Oleh: Hendrikus A.Ondi
SUHU
politik di Tanah Papua kembali memanas sejak Menteri Luar Negeri Amerika
Serikat, Hilarry Clinton, menyatakan tentang perlunya dialog Pemerintah
Indonesia dengan rakyat Papua, menjelang Konferensi Tingkat Tinggi
 ASEAN dan G-7 di Bali Oktober 2011 lalu.
Demikian
halnya, pertemuan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama dengan Presiden
Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono−walaupun tidak khusus menyinggung
persoalan Papua. Toh, publik di Papua yakin, adanya “keprihatinanâ€
Amerika Serikat terhadap situasi politik di Papua. Tampaknya, testimoni
delegasi Papua di depan Kongres Amerika Serikat beberapa waktu
sebelumnya cukup mengusik senator dan politisi negeri Abang Sam.
Sejarah integrasi Papua dengan Republik Indonesia tidak terlepas dari campurtangan
Amerika Serikat. Maka sudah sepatutnya setiap masalah sosial politik di
Papua yang mengancam eksistensi dan hak hidup orang asli Papua
menjadi perhatian Amerika Serikat. Soalnya, pemerintah Belanda tampaknya
masih besikap “malu-malu†atas status politik bekas koloninya.Â
Antara membiarkannya tetap menjadi wilayahnya bersama-sama Suriname dan
Antilen, berdiri sendiri, atau diserahkan ke Indonesia.
Mengingat sejak
Konferensi Meja Bundar tentang penyerahan kedaulatan dari Belanda pada
tahun 1948, Indonesia sudah mengklaim Papua. Hanya lantaran pertimbangan
ekonomi, terutama menguasai sumber daya alam dan pasaran bagi produk
industri serta hegemoni politik di Asia Tenggara, Amerika Serikat
menekan Belanda menyerahkan Papua kepada Indonesia.
Mengapa masalah Papua (perlu) menjadi subyek yang diamati Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)?
Pertama,
penyerahan Papua (Nederlands Nieuw Guinea) kepada Indonesia dilakukan
melalui badan pemerintahan sementara PBB (UNTEA), berdasarkan rancangan
Ellsworth Bunker, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Rancangan yang
kemudian dikenal dengan Bunkers Plan.
Perjuangan di
meja perundingan mengenai soal Nieuw Guinea juga dimainkan oleh Menteri
Luar Negeri Indonesia Subandrio dan Menteri Luar Negeri Belanda Joseph
Luns. Sekretaris Jenderal PBBÂ U Thant mengirim utusan khusus Fernando
Ortiz Sanz bersama timnya. Termasuk  Kofi Annan yang, waktu itu, staf
 junior yang bekerja untuk pemerintah Ghana di PBB.
Bergabungnya
Papua dengan Indonesia merupakan bagian dari permufakatan politik
Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia. Permufakatan yang dilakukan
tanpa menanyai orang Papua sebagai subyek bermasalah. Baik melalui
Persetujuan New York maupun Persetujuan Roma.
Sebagaimana digambarkan sejarawan Belanda Drooglever dalam bukunyaTindakan Pemilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri,
pemerintah Belanda tidak sungguh-sungguh, bahkan terlambat menyiapkan
Nederlands Nieuw Guinea untuk menjadi negara sendiri. Politik etis yang
dicanangkan Van Eechoud dengan mendirikan sekolah Osiba, Batalyon Papua
dan Polisi Papua, sebagai prasarana awal guna berpemerintahan sendiri,
sudah terlambat.
Indonesia yang
merundingkan penyerahan kedaulatan dengan Belanda ke tangannya, dalam
perjanjian Linggarjati, 1949, sudah mengikrarkan Papua sebagai
wilayahnya. Padahal, dalam KMB sudah jelas, wilayah Indonesia merupakan
bekas Hindia Belanda minus Nederlands Nieuw Guinea.
Selain Van
Eechoud, kelompok lain di Belanda malah berpikir mempertahankan Papua,
atau memberi status khusus dalam wilayah kerajaan Belanda. Pertimbangan
yang tidak menguntungkan dan justru akan menambah beban belaka. Belanda
juga mengkhawatirkan nasib warga negaranya di Nieuw Guinea.
Apalagi,
Presiden Soekarno sudah menyerukan operasi Trikora untuk merebut Irian
Barat. Presiden pertama Indonesia ini sudah melancarkan operasi
intelijen, perang urat saraf dan agitasi. Juga mendaratkan pasukan
pengintai dan penyusup di daerah Kepala Burung dan selatan Papua.
Soekarno
memanfaatkan betul situasi perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni
Soviet. Ia menggertak Amerika Serikat dengan mengirim Jenderal A.H.
Nasution ke Moskow mencari bantuan senjata dalam rangka operasi Mandala.
Dibuat gamang oleh rekannya dari Indonesia itu, Presiden Amerika
Serikat John F. Kennedy, dengan berat hati, meminta sekutu setianya di
Pasifik melepas Nieuw Guinea ke tangan Indonesia.
Padahal, sekutu
Amerika Serikat lainnya, Australia, telah siap membantu Belanda untuk
mempertahankan Papua tetap dalam wilayah mereka. Tidak cuma itu, Nieuw
Guinea adalah  wilayah di Pasifik yang sedang diperjuangkan masuk dalam
program dekolonisasi. Belanda dan Australia punya kepentingan
stabilitas politik, ekonomi dan keamanan bila Nieuw Guinea menjadi
negara terpisah−ketimbang bergabung dengan Indonesia yang kelak bisa
menjadi ancaman di Pasifik.
PBBÂ bertanggung jawab atas pelaksanaan Act of Choice yang tidak sesuai dengan prinsip one-people-one-vote. Bagi orang Papua, badan dunia ini tidak becus melaksanakan prinsip self determination yang, seharusnya memberikan kepada penduduk pribumi penentuan masa depan, tanpa tekanan dan intimidasi.
Lembaga UNTEA
yang didirikan untuk melaksanakan proses peralihan Papua pun tidak
independen. Administrator sementara PBB ini telah disusupi para
infiltran Indonesia yang menyertai pasukan UNTEA, asal Pakistan. Menteri
Luar Negeri Indonesia, Subandrio, tidak banyak berperan, ketimbang Adam
Malik dan Sudjarwo Tjodronegoro, Letnan Kolonel Ali Moertopo dan Mayor
Benny Moerdani.
Apalagi,
Presiden Soekarno telah menyatakan konfrontasi terbuka kepada pemerintah
Belanda demi merebut “Irian Barat wilayah Indonesia.†Utusan khusus
Sekretaris Jenderal PBB, Ortiz Sanz yang, bertanggung jawab atas
pelaksanaan Act of Choice akhirnya tidak bisa berbuat banyak daripada menuruti skenario Amerika Serikat dan Indonesia.
Dalam situasi
genting, Amerika Serikat tidak bisa melakukan apa-apa untuk melindungi
sekutunya, Belanda. Kepentingan politik dan ekonomi ternyata lebih
diprioritaskan, ketimbang mengurusi orang Papua yang masih
“terbelakang  dan bodoh.â€
Kini, setiap 1 Desember, ingatan akan proses Act of Choice,
1969 yang, mengantarkan Nieuw Guinea ke tangan Indonesia muncul
kembali. Tak aneh, generasi baru Papua yang bertumbuh di era integrasi
terus mempertanyakan status politik Papua. Apalagi, mereka berhadapan
dengan kenyataan sumber daya alam di negeri mereka dikuras, sementara
manusianya ditelantarkan tak terurus.
Kenyataan yang
kontras dengan “pesan†Soekarno pada para sukarelawannya saat
Operasi Trikora untuk menjadikan rakyat Irian Barat sebagai
“saudaramu, sedulurmu,†yang perlu di-“bina†dan
di-“bangunâ€...â€agar kelak mereka sejajar dengan kita di persada
pertiwi.â€
PBB ternyata
telah mengangkangi prinsip-prinsipnya sendiri mengenai hak penentuan
nasib sendiri yang otentik bagi bangsa-bangsa pribumi yang belum
berpemerintahan sendiri. Karena itu, badan ini juga−tak secara
langsung−bertanggung jawab atas pengurasan sumber daya alam, kerusakan
lingkungan hidup dan budaya Papua saat ini.
Setelah Act of Free Choice,
apakah Republik Indonesia telah melaksanakan kesepakatan yang telah
diatur dalam perjanjian PBB? Bukankah PBB membentuk lembaga keuangannya
yang disebut FUNDWI untuk memajukan kondisi sosial ekonomi orang
Papua−kemudian diterjemahkan Presiden Soeharto dalam Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita) sejak 1969?
Kini semuanya
dipertanyakan kembali. Â Memang ada otonomi khusus bagi Papua sejak
2001. Namun, seperti dimafhumi, pelaksanaannya hanya setengah hati.
Banyak dana otonomi khusus dikucurkan dari pusat, tapi kewenangan
mengelola daerah tetap dikontrol Jakarta. Pengucuran dana pun diatur
oleh pemerintah pusat. Dana-dana itu pun tidak serta merta bisa dipakai
membangun Papua; tidak ada unit kerja untuk mensikronkan proyek pusat
dan daerah. Tapi rakyat Papua sudah kehilangan kepercayaan. Apa mau
dikata?
Pernyataan
Sekretaris Jenderal PBB, Bang Ki Mon, dalam kunjungannya ke Aukland,
Selandia Baru, pada September 2011, tentang perlunya membicarakan
masalah Papua di Dewan Hak-Hak Asasi dan Komisi Dekolonisasi Majelis
Umum PBB, jelas berdampak politis. Mengingat Selandia Baru merupakan
salah satu anggota Forum Negara-negara Pasifik. Negara ini bersama
Australia, Vanuatu, Fiji, New Caledonia, Papua Nugini, Samoa Barat dan
Nauru ikut mendukung perjuangkan Papua. Bang Ki Mon mesti “melunasi
hutang†U Thant kepada orang Papua.
Tak heran,
Sekretaris Komisi A DPR Papua Julius Migomi, mengingatkan pemerintah
pusat dan pemerintah Provinsi Papua untuk tidak meremehkan perkembangan
politik di Tanah Papua. Atau respon Yan C. Warinussy, pengacara dari
Manokwari, tentang belum finalnya status Papua.
Inkonsistensi
dan intervensi pemerintah pusat dengan membelokan ketentuan daerah yang
sudah disepakati DPR Papua dan Majelis Rakyat Papua, justru semakin
memperburuk citra pemerintah Indonesia di mata dunia internasional.
Tarik-ulur peraturan daerah khusus pemilihan gubernur yang
mempersyaratkan orang asli Papua merupakan bukti intervensi pemerintah
pusat terhadap mekanisme legalisasi di daerah.
Kasus Hanna
Hikoyabi, anggota MRP dari unsur perempuan dari Daerah Pemilihan I Tanah
Tabi (Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom) adalah
contoh lain. Nama Hanna dicoret Menteri Dalam Negeri yang terpilih
lagi untuk MRPke-II. Alasan menteri: Hanna tidak loyal kepada negara
kesatuan republik Indonesia. Padahal, esensi dari kebijakan politik
Otonomi Khusus adalah pemberdayaan, perlindungan dan rekonsiliasi.
Tindakan
Menteri Dalam Negeri menunjukkan, tidak ada pemikiran lain untuk
merangkul mereka yang dianggap tidak sejalan sebagai partner potensial
bagi kebijakan pemerintah pusat di daerah. Tanpa disadari tindakan
seperti ini kian menyurutkan citra pemerintah Yudhoyono. Mengingat Hanna
adalah mantan Wakil Ketua II MRP yang terpilih kembali dengan suara
mayoritas−mewakili perempuan Tabi−pada periode ke-II MRP.
Persoalan Papua
mendesak untuk diselesaikan. Pernyataan Presiden Yudhoyono pada
November 2011 tentang rencana dialog pemerintah pusat dengan rakyat
Papua bisa menjadi media untuk menemukenali persoalan hakiki di Papua
dan jalan keluarnya.
Pernyataan
kepala negara di atas merupakan respons atas pertemuannya dengan para
pemimpin gereja di Tanah Papua di Puri Cikeas, Bogor, pada September
2011. Â Niat dialog yang disampaikan para pemimpin gereja merupakan
tindak lanjut dari rekomendasi Koperensi Damai Papua yang
diselenggarakan Jaringan Damai Papua. Forum yang digagas Neles Tebay dan
Muridan S. Widjojo dan rekan-rekan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Jakarta.
Dalam
perspektif di atas, tepatlah pernyataan Sekretaris Jenderal PBB di
Selandia Baru direspons pemerintah Indonesia, Amerika Serikat dan
Belanda yang terlibat dalam proses penggabungan Papua dengan Indonesia.
Walaupun, tentu saja, Â mekanisme, instrumen dan tata kerja di PBB
diatur dalam perjanjian dan traktat internasional. Namun, dalam
perjuangan politik, jalan itu masih memungkinkan.
Oleh: Hendrikus A.Ondi, Penulis adalah Sekretaris Departemen Penelitian dan Pengembangan Sinode GKI di Tanah Papua; anggota Jaringan Damai Papua.
Blogger Comment
Facebook Comment