Militer Indonesia melawan agama |
(Jakarta) – Pemerintah Indonesia gagal melindungi kaum minoritas dari
kekerasan dan intoleransi atas nama agama, menurut laporan Human Rights
Watch hari ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus tegas dan minta
zero tolerance terhadap siapapun yang main hakim sendiri atas nama agama.
Laporan tersebut, sepanjang 120 halaman, berjudul “Atas Nama Agama:
Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia,” merekam kegagalan
pemerintah Indonesia dalam mengatasi gerombolan-gerombolan militan, yang
lakukan intimidasi dan serang rumah-rumah ibadah serta anggota-anggota
minoritas agama. Mereka makin hari makin agresif. Sasaran mereka
termasuk Ahmadiyah, Kristen maupun Muslim Syiah. Satu lembaga pemantau
kekerasan mencatat 264 kasus kekerasan tahun lalu.
“Kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengambil sikap dan melindungi
kaum minoritas dari intimidasi dan kekerasan, tentu saja, merupakan
olok-olok terhadap klaim bahwa Indonesia adalah negara demokratis yang
melindungi hak asasi manusia,” kata Brad Adams, direktur Asia pada Human
Rights Watch. “Kepemimpinan nasional sangat esensial. Presiden
Yudhoyono perlu berkeras bahwa hukum harus ditegakkan, harus mengumumkan
bahwa setiap pelaku kekerasan akan diadili, serta menjelaskan strategi
untuk memerangi kekerasan atas nama agama.”
Human Rights Watch melakukan riset di 10 provinsi di Jawa, Madura,
Sumatra, dan Timor, serta mewawancarai lebih dari 115 orang dari
berbagai kepercayaan. Mereka termasuk 71 korban kekerasan dan
pelanggaran, maupun ulama, polisi, jaksa, milisi, pengacara dan aktivis
masyarakat sipil.
Pejabat daerah sering menyikapi pembakaran atau kekerasan dengan
justru menyalahkan korban minoritas, menurut Human Rights Watch. Para
pelaku menerima hukuman ringan atau sama sekali tak dihukum. Dalam dua
kasus, pejabat daerah menolak menjalankan keputusan Mahkamah Agung yang
memberikan hak kepada dua jemaat minoritas untuk membangun rumah ibadah
mereka. Pejabat pusat sering membela kebebasan beragama namun ada juga
—termasuk Menteri Agama Suryadharma Ali— yang justru mengeluarkan
pernyataan diskriminatif.
Presiden Yudhoyono juga gagal menggunakan kekuasaannya guna membela
warga negara Indonesia dari kaum minoritas agama, serta tak pernah
secara efektif mendisiplinkan anggota-anggota kabinet yang bandel
menganjurkan pelanggaran, menurut Human Rights Watch. Dalam suatu pidato
pada Maret 2011, Menteri Agama Suryadhama Ali mengatakan, “Saya memilih
Ahmadiyah dibubarkan. Jelas Ahmadiyah menentang Islam.” Pada September
2012, dia usul warga Syiah pindah ke Islam Sunni. Ali tak menerima
sanksi apa pun atas komentar tersebut.
“Pemerintah Indonesia menunjukkan keengganan terhadap penderitaan
kaum minoritas Indonesia, yang tentu berharap perlindungan,” kata Adams.
Organisasi militan Islamis, termasuk Forum Umat Islam dan Front
Pembela Islam, sering dilaporkan terlibat dalam penyerangan dan
penutupan rumah ibadah maupun rumah pribadi. Mereka memberikan
pembenaran terhadap penggunaan kekerasan dengan memakai tafsir Islam
Sunni, yang memberi label “kafir” kepada kalangan non-Muslim, serta
“sesat” kepada kalangan Muslim yang tak sama dengan mereka.
Pejabat pemerintah dan keamanan sering memfasilitasi pelecehan dan
intimidasi terhadap kaum minoritas oleh organisasi militan, menurut
Human Rights Watch. Ini termasuk membuat pernyataan diskriminatif yang
telanjang, menolak mengeluarkan izin bangunan untuk rumah ibadah kaum
minoritas agama, dan mendesak jemaat minoritas untuk relokasi.
Tindakan-tindakan itu sebagian didasarkan aturan diskriminatif,
termasuk Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 tentang penodaan agama,
yang hanya melindungi enam agama, serta keputusan menteri-menteri
tentang syarat membangun rumah ibadah , yang memberi hak kepada kelompok
mayoritas di satu daerah terhadap kaum minoritas. Warga Muslim Sunni di
beberapa daerah Indonesia Timur, yang mayoritas Kristen, juga jadi
korban aturan itu dan, dalam beberapa contoh, mengalami kesulitan izin
mendirikan masjid.
Lembaga-lembaga negara Indonesia juga berperan dalam pelanggaran
kebebasan beragama, menurut Human Rights Watch. Lembaga-lembaga negara
ini termasuk Kementerian Agama, Badan Koordinasi Pengawas Aliran
Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) yang menginduk pada Kejaksaan
Agung, dan lembaga semi-pemerintah Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang
menggerogoti kebebasan beragama dengan mengeluarkan fatwa terhadap
anggota-anggota agama minoritas, serta memanfaatkan kedudukan mereka
untuk mendesak kriminalisasi terhadap “penoda agama.”
Naiknya kekerasan terhadap minoritas agama—dan kegagalan pemerintah
bersikap tegas—melanggar UUD 1945, yang menjamin kebebasan beragama,
maupun hukum internasional. Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan
Politik, yang diratifikasi Indonesia pada 2005, menetapkan, “Orang-orang
yang tergolong dalam kelompok minoritas tidak boleh diingkari haknya
dalam masyarakat, bersama anggota kelompok lain, untuk menikmati budaya
mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri.”
Setara Institute, lembaga yang memantau kebebasan beragama di
Indonesia, melaporkan naiknya kekerasan pada minoritas agama, dari 244
pada 2011 jadi 264 pada 2012. Wahid Institute, kelompok sipil lain yang
juga berbasis di Jakarta, mendokumentasikan 92 pelanggaran kebebasan
beragama dan 184 peristiwa intoleransi agama pada 2011, naik dari 64
pelanggaran dan 134 peristiwa intoleransi pada 2010.
“Presiden Yudhoyono harus mendukung kebebasan beragama sebagai
prinsip pemerintahannnya, dan memastikan para pejabat pemerintah untuk
tidak mempromosikan pelanggaran terhadap minoritas agama,” ujar Adams.
“Lembaga-lembaga donor untuk Indonesia harus mengambil sikap bahwa
kegagalan membela kebebasan beragama sebagai masalah mendesak.”
Kesaksian dari “Atas Nama Agama”
“Mereka menyeret saya dari sungai. Mereka pegang tangan saya dan
melepas sabuk saya dengan parang. Mereka lepas kaos, celana dan kaos
dalam saya. Saya hanya pakai celana dalam. Mereka ambil uang Rp 2,5 juta
dan Blackberry saya. Mereka lepaskan celana dalam saya dan mau memotong
alat kelamin. Saya terbaring posisi bayi. Saya hanya berusaha
melindungi muka saya, tapi mata kiri saya ditikam. Kemudian saya dengar
mereka teriak, ‘Sudah mati, sudah mati.’” —Ahmad Masihuddin, warga
Ahmadiyah 25 tahun, korban luka berat dalam serangan massa di Cikeusik,
Banten, pada 6 Februari 2011, setelah polisi di lokasi kejadian
membiarkan serangan. Tiga kawannya tewas dibunuh.
“Suami saya memilih Katholik sebagai agama resmi dia. Tapi
praktiknya, keyakinan dia Kejawen. Jika kami menuntut pernikahan dengan
agama kami masing-masing, maka kami takkan punya akta kelahiran bagi
anak kami, yang akhirnya, tanpa nama suami saya. Kolom agama di KTP kami
menciptkan stigma lainnya di Indonesia.”—Dewi Kanti, penulis dan
seniman Sunda Wiwidan, 36 tahun, dari Cigugur, Jawa Barat, menjelaskan
diskriminasi yang diciptakan negara Indonesia, yang hanya mengakui enam
agama, meminggirkan ratusan kepercayaan lokal, seperti dirinya, sebagai
“keyakinan mistik”, yang membuat para penganutnya kesulitan menikah,
mengajukan kata kelahiran dan mendapatkan pelayanan lain.
“Satu pengendara motor mendekati dan coba pukul saya. Saat menunduk,
saya melihat saya berdarah. Polisi ada 100 meter jaraknya. Para
penyerang juga berada di dekatnya. Mereka menyerang dan memukul Pendeta
Luspida Simanjuntak sampai dia terjatuh. Polisi bawa saya dan ibu
pendeta dengan sepedamotor. Para penyerang mengejar dan memukul ibu
pendeta tiga kali dengan batang kayu.”—Asia Lumbantoruan, paitua gereja
Huria Kristen Batak Protestan Ciketing di Bekasi tentang bagaimana
serang pemuda Muslim di sepedamotor menikamnya pada 4 September 2010.
Dua penyerang kemudioan divonis tiga hingga 7,5 bulan penjara.
Bagaimana kami bisa meminta tanda tangan umat Islam? Keluarga Muslim
terdekat tinggal di sekitar 500 meter dari gereja kami. Lainnya sekitar
dua kilometer. Bagaimana kami bisa mencari 60 orang? Peraturan 2006 itu
mungkin berlaku di daerah perkotaan. Tapi tak mungkin dilaksanakan di
wilayah perkebunan.—Abjon Sitinjak, petani 49 tahun, jemaat gereja
Pantekosta di Kuantan Singingi, Riau, menghadapi kesulitan birokratis
guna mengusahakan kembali pembangunan gereja mereka yang dibakar habis.
Syarat hukum pengajuan rumah ibadah termasuk mewajibkan 60 tandatangan
dari tetangga Muslim yang mendukung pembangunan rumah ibadah non-Muslim.
Sumber : www.hrw.org
0 komentar :
Posting Komentar