Pastor John Djonga di atas sepeda motor
siap bertugas menemui warga Wamena,
Papua yang dirundung masalah.
|
West Papua - Kasus kekerasan di Papua belum juga surut. Dalam beberapa bulan
belakangan ini, penembakan terhadap warga sipil mau pun militer kembali
terjadi. Di tengah situasi politik dan keamanan yang tak menentu, John
Djonga melepas jubah pastornya. Ia ikut berjibaku bersama warga Papua
memperjuangkan Hak Asasi Manusia.
Kampung kecil Hupeba terletak sepuluh kilometer dari pusat Kota
Wamena, Jayawijaya, Papua. Pastor John (sapaannya) tinggal di sebuah
rumah sederhana papan. Di tepi Sungai Baliem dan dikelilingi pegunungan.
Udara pagi yang menusuk tulang, tak menghalangi lelaki Pastor John
memeriksa pekarangan yang ditanami aneka pohon. Ia juga berternak ayam
dan ikan.
Pekarangan di belakang rumah Pastor John hampir setengah lapangan
sepak bola. Areal itu dulunya tak terawat, kini dijadikan kolam ikan,
sebagian ditanami pepohonan dari tanah Jawa, seperti pohon Naga. Kalau
kelak berbuah bisa dikembangkan masyarakat setempat yang selama ini
hanya mengandalkan perkebunan ubi, singkong dan padi.
“Pohon naga. Kelihatan subur. Saya pesan ini dari Jawa untuk dicoba.
Kalau jadi, bagus. Kelihatan tumbuhnya bagus. Naga ini, tumbuhnya sangat
bagus. Jadi saya coba tanam sekitar 50 pohon,” kata Pastor John.
Pastor John baru setahun tinggal di sini sebelum pindah dari
Kabupaten Biak. Keberadaannya sebagai pemuka agama tak hanya memberi
ceramah, tapi kerja nyata untuk masyarakat sekitar, jelas tetangga yang
saat itu bertamu, Damianus Wetapo.
“Peternakan itu sudah mulai seperti perikanan. Pater sendiri sudah
memberikan itu buat percontohan, buat kolam ikan. Sebenarnya bagi
masyarakat di sini, sangat beruntung akan kehadiran Pastor John di sini.
Banyak kegiatan, terutama menyangkut pembinaan kepada kelompok umat,
terutama pemuda. Kelompok ibu-ibu,” tambahnya.
Di usia yang menginjak 54 tahun, Pastor John sudah menghabiskan
setengah hidupnya di Bumi Cendrawasih. Berpindah dari satu desa ke desa
yang lain memberikan pengharapan kepada masyarakat. Sosoknya dikenal
peduli persoalan kemanusiaan. Berkat sepak-terjangnya ia mendapatkan
penghargaan HAM, Yap Thiam Hien tahun 2009.
Setelah selesai memeriksa tanaman dan ternaknya, lelaki asal Flores,
Nusa Tenggara Timur itu menghidupkan sepeda motor. Bersiap ke Kota
Wamena membela kasus para pedagang buah pinang yang tersingkir. Orang
Papua memiliki kebiasaan mengunyah buah pinang, mirip seperti kebutuhan
minum air putih setiap hari.
“Ada sekitar 30 mama janda yang jual pinang, mengeluhnya satu saja:
Pater, kenapa ini kami baru jual satu kilogram pinang, tetapi kenapa
pendatang ini, yang pengusaha besar, tapi mereka juga jual pinang. Ini
kami sulit bergerak, karena modalnya ada, kadang tidak. Lalu kami mau
apa?,” tuturnya.
Berjaket hitam dan celana pendek Pastor John meluncur dengan sepeda
motor sport kesayangannya. Di tengah perjalanan, ia sempat cerita
tentang aktivitasnya membela warga kampung Hupeba. Kata dia pihak TNI
selalu awasi gerak-geriknya.
“Mereka sudah pantau kegiatan saya setiap hari. Mereka suka tanya
dengan anak-anak yang tinggal bersama saya. Kalau buat pertemuan itu,
tentang apa? Jadi seperti dulu mereka memantau saya,” ceritanya.
Diancam dibunuh
Tahun 2007, saat berjibaku dengan warga di perbatasan, Kabupaten
Keerom, lelaki bertumbuh tambun ini pernah mendapat ancaman dari aparat
militer. Ia akan dikubur di kedalaman 700 meter!.
Sebabnya, Pastor John kerap menyuarakan hak-hak warga setempat yang
terintimidasi dengan penyisiran aparat militer yang mencari anggota OPM
dengan senjata lengkap. Ia sempat protes kepada militer karena pernah
salah tembak warga sipil hingga tewas.
“Di sana juga saya berhadapan dengan cara pandang militer, polisi,
yang sampai saat saya juga dituduh Pastor OPM. Tapi sudah, saya pikir,
bagaimana supaya OPM dan TNI tidak terjadi serang menyerang, bunuh
membunuh, tembak-menembak, maka pendekatan pastoral yang saya pakai.
Walau pun TNI atau OPM-nya dari Islam, tapi ketika kita omong tentang
kemanusiaan, saya pikir, tidak ada batas lagi,” tegasnya.
Setibanya di Kota Wamena. Di tepi jalan perempuan setempat— yang
disebut mama-mama— penjual buah pinang berbaris di depan meja papan
dagangan mereka. Tak jauh dari sana pertokoan besar menjual buah serupa.
Pastor John menghampiri salah satu dari pedagang, Selira Wenda.
“Saya Pater John, yang kali lalu suruh Lidia Seiep, Dorkas Kossay
untuk cek mama-mama. Apa perasaan mama-mama selama ini? Ada dukungan
dari pemerintahkah jual pinang ini? Terus kami kumpulin itu tanya nanti
kita mau ketemu dengan DPR. Ngomong saja. Jangan takut. Menurut mama
bagaimana?” ucapnya.
Selira menjawab, ”Sekarang mereka, ruko-ruko itu banyak juga. Tapi
mereka tak tahu, kami ini orang Papua, tak beri bantuan. Kita maunya
dikasih bantuan, kasih modal saja boleh…”
Kedatangan Pastor John mengundang perhatian para pejalan kaki. Di
antaranya, John Wenda, “Tak pernah ada bantuan dari pemerintah. Ini
usaha ibu-ibu, bawa sayur, kayu, pinang, ini untuk biaya anak di
Jakarta, Jayapura, di mana-mana. Ini usaha ibu ini sampai 2-3
juta/bulan, itu untuk biaya sekolah anak lewat hasil pinang dan sayur.
Jadi, orang-orang pejabat di sini itu berhasil karena hasil-hasil
pinang, babi, sayur dan ubi. Jadi pemerintah sini tak pernah bantu. Jadi
masyarakat kecewa.”
Tersingkirnya pedagang pinang setempat oleh pendatang adalah potret
kegagalan pemerintah daerah mensejahterakan warganya. Di balik
keindahan dan kesuburan alam Wamena kehidupan warganya masih terjerat
kemiskinan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) lebih dari seperempat warga
di sana atau sekitar 15 ribu jiwa tak bisa memenuhi kebutuhan hidup
dasar seperti makan, rumah dan pekerjaan.
Bangkitkan kesadaran warga
Belasan orang duduk melingkar di ruang tamu rumah Pastor John. Saat
itu, ia mengumpulkan jajaran pimpinan jemaat Gereja dari pelbagai
kampung . “Kita saat ini mengalami krisis kepemimpinan. Dalam adat itu
ada krisis kepemimpinan. Dalam pemerintahan ini, lebih jahat. Sekarang
ini makin ramai korupsi. Hak-hak rakyat dirampas…,” ucapnya.
Jelang pemilihan bupati dan wakil bupati Wamena pada Kamis esok
(19/9-red), Pastor John mengingatkan kepada jajaran pemimpin jemaat
untuk tak memilih politikus busuk atau yang memiliki rekam jejak
bermasalah seperti kasus korupsi.
Menurut salah satu pemimpin jemaat dari kampung Kurima, Didimus
Seiep, cara penyampaian ceramah Pastor John lebih mudah dimengerti,
lantaran menyentuh persoalan yang dihadapi masyarakat.
“Kasus di kampung itu, seperti tadi. Kehilangan kepemimpinan seperti
tadi. Dulu kepemimpinan di sini ada kepala suku. Wam, itu kesuburan.
Kemudian ada kepala suku perang. Tapi di dalamnya ada urus kebun. Ini
itu. Tapi sekarang itu, orang-orangnya ada. Hanya saja, dia sendiri tak
sadar tugasnya,” imbuhnya.
Pesan itu merupakan bahan khotbah untuk disampaikan ke seluruh penduduk kampung melalui ibadah Mingguan.
Selama lebih dari 25 tahun hidup di Papua, Pastor John menilai tak
ada perubahan yang berarti bagi kesejahteraan warga. Otonomi Khusus
Papua dengan dana belasan triliun rupiah tak berdampak kepada perbaikan
pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan dan perekonomian. Ia
mencurigai dana tersebut dikorupsi, seraya berharap Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menyelidiki.
“Di Papua ini, sistem pemerintahan, ada banyak orang yang jadi
pejabat, atau bupati, tapi mereka mengelola pemerintahan itu seperti
pemerintahan adat. Dan ini banyak korupsinya. Mungkin saja, mereka
korupsi bukan untuk kepentingan pribadi. Tapi untuk bagi-bagi masyarakat
datang minta. Tapi menurut saya, pemerintahan seperti itu ya harus
cepat ditanggapi oleh pemerintah pusat, provinsi. Bahwa ini bukan
pemerintahan adat. Ini pemerintahan Republik Indonesia,” ungkap Pastor
John.
Selain menyoroti persoalan korupsi di pemerintahan daerah, pekerjaan
rumah Pastor John lainnya berupaya mengembalikan kesadaran kritis
warga yang trauma terhadap operasi militer selama beberapa dekade. Ia
mulai merintis Papuan Voices, sebuah kelompok anak muda Papua yang
peduli dengan persoalan kesejahteraan warga.
“Cara melawan dengan panah, dengan tombak, dengan senjata, kita coba
supaya masyarakat itu, bisa mengunakan pena untuk menginvestigasi,
membuat laporan, tulisan. Itu yang menurut saya lebih penting. Dengan
melihat ketidakadilan itu dengan cara menulis.
Kini, usia Pastor John tak lagi muda. Salah satu koleganya Pendeta
Benny Giay menilai belum ada yang bisa menggantikan posisinya sebagai
pemuka agama sekaligus pejuang HAM.
“Dia itu pastor yang saya pikir berbaur dengan umat. Dan itu menurut
saya Pastor yang ideal. Pastor yang tenggelam dalam rawa-rawa
penderitaan umat. Bisa kasih tunjuk masyarakat, mari kita keluar. Nah,
dia ada di situ. Saya pikir Pastor John ini masih ada energi sisa. Tapi
kami, dan yang lain-lain sudah mulai turun, sudah aus, sudah capek. Tapi
pertanyaan saya ke Mas. Mas tolong tanya dia itu, masih ada energikah?
Kalau ada itu, bagaimana bagi-bagi ke yang lain-lain?,” katanya.
Pastor John menimpali, ”Sebenarnya energi itu bukan tidak bisa
hilang. Tapi makin hari, kita makin berusia lanjut. Tapi sampai saat ini
saya merasa energi itu masih ada. Energi supaya masyarakat bisa hidup
tenang, aman, di atas tanah mereka sendiri. Karena itu, saya bekerja.
Meneguhkan mereka.”
Sumber: KBR68H
0 komentar :
Posting Komentar