Kantor Distrik Agimuka. Foto: Ist. |
Jakarta, MAJALAH SELANGKAH -- Mahasiswa Papua asal Mimika di
Jakarta menolak tegas rencana pembentukan daerah otonom baru dari
Kabupaten Mimika, Provinsi yakni Kabupaten Agimuka.
Penolakan disampaikan oleh Ketua Ikatan Pelajar Mahasiswa Kabupaten Mimika, Victor Hiller Tsenawatme atas nama mahasiswa Mimika, khususnya yang berasal dari Distrik Agimuka. Kata dia, mahasiswa Papua asal distrik Agimuga Kabupaten Mimika menolak tegas rencana pemekaran distrik Agimuga menjadi daerah otonom baru.
"Surat yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia tertanggal: Jakarta, 27 Februari 2014 dengan nomor surat: R13/Pres/02/2014 tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan 22 kabupaten/kota itu salah satunya adalah Agimuga. Surat tersebut ditujukan kepada DPRI agar RUU tentang pembentukan kabupaten/kota bisa disidangkan kemudian disahkan yang sifatnya sangat segera," tulisnya dalam keterangan yang diterima majalahselangkah.com, Selasa, (27/05/14).
"Kami melihat kasus perencanaan pembentukan pemekaran distrik Agimuga menjadi wilayah pemekaran dari Kabupaten induk Mimika telah menimbulkan sikap pro dan kontra di berbagai kalangan politisi, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, pejabat pemerintah, kaum intelektual (mahasiswa) Amungme. Mereka hanya memperdebatkan manfaat ataupun kerugian dan daerah adat yang timbul dari banyaknya contoh wilayah yang dimekarkan di Provinsi Papua," tulisnya.
Dijelaskan, tim pemekaran menyatakan bahwa pemekaran akan membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri (elit pemerintah, politis dan ekonomi). Hal ini menyebabkan terjadinya suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi.
"Lebih jauh lagi dipandang dari pihak kontra (Mahasiswa Agimuga) pemekaran distrik Agimuga menjadi kabupaten dipandang merupakan bisnis kelompok elit di daerah yang sekedar menginginkan jabatan dan posisi tanpa memperhatikan dan memperdulikan nasib rakyat," kata mereka.
Mahasiswa lain, Thomas Edison Pigai berpandangan, pemekaran wilayah perlu dilihat dari berbagai aspek. Aspek-aspek yang perlu menjadi perhatian adalah jumlah penduduk, sumber daya manusia (SDM), luas wilayah, kepadatan penduduk, pendapatan penduduk, sumber daya alam (SDA), dan aspek lainnya yang bisa mendukung dimekarkannya suatu wilayah menjadi kabupaten.
"Dilihat dari aspek-aspek di atas, Agimuga tidak dimungkinkan atau tidak layak untuk dimekarkan menjadi kabupaten karena jumlah penduduknya sebesar 701, luas wilayahnya 1772 km2, kepadatan penduduk 0,4 jiwa/km2 dan jarak antar Ibu kota distrik ke Ibu kota kabupaten adalah 87,5 km," kata dia.
Sumber daya manusia di distrik Agimuga, kata dia, rata-rata lulusan SMP dan sebagian kecil lulusan SMA. Sedangkan lulusan perguruan tinggi atau sarjana jumlahnya pun sangat sedikit. Mata pencarian masyarakat setempat adalah petani dan nelayan dengan rata-rata pendapatan per hari Rp5.000,- s..d. Rp. 15.000,- (lima ribu rupiah lima belas ribu rupiah).
Kata dia, "Kabupaten induk Mimika saja tidak mengakomodir putra-putri asli Timika untuk duduk di pemerintahan dan mengatur daerahnya. Malah sebagian besar pegawai negeri sipil di lingkup pemerintahan kabupaten Mimika adalah orang non-Papua dan sebagian lagi saudara-saudara Papua yang lain. Sedangkan pribumi Kabupaten Mimika hanya menjadi penonton di atas tanahnya sendiri. Jika demikian, distrik Agimuga dimekarkan menjadi kabupaten untuk siapa kalau kabupaten induk saja sudah seperti ini?"
Lebih jauh, mahasiswa menilai, semua kebijakan dalam pembangunan di kabupaten Mimika tidak pernah berpihak kepada pribumi setempat, yaitu suku Amungme dan Kamoro. Malah pribumi Amungme dan Kamoro dijadikan objek oleh para elit lokal, provinsi, dan pusat untuk kepentingan pribadi dan kelompok semata.
Lebih parahnya lagi, tulis mahasiswa, Kabupaten Mimika dijadikan arena perebutan kekuasaan dengan mengadu domba masyarakat kecil yang tidak tahu dengan konflik-konflik kepentingan yang dibangun oleh elit-elit lokal, provinsi dan pusat.
"Melihat berbagai persoalan di atas, kami Mahasiswa asal Distrik Agimuga kabupaten Mimika Papua menolak dengan tegas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pembentukan Kabupaten Agimuga disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI)," tulisnya.
Mahasiswa menilai, bila distrik Agimuga dimekarkan, maka cenderungnya akan memicu terjadinya konflik sosial atau adu kekuasaan. Fakta ini telah terbukti terjadi di Kabupaten induk Mimika, misalnya kasus konflik antara kelompok dan berbagai konflik lainnya di seluruh tanah Papua khususnya dan pada umumnya di penjuru tanah air. (Yermias Degei/MS)
Penolakan disampaikan oleh Ketua Ikatan Pelajar Mahasiswa Kabupaten Mimika, Victor Hiller Tsenawatme atas nama mahasiswa Mimika, khususnya yang berasal dari Distrik Agimuka. Kata dia, mahasiswa Papua asal distrik Agimuga Kabupaten Mimika menolak tegas rencana pemekaran distrik Agimuga menjadi daerah otonom baru.
"Surat yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia tertanggal: Jakarta, 27 Februari 2014 dengan nomor surat: R13/Pres/02/2014 tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan 22 kabupaten/kota itu salah satunya adalah Agimuga. Surat tersebut ditujukan kepada DPRI agar RUU tentang pembentukan kabupaten/kota bisa disidangkan kemudian disahkan yang sifatnya sangat segera," tulisnya dalam keterangan yang diterima majalahselangkah.com, Selasa, (27/05/14).
"Kami melihat kasus perencanaan pembentukan pemekaran distrik Agimuga menjadi wilayah pemekaran dari Kabupaten induk Mimika telah menimbulkan sikap pro dan kontra di berbagai kalangan politisi, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, pejabat pemerintah, kaum intelektual (mahasiswa) Amungme. Mereka hanya memperdebatkan manfaat ataupun kerugian dan daerah adat yang timbul dari banyaknya contoh wilayah yang dimekarkan di Provinsi Papua," tulisnya.
Dijelaskan, tim pemekaran menyatakan bahwa pemekaran akan membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri (elit pemerintah, politis dan ekonomi). Hal ini menyebabkan terjadinya suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi.
"Lebih jauh lagi dipandang dari pihak kontra (Mahasiswa Agimuga) pemekaran distrik Agimuga menjadi kabupaten dipandang merupakan bisnis kelompok elit di daerah yang sekedar menginginkan jabatan dan posisi tanpa memperhatikan dan memperdulikan nasib rakyat," kata mereka.
Mahasiswa lain, Thomas Edison Pigai berpandangan, pemekaran wilayah perlu dilihat dari berbagai aspek. Aspek-aspek yang perlu menjadi perhatian adalah jumlah penduduk, sumber daya manusia (SDM), luas wilayah, kepadatan penduduk, pendapatan penduduk, sumber daya alam (SDA), dan aspek lainnya yang bisa mendukung dimekarkannya suatu wilayah menjadi kabupaten.
"Dilihat dari aspek-aspek di atas, Agimuga tidak dimungkinkan atau tidak layak untuk dimekarkan menjadi kabupaten karena jumlah penduduknya sebesar 701, luas wilayahnya 1772 km2, kepadatan penduduk 0,4 jiwa/km2 dan jarak antar Ibu kota distrik ke Ibu kota kabupaten adalah 87,5 km," kata dia.
Sumber daya manusia di distrik Agimuga, kata dia, rata-rata lulusan SMP dan sebagian kecil lulusan SMA. Sedangkan lulusan perguruan tinggi atau sarjana jumlahnya pun sangat sedikit. Mata pencarian masyarakat setempat adalah petani dan nelayan dengan rata-rata pendapatan per hari Rp5.000,- s..d. Rp. 15.000,- (lima ribu rupiah lima belas ribu rupiah).
Kata dia, "Kabupaten induk Mimika saja tidak mengakomodir putra-putri asli Timika untuk duduk di pemerintahan dan mengatur daerahnya. Malah sebagian besar pegawai negeri sipil di lingkup pemerintahan kabupaten Mimika adalah orang non-Papua dan sebagian lagi saudara-saudara Papua yang lain. Sedangkan pribumi Kabupaten Mimika hanya menjadi penonton di atas tanahnya sendiri. Jika demikian, distrik Agimuga dimekarkan menjadi kabupaten untuk siapa kalau kabupaten induk saja sudah seperti ini?"
Lebih jauh, mahasiswa menilai, semua kebijakan dalam pembangunan di kabupaten Mimika tidak pernah berpihak kepada pribumi setempat, yaitu suku Amungme dan Kamoro. Malah pribumi Amungme dan Kamoro dijadikan objek oleh para elit lokal, provinsi, dan pusat untuk kepentingan pribadi dan kelompok semata.
Lebih parahnya lagi, tulis mahasiswa, Kabupaten Mimika dijadikan arena perebutan kekuasaan dengan mengadu domba masyarakat kecil yang tidak tahu dengan konflik-konflik kepentingan yang dibangun oleh elit-elit lokal, provinsi dan pusat.
"Melihat berbagai persoalan di atas, kami Mahasiswa asal Distrik Agimuga kabupaten Mimika Papua menolak dengan tegas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pembentukan Kabupaten Agimuga disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI)," tulisnya.
Mahasiswa menilai, bila distrik Agimuga dimekarkan, maka cenderungnya akan memicu terjadinya konflik sosial atau adu kekuasaan. Fakta ini telah terbukti terjadi di Kabupaten induk Mimika, misalnya kasus konflik antara kelompok dan berbagai konflik lainnya di seluruh tanah Papua khususnya dan pada umumnya di penjuru tanah air. (Yermias Degei/MS)
Sumber : www.majalahselangkah.com
Blogger Comment
Facebook Comment