By. Arkilaus Baho #
"Capres dan Papua"
Pemilihan presiden Juli 2014 mendatang, antara Prabowo atau Jokowi,
siapapun yang akan berhadapan dengan masalah Indonesia, khususnya Papua.
Dari program nasional yang diusung para capres ini, bagus karena
mengarah kepada kemandirian bangsa/negara. Slogan berdiri diatas kaki
sendiri tak dipungkiri alat kampanye masa kini.
Tanah Papua hanyalah satu dari ikon Indonesia, dari sekian rumitnya masalah negara saat ini. Rumit karena program pembangunan moderen ditata dalam arena globalisasi/kapitalisme. Presiden terpilih akan membangun Indonesia sesuai kebijakan pasar bebas. Artinya, mereka tetap bawa hamburger kasi makan orang Papua, bukan menanam keladi atau sagu sebagai makanan asli disini.
Makanan bernama pembangunan globalisasi, disuling lagi kedalam paket otsus, suatu konsep gagal yang ujung-ujungnya mengubur peradaban Papua dan memasifkan paket pasar bebas. Infrastruktur ditilik sebagai bagian mempercepat proses industrialisasi. Mereka bilang semakin banyaknya investasi, perlu jalur transportasi, agar ada peningkatan ekonomi mendongkrak ketertinggalan Papua.
Gerombolan Globalisasi
Maksud ketertinggalan versi globalisasi bahwa semua dunia termasuk Papua harus sama rata. Semua harus makan hamburger sama dengan Amerika dan lainnya. Konsekwensinya, masyarakat adat harus dipinggirkan dari budaya mereka, tanah dan hutan, air. Negara industri bawa konsep moderen tetapi merusak, menghancurkan tatanan yang ada, bagi gerombolan globalisasi, hal yang mutlak terjadi bila masyarakat ingin maju.
Cara-cara gerombolan diatas, diusung para capres dengan slogan kemandirian bangsa. Itu sebenarnya penipuan/halusinasi/retorika belaka dari para capres. Sebab roda pembangunan tentu memberi ruang utama kepada pasar bebas yang mandiri, bukan rakyat/negara. Harga semen di Papua mahal, bukanya bangun pabrik disini, malah jalur pengiriman semen dari luar Papua yang dipikirkan. Tra masuk akal dari segi efisiensi maupun ekonomis. Tapi, kalau menguhungkan Papua via transportasi cepat-murah dan memadai dengan maksud industrialisasi berkembang pesat disini.
Faktor ekonomi dan politis pengaruhi kebijakan siapapun yang terpilih. Faktor ekonominya, bagaimana produk dari eropa/amerika dengan mudah masuk Papua. Bagimana agar industri farmasi dari amerika mudah menjual obat ke Papua. Tentunya, infrastruktur mempermudah ribuan freeport datang. Jadi, produk luar itu baik sehingga perlu didatangkan dengan membuka lebar-lebar jalan mereka.
Presiden Boneka
Mereka yang menjalankan kepentingan luar kedalam kepentingan setempat disebut komprador. Presiden terpilih Indonesia nantinya menjalankan agenda pasar bebas. Menolak pun tak akan. Hanya bisanya menghubungkan daerah lain di Indonesia dengan peradaban globalisasi. Sama dengan agama samawi disebarkan keseluruh dunia, dan kini kaum agama punya suara laku di ajang pemilu.
Jarang ada capres yang berkunjung ke kepala suku/rumah adat dan komunitas asli di Indonesia. Paling banyak label agama dikunjungi. Orang-orang Indonesia sudah membawa birokrasi/simbol Tuhan kedalam politik praktis dan membudaya. Kesucian dianggap hal biasa di Indonesia sehingga mudah dijarah, dirampok. Sama persis freeport rusak gunung suci, air kehidupan di Timika.
Mau pemilu atau tidak, ganti rezim presiden atau tidak, imperialisme jawaranya. Seribuan presiden berganti di Indonesia pun, tetap sama saja. Penghancuran terjadi atasnama globalisasi pembangunan. Tanah Papua seharusnya di kesampingkan dari roda pasar bebas dengan cara menjaga hutan primer demi suplai 02 bagi pernafasan mahluk hidup dunia yang kini terancam akibat co2.
Capres dan Papua, jangan babat hutan dengan dalih bisa buat hutan buatan. Manusia dan alam suatu keterkaitan sejati, maka hutan buatan hanya ada manusia buatan alias peradaban palsu. Ulah dari gerombolan globalisasi, jadilah Papua sebagai ikon kepalsuan di Indonesia.
Tanah Papua hanyalah satu dari ikon Indonesia, dari sekian rumitnya masalah negara saat ini. Rumit karena program pembangunan moderen ditata dalam arena globalisasi/kapitalisme. Presiden terpilih akan membangun Indonesia sesuai kebijakan pasar bebas. Artinya, mereka tetap bawa hamburger kasi makan orang Papua, bukan menanam keladi atau sagu sebagai makanan asli disini.
Makanan bernama pembangunan globalisasi, disuling lagi kedalam paket otsus, suatu konsep gagal yang ujung-ujungnya mengubur peradaban Papua dan memasifkan paket pasar bebas. Infrastruktur ditilik sebagai bagian mempercepat proses industrialisasi. Mereka bilang semakin banyaknya investasi, perlu jalur transportasi, agar ada peningkatan ekonomi mendongkrak ketertinggalan Papua.
Gerombolan Globalisasi
Maksud ketertinggalan versi globalisasi bahwa semua dunia termasuk Papua harus sama rata. Semua harus makan hamburger sama dengan Amerika dan lainnya. Konsekwensinya, masyarakat adat harus dipinggirkan dari budaya mereka, tanah dan hutan, air. Negara industri bawa konsep moderen tetapi merusak, menghancurkan tatanan yang ada, bagi gerombolan globalisasi, hal yang mutlak terjadi bila masyarakat ingin maju.
Cara-cara gerombolan diatas, diusung para capres dengan slogan kemandirian bangsa. Itu sebenarnya penipuan/halusinasi/retorika belaka dari para capres. Sebab roda pembangunan tentu memberi ruang utama kepada pasar bebas yang mandiri, bukan rakyat/negara. Harga semen di Papua mahal, bukanya bangun pabrik disini, malah jalur pengiriman semen dari luar Papua yang dipikirkan. Tra masuk akal dari segi efisiensi maupun ekonomis. Tapi, kalau menguhungkan Papua via transportasi cepat-murah dan memadai dengan maksud industrialisasi berkembang pesat disini.
Faktor ekonomi dan politis pengaruhi kebijakan siapapun yang terpilih. Faktor ekonominya, bagaimana produk dari eropa/amerika dengan mudah masuk Papua. Bagimana agar industri farmasi dari amerika mudah menjual obat ke Papua. Tentunya, infrastruktur mempermudah ribuan freeport datang. Jadi, produk luar itu baik sehingga perlu didatangkan dengan membuka lebar-lebar jalan mereka.
Presiden Boneka
Mereka yang menjalankan kepentingan luar kedalam kepentingan setempat disebut komprador. Presiden terpilih Indonesia nantinya menjalankan agenda pasar bebas. Menolak pun tak akan. Hanya bisanya menghubungkan daerah lain di Indonesia dengan peradaban globalisasi. Sama dengan agama samawi disebarkan keseluruh dunia, dan kini kaum agama punya suara laku di ajang pemilu.
Jarang ada capres yang berkunjung ke kepala suku/rumah adat dan komunitas asli di Indonesia. Paling banyak label agama dikunjungi. Orang-orang Indonesia sudah membawa birokrasi/simbol Tuhan kedalam politik praktis dan membudaya. Kesucian dianggap hal biasa di Indonesia sehingga mudah dijarah, dirampok. Sama persis freeport rusak gunung suci, air kehidupan di Timika.
Mau pemilu atau tidak, ganti rezim presiden atau tidak, imperialisme jawaranya. Seribuan presiden berganti di Indonesia pun, tetap sama saja. Penghancuran terjadi atasnama globalisasi pembangunan. Tanah Papua seharusnya di kesampingkan dari roda pasar bebas dengan cara menjaga hutan primer demi suplai 02 bagi pernafasan mahluk hidup dunia yang kini terancam akibat co2.
Capres dan Papua, jangan babat hutan dengan dalih bisa buat hutan buatan. Manusia dan alam suatu keterkaitan sejati, maka hutan buatan hanya ada manusia buatan alias peradaban palsu. Ulah dari gerombolan globalisasi, jadilah Papua sebagai ikon kepalsuan di Indonesia.
By. Arkilaus Baho
Mantan Ketua Umum Pusat Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
Kompasiana/alkilaus
Sumber : www.umaginews.com
Blogger Comment
Facebook Comment