Ilustrasi. Ketika anak Papua di Adhi Luhur Nabire menampilkan drama. Foto: Ist. |
Yogyakarta, MAJALAH SELANGKAH -- Papua adalah tanah yang sangat
kaya akan keragaman budaya. Salah satunya, bahasa dan sastra Papua.
Kita tahu, ada kurang lebih 250 suku bangsa sesuai dengan data yang
sejauh ini telah dikumpulkan.
Kontak orang Papua dengan dunia luar di luar lingkungan budayanya lambat laun menyebabkan terjadinya perubahan pola pikir secara sadar maupun tidak.
Ada dua bagian besar dari kebudayaan dapat berubah. Pertama, Bagian dalam atau inti dari suatu kebudayaan (Covert Culture). Kedua, bagian luar (Overt Culture).
Bagian dalam budaya dapat beruapa (1) Sistem nilai-nilai budaya, (2) Keyakinan-keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, (3) Proses sosialisasi individu warga masyarakat.
Sementara Overt Culture meliputi (1) Kebudayaan fisik seperti alat-alat dan benda-benda yang berguna, (2) Ilmu Pengetahuan, (3) Tata Cara, (4) Gaya hidup, (5) Rekreasi yang berguna dan memberikan kenyamanan.
Untuk kali ini, kita fokus ke bahasa daerah. Bila secara jujur kita lihat realita yang ada saat ini, mari jawab, mengapa jumlah penutur bahasa-bahasa daerah di Papua berkurang? Apakah perkawinan campur berpengaruh? Atau, bagaimana pengaruh dari kontak dengan dunia di luar lingkungan budaya? Bukankah benar, saat ini, sistem atau pola pendidikan secara tradisional sudah hilang?
Parahnya lagi, orang Papua masih belum memiliki data yang pasti tentang jumlah penutur dari setiap suku bangsa yang ada di Papua. Kemudian mengenai catatan-catatan etnografi terbaru, tugas siapa?
Kurikulum kontekstual Papua jelas tak ada untuk mengangkat dan memproteksi kebudayaan dan kearifan lokal Papua di masing-masing daerah dalam wahana pendidikan. Walaupun ada, bagaimana dengan bahan ajar untuk itu? Siapa yang meneliti dan siapa yang menulis?
Dan ini memang tak masuk akal. Belum ada peraturan daerah khusus yang mengatur tentang perlindungan dan pengembangan bahasa-bahasa daerah di Papua.
Sepertinya orang Papua diharuskan bangkit, bekerja, dengan keluar dari semua euforia seremonial sosial-politik yang secara periodik tampil ala lakon. Dasar dan fondasi mesti diperbaiki dahulu, bila tidak ingin seperti air di atas daun talas di kemudian hari.
Banyak yang harus dibuat. Dimulai dari diri sendiri dan lingkungan keluarga, setiap orang Papua mesti berperan aktif menyelamatkan dasar hidup dirinya; budaya Papua.
Bagi yang mampu, buat sanggar bahasa daerah di semua kabupaten di tanah Papua. Kita pelajari kembali bahasa. Pemerintah silahkan sponsori pembuatan kamus bahasa daerah. Untuk ini, bentuk dan biayai dan bentuk tim peneliti dan penulis.
Lomba-lomba yang berhubungan dengan bahasa dan sastra asli Papua sudah saatnya ditingkatkan untuk semua jenjang pendidikan. Kurikulum pendidikan tentang muatan lokal daerah sudah harus ada dalam program prioritas pemerintah, dan bukan lagi pemekaran dan uang.
Semua siaran Radio dan Televisi di Papua wajibkan menayangkan tayangan berbahasa daerah masing-masing daerah pada jam-jam tertentu. Penelitian diperbanyak. Catatan-catatan Etnografi terbaru mengenai suku-suku bangsa di Papua sudah harus ada.
Dewan Perwakilan Rakyat sudah harus merancang undang-undang khusus yang mengatur mengenai perlindungan dan pelestaris bahasa suku-suku bangsa di Papua. Setelah semua itu dibuat, baru kita dapat berpikir ada seberkas cahaya harapan di tengah kehancuran budaya kita.
Bila tidak, mari ramai-ramai kita teriak, "Goodbye bahasa daerah!" (Topilus B. Tebai/MS)
Kontak orang Papua dengan dunia luar di luar lingkungan budayanya lambat laun menyebabkan terjadinya perubahan pola pikir secara sadar maupun tidak.
Ada dua bagian besar dari kebudayaan dapat berubah. Pertama, Bagian dalam atau inti dari suatu kebudayaan (Covert Culture). Kedua, bagian luar (Overt Culture).
Bagian dalam budaya dapat beruapa (1) Sistem nilai-nilai budaya, (2) Keyakinan-keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, (3) Proses sosialisasi individu warga masyarakat.
Sementara Overt Culture meliputi (1) Kebudayaan fisik seperti alat-alat dan benda-benda yang berguna, (2) Ilmu Pengetahuan, (3) Tata Cara, (4) Gaya hidup, (5) Rekreasi yang berguna dan memberikan kenyamanan.
Untuk kali ini, kita fokus ke bahasa daerah. Bila secara jujur kita lihat realita yang ada saat ini, mari jawab, mengapa jumlah penutur bahasa-bahasa daerah di Papua berkurang? Apakah perkawinan campur berpengaruh? Atau, bagaimana pengaruh dari kontak dengan dunia di luar lingkungan budaya? Bukankah benar, saat ini, sistem atau pola pendidikan secara tradisional sudah hilang?
Parahnya lagi, orang Papua masih belum memiliki data yang pasti tentang jumlah penutur dari setiap suku bangsa yang ada di Papua. Kemudian mengenai catatan-catatan etnografi terbaru, tugas siapa?
Kurikulum kontekstual Papua jelas tak ada untuk mengangkat dan memproteksi kebudayaan dan kearifan lokal Papua di masing-masing daerah dalam wahana pendidikan. Walaupun ada, bagaimana dengan bahan ajar untuk itu? Siapa yang meneliti dan siapa yang menulis?
Dan ini memang tak masuk akal. Belum ada peraturan daerah khusus yang mengatur tentang perlindungan dan pengembangan bahasa-bahasa daerah di Papua.
Sepertinya orang Papua diharuskan bangkit, bekerja, dengan keluar dari semua euforia seremonial sosial-politik yang secara periodik tampil ala lakon. Dasar dan fondasi mesti diperbaiki dahulu, bila tidak ingin seperti air di atas daun talas di kemudian hari.
Banyak yang harus dibuat. Dimulai dari diri sendiri dan lingkungan keluarga, setiap orang Papua mesti berperan aktif menyelamatkan dasar hidup dirinya; budaya Papua.
Bagi yang mampu, buat sanggar bahasa daerah di semua kabupaten di tanah Papua. Kita pelajari kembali bahasa. Pemerintah silahkan sponsori pembuatan kamus bahasa daerah. Untuk ini, bentuk dan biayai dan bentuk tim peneliti dan penulis.
Lomba-lomba yang berhubungan dengan bahasa dan sastra asli Papua sudah saatnya ditingkatkan untuk semua jenjang pendidikan. Kurikulum pendidikan tentang muatan lokal daerah sudah harus ada dalam program prioritas pemerintah, dan bukan lagi pemekaran dan uang.
Semua siaran Radio dan Televisi di Papua wajibkan menayangkan tayangan berbahasa daerah masing-masing daerah pada jam-jam tertentu. Penelitian diperbanyak. Catatan-catatan Etnografi terbaru mengenai suku-suku bangsa di Papua sudah harus ada.
Dewan Perwakilan Rakyat sudah harus merancang undang-undang khusus yang mengatur mengenai perlindungan dan pelestaris bahasa suku-suku bangsa di Papua. Setelah semua itu dibuat, baru kita dapat berpikir ada seberkas cahaya harapan di tengah kehancuran budaya kita.
Bila tidak, mari ramai-ramai kita teriak, "Goodbye bahasa daerah!" (Topilus B. Tebai/MS)
Sumber : www.majalahselangkah.com
Blogger Comment
Facebook Comment