadi, Jayapura. Mayatnya kemudian dibuang di jurang pingir jalan di daerah Koya. Sampai hari ini, pembunuhan Theis ini belum terungkap siapa yang memerintahkcannya. Yang jelas, seorang letkol dan seorang mayor Kapassus divonis oleh Makamah Militer Tinggi III Surabaya sebagai penanggung-jawabnya. Metode pembunuhan terhadap Theis bukanlah metode baru di Papua. Ratusan orang di Papua dibunuh dengan cars seperti itu, baik di kampung-kampung maupun di kota di seluruh Papua.

Sebenarnya ketika memasuki era reformasi politik Indonesia di tahun 1998, OPM tidak berarti lagi secara politik karena tidak memiliki kekuatan senjata yang memadai. Bahkan, para anggotanya terpecah-pecah dan banyak yang bertalian dengan aparat TNI. Maka dari itu ketika menjabat Menkopolkam, SBY menyatakan OPM bukanlah ancaman yang serius. Namun, aksi kekerasan oleh TNI di Papua tidak pernah surut.

DARI TAHUN 2013  SAMPAI SEKARANG, INDONESIA JADIKAN PAPUA SEBAGAI “DAERAH OPERASI INTELIJEN” (DOI) 

Mulai dari tahun 2013 Indonesia ditekan oleh Negera-Negara dan aktifis Hukum dan HAM di tingkat Internasional dari berbagai Forum-Forum di tingkat Internasional Militer Indonesia merubah operasi mereka untuk menghabiskan Bangsa Papua dengan pola dan nama “Operasi Intelijen. Jadi Indonesia jadikan Papua menjadi Daerah Operasi Intelijen (DOI). Saat ini Indonesia melalukan, Operasi Intelijen melalui Makanan dan Minuman di warung-warung dengan mencampurkan dengan racun, Operasi Intelijen melalui Tukang Ojek, Operasi Intelijen melalui penjual dagang keliling, Operasi Intelijen melalui perang suku seperti di Timika dan ditempat-tempat lain. Operasi Intelijen dengan terstruktural dilakukan oleh militer diatas tanah Papua Barat. Operasi lewat kekuatan kuasa gelap, mantra-mantra, jihat, jimad, roh-roh supranatural, roh-roh supra alamiah dengan tujuan untuk membunuh rakyat West Papua.

Sumber: Knpbnews.com 
Share on Google Plus

About suarakolaitaga

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment