Rakyat Papua TIdak menginginkan adanya pemekaran di tanah Papua (Foto: umaginews.com) |
Pemerintah
berperan besar dalam melecut konflik di Papua dengan tidak konsisten
menjalankan undang-undang yang telah disepakatinya sendiri. Penerbitan
kebijakan menyangkut Papua serampangan dengan mengabaikan logika hukum.
Kelalaian itu harus segera diperbaiki dengan menata ulang segala
kebijakan menyangkut Papua.
Demikian
pandangan yang mengemuka dalam diskusi "Papua Pecah, Papua Dibelah,"
yang diselenggarakan Pusat Kajian Komunikasi Bisnis dan Politik bersama
RRI Pro 2 FM di Jakarta, Sabtu (30/8). Pembicara adalah pakar otonomi
daerah dari Institut Ilmu Pemerintahan, Djohermansyah Djohan, dan mantan
Menteri Negara Otonomi Daerah, Ryaas Rasyid.
Djohermansyah
mengatakan, kelalaian yang dilakukan pemerintah adalah diterbitkannya
Instruksi Presiden No 1/2003 tentang Percepatan Pemekaran Papua yang
menjadi akar masalah konflik di Papua saat ini. Inpres itu kelanjutan
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran Papua. Padahal,
sebelum Inpres itu diterbitkan telah ada UU No 21/2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua. "Jelas, UU Otsus itu menganggap Papua
sebagai satu provinsi. Lalu, gimana ceritanya UU tentang Pemekaran yang
sudah duluan keluar? Di mana posisinya UU itu dalam UU Otsus?" ujar
Djohermansyah, yang baru menerbitkan disertasi mengenai kebijakan
tentang otonomi khusus di Papua dan Aceh itu.
Sengaja Tak Diakomodasi
Djohermansyah
menemukan dalam dokumen rapat-rapat Pansus DPR RUU Otsus Papua bahwa UU
No 45/1999 tentang Pemekaran Papua memang sengaja tidak diakomodasi
dalam UU Otsus. Rencananya, UU No 45/1999 tersebut akan direvisi, namun
rencana itu hanya dicatat dalam notula rapat.
Hingga kini,
belum pernah ada revisi UU No 45/1999 untuk membatalkan pembentukan
Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat. Padahal, Keputusan DPRD
Papua Nomor 11 juga telah menolak rencana pemekaran, 16 Oktober 1999.
"Celakanya,
belakangan Presiden Megawati Soekarnopotri malah menerbitkan Inpres No
1/2003 tentang Percepatan Pemekaran Papua yang berlandaskan pada UU No
45/1999 yang seharusnya direvisi dulu. Di situ kelalaiannya," kata
Djohermansyah.
Dihubungi
terpisah, mantan Ketua Pansus DPR RUU Otsus Papua, Sabam Sirait,
membenarkan, UU Otsus Papua memang tidak menimbang pada UU No 45/1999,
sehingga status UU No 45/1999 itu tidak jelas. "Statusnya seperti
dibekukan, sehingga harus direvisi," kata Sabam.
Ryaas dan
Djohermansyah menegaskan, pemerintah harus segera merevisi semua
kebijakan menyangkut Papua menjadi selaras satu sama lain. "Sebelum
revisi, harus digelar dialog yang mengakomodasi semua elemen rakyat
Papua. Kalau memang mau pemekaran, berapa provinsi diinginkan
sebenarnya," kata Djohermansyah.
Djohermansyah,
Sabam, dan Ryaas menggarisbawahi, seharusnya pemerintah konsisten dan
fokus pada UU Otsus Papua dengan segera menerbitkan PP tentang
pembentukan institusi yang menunjang pelaksanaan Otsus, salah satunya
Majelis Rakyat Papua (MRP). "MRP sampai sekarang terkatung-katung tidak
jelas. Meskipun pemerintah memang telah memberi uang banyak dan berbagai
jabatan bagi orang asli Papua. Tetapi, itu tidak cukup," kata
Djohermansyah.
Sumber : www.karobanews.com
0 komentar :
Posting Komentar