Foto Ilustrasi (Sumber: www.google.com) |
Jika orang luar Papua, mati atau kena HIV/ AIDS
karena menggunakan jarum suntik, maka giliran orang Papua, kena HIV/ AIDS, saat
ini karena bermula dari Berpacaran dan Bercinta yang diakhiri dengan melakukan
hubungan seks dengan sarana Teknologi Informasi Handphone [HP].
Pernyataan
berikut ini cukup mewakili apa yang terjadi saat ini, dan cukup memberi
penjelasan atas judul tulisan diatas ini. “Nai tika ko aku kai ma kou ma
enaida toune kitouyoka,
dimi ubai, mana ubai tete bago ena bobiya dani tei ke
tai, ito kouko, kei daka ganeida make mana kei ya kida to uwetai, kouda to
uwetai, epa beu gate kouko, Mee wido dani kodo mogai ma bokai pigai, okeiyaka
ko ena ga te kodoya”
[artinya, anak dulu kami kalau mau berhungan badan, kami harus putar
otak, cari kata-kata untuk membujuk mama-mama, kita cari kata-kata dan pikiran
itu seperti kita keliling gunung, butuh waktu cukup makan jam. Tapi, sekarang
dengan hadirnya handphone, gampang tinggal SMS/ telepon, nanti ketemu disini/
atau disitu. Jadi, hati-hati, gunakan HP baik-baik, karena ingat banyak anak
muda yang akan mati karena melakukan perbuatan layaknya suami-istri diluar
pernikahan yang sah]
Pernyataan diatas ini merupakan sebuah ungkapan yang
pernah diungkapkan oleh seorang Bapak bernama Lukas Nawipa, Pegawai BPMK,
Paniai. Ketika penulis menanyakan,
tentang bagaimana seorang suami dan istri melakukan hubungan badan [seks] pada
waktu dulu dengan saat ini? Rupanya, bapak Nawipa yang sehari-harinya bekerja di Kantor BPMK
Paniai di Madi ini tidak pernah luput
untuk mengamati dan membandingkan apa yang pernah terjadi pada
orangtuanya pada masa lalu, dan apa yang dilakukan oleh orang Mee saat ini
dalam hal hubungan badan atau layaknya suami istri.
Sebuah pernyataan yang polos, ini mengindikasi bahwa orang
Mee masih belum mengerti arti pentingnya berpacaran. Contoh lain yang
memotivasi orang Mee melakukan hubungan seks adalah jika dua orang berpacaran
[berdua] jalan di tempat yang jauh dari rumah, maka keluarga pihak perempuan
akan datang minta denda perzinahan, walaupun si perempuan belum mengaku apakah
benar atau tidak, dan belum ada saksi yang menyasikan hal itu. Tetapi, pihak
perempuan, beranggapan bahwa bila jalan sama-sama, maka pasti mereka sudah
melakukan hubungan layaknya suami istri.
Untuk itu, menurut hemat saya perlu membangun pemahan
tentang arti pentingnya berpacaran, untuk apa orang berpacaran? Apa yang harus
diperbolehkan selama pacaran? Apa saja yang tidak boleh dilakukan selama
menjalani pacaran? Apa yang menjadi alasan orangtua melarang berpacaran? Apa
ajaran budaya Mee tentang berpacaran? Dan lebih penting lagi adalah apa dampak
negatif dan dampak positif dari pada pacaran itu sendiri? Dan sebagainya, dan
seterusnya.
Generasi muda suku
Mee [terutama anak-anak sekolah tingkat SLTP dan SLTA], saat ini tidak mengerti
arti dan fungsi pacaran. Tetapi, mereka hanya tahu melakukan praktek
berpacaran. Ini harus [perlu] waspada atas tindakan ini. Jika tidak waspada,
dari sekarang mereka akan kehilangan masa depannya yang gemilang itu.
Tanggal
11 Desember 2010, saya berdiskusi dengan sejumlah siswa, topik diskusi tentang
pacaran dan cinta. Pertanyaan pertama yang saya ajukan kepada mereka adalah
“menurut kalian pacaran itu apa”? secara spontan mereka menjawab, “aah pak guru
tidak tahu saja, pacaran itu kan magi to”.
Saya terkejut mendengar jawaban yang disampaikan oleh siswa itu.
Satu dampak negatif [menurut saya] yang timbul di kalangan
anak-anak muda saat ini adalah dengan kehadiran teknologi informasi dan
komunikasi seperti handphone. Kehadiran HP dengan tujuan yang baik, agar
manusia dapat berkomunikasi, memperlancar bisnis, dan sebagainya. Namun,
kenyataan di kalangan orang Mee berbicara lain [salah gunakan].
Penyakit ini
memang terus mengalami peningkatan, sebagai total data terakhir dari
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Papua, hingga bulan September 2010
terdapat 6.300 lebih kasus HIV/AIDS di Tanah Papua, walaupun berbagai
upaya KPA bersama dinas terkait selalu memberi informasi dan membantu,
sehingga dibutuhkan pentingnya ada kesadaran masyarakat untuk mengunjungi
tempat Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah tes HIV yang
dilakukan secara sukarela. akan tetapi angka ini sewaktu-waktu bisa
bertambah dan berkurang. Bayang-bayang pelajar dalam bahaya HIV/AIDS di
tanah Papua, bukan hal yang tidak mungkin, sebab dari 6.300 lebih kasus
yang ada, termasuk didalamnya usia antara 15-49 tahun atau usia
produktif, termasuk pelajar dan mahasiswa. "Saat ini dari total data
yang ada, khusus pelajar telah mencapai 35 persen, sehingga menjadi upaya untuk
terus dilakukan sosialisasi di tingkat sekolah juga," ujar Constant Karma,
Ketua KPA Papua, kepada JUBI di Jayapura, Jumat (18/3).
0 komentar :
Posting Komentar