Ilustrasi Tahanan Politik West Papua (foto, WK/SCK) |
(New York) - Pemerintah Indonesia harus
menyelidiki dan menuntut pertanggungjawaban penjaga dan pejabat yang
bertindak sewenang-wenang di penjara Abepura, Papua, demikian pernyataan
Human Rights Watch hari ini. Berbagai sumber melaporkan bahwa para
petugas penjara seringkali melakukan penyiksaan, pemukulan dan perlakuan
sewenang-wenang. Penjara Abepura menampung sekitar 230 narapidana,
dimana belasan diantaranya ditahan karena keterlibatan mereka dalam aksi
politik secara damai.
"Bagaimana pemerintah bisa menutup mata atas pemukulan dan penyiksaan
di salah satu penjaranya?" tanya Brad Adams, Direktur Asia Human Rights
Watch. "Jakarta harus mengakhiri tindakan tercela ini, menghukum mereka
yang bertanggung jawab, dan mulai memperhatikan dengan cermat apa yang
terjadi di sana."
Human Rights Watch menerima lebih dari dua lusin laporan pemukulan
dan penganiayaan sejak Anthonius Ayorbaba, seorang birokrat Papua, yang
sebelumnya bekerja di Kantor Wilayah Hukum dan HAM di Jayapura, menjadi
kepala lembaga pemasyarakatan (Kalapas) pada Agustus 2008. Sebagai
kepala penjara, Ayorbaba adalah pejabat penjara tertinggi di Abepura.
Pengelolaan penjara berada dalam tanggung jawab Departemen Hukum dan HAM
(Dephukham).
Human Rights Watch berpendapat bahwa pemerintah Indonesia harus
mengganti pengelola dan membuka penjara untuk pemantauan internasional.
Sejak 1969, orang asing, termasuk pemantau HAM dan wartawan asing, harus
memiliki "surat jalan" dari kepolisian untuk memasuki provinsi Papua
dan tidak dapat melakukan penelitian yang independen di sana. Human
Rights Watch juga mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk
membentuk tim independen guna menyelidiki berbagai penganiyaan di
penjara Abepura.
Insiden-insiden Penganiyaan
Dalam satu kasus, pada tanggal 22 September 2008 sekitar jam 8 pagi,
beberapa sipir membawa tahanan politik Ferdinand Pakage ke kantor
keamanan penjara. Kepala keamanan memukul Pakage dengan pentungan karet
sebanyak enam kali di kepala. Seorang penjaga memukul Pakage dengan
tangan kosong, sementara kepala penjaga menendang Pakage dengan
sepatunya. Seorang penjaga lain, Herbert Toam, memukul kepala Pakage
dengan tangan yang menggengam gembok, sedemikian rupa sehingga kunci
gembok menembus mata kanan Pakage. Sekitar jam 8.20 pagi, dalam keadaan
pingsan Pakage dimasukkan ke sel isolasi. Pukul 2 siang, Pakage dibawa
ke rumah sakit Abepura, tapi rumah sakit tutup. Baru pada tanggal 23
September, dia diperiksa oleh dokter di rumah sakit Dok Dua di Jayapura;
terlambat sudah untuk menyelamatkan mata kanannya karena pendarahan
parah.
Ayorbaba menulis laporan, tanpa tanggal, tentang kronologi kasus
Pakage --Human Rights Watch juga memiliki salinannya-- yang
menggambarkan peristiwa pemukulan oleh Herbert Toam. Laporan menyatakan
bahwa kejadian itu tidak disengaja karena saat Toam memukuli Pakage, ia
tidak sadar bahwa kunci masih terpasang dalam gembok. Laporan itu juga
menyatakan bahwa Pakage sebelumnya mengancam seorang sipir. Laporan
tersebut tak menyinggung peran dua orang petugas lainnya dalam peristiwa
tersebut.
Pada Desember 2008, Ayorbaba memberitahu Human Rights Watch bahwa
laporan tersebut sudah diserahkan ke Dephukham dan juga kepada Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan bahwa "Herbert sepertinya
akan dipecat." Ayorbaba mengatakan bahwa dia sudah minta Toam untuk
berhenti bekerja dan menyelesaikan kasus tersebut secara adat, yaitu
dengan bernegosiasi dengan keluarga Pakage. Toam tidak bekerja dari
Oktober 2008 sampai Maret 2009, namun ia tetap menerima gaji bulanan.
Klan Toam sendiri menolak mengambil alih masalah ini. Herbert Toam gagal
menyelesaikan kasus tersebut secara adat dan kembali bekerja di bulan
April.
Baik Depkumham maupun Komnas HAM tampaknya belum melakukan
investigasi atas masalah ini. Di bulan Oktober, keluarga Pakage
melaporkan kasus tersebut ke polisi Jayapura, tapi polisi menolak
menerima laporan tersebut, dan menyarankan keluarga menghubungi
Depkumham untuk penyelesaian kasus. Pihak keluarga menyampaikan
keluhannya secara lisan kepada pihak Depkumham. Bulan Oktober, Komisi
Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC), sebuah koalisi NGO
dari Gereja Kristen Injil di Tanah Papua, melaporkan kasus-kasus HAM di
Papua, termasuk kasus Pakage, tapi belum ada tanggapan.
Dalam kasus lain, tanggal 26 Februari 2009, sipir Abepura menemukan
bahwa Buchtar Tabuni, aktivis mahasiswa yang ditahan, menyimpan telepon
genggam di sakunya. Menurut Tabuni, seorang sipir bernama Andrianus
Sihombing memukulnya, hingga matanya berdarah. Tabuni kemudian
dipindahkan sementara ke tahanan kepolisian di Jayapura, tampaknya agar
luka tersebut tak terlihat oleh Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta,
yang melakukan kunjungan di penjara Abepura hari berikutnya. Setelah
Mattalatta meninggalkan Papua, Tabuni dikembalikan ke penjara Abepura.
Tanggal 1 Maret 2009, Yusak Pakage, seorang tahanan politik yang
memiliki hubungan keluarga dengan Ferdinand, bertanya kepada Sihombing
alasan memukuli Tabuni. Sihombing malah memukuli muka Pakage, memecahkan
kaca mata dan melukai keningnya. Beberapa tahanan berusaha melindungi
Pakage. Malam itu, di bawah pimpinan Ayorbaba, delapan tahanan, termasuk
Pakage dan aktivis mahasiswa, Selphius Bobbi, dipindahkan ke dalam satu
sel isolasi kecil dan dibiarkan di sana selama tiga malam. Dilaporkan
bahwa para sipir memukuli Bobbi. Sejumlah sipir yang lain masuk ke blok
sel dan memukuli hampir semua narapidana secara acak. Para saksi
melaporkan kepada Human Rights Watch bahwa beberapa penjaga bau minuman
alkohol.
Dilaporkan juga bahwa ada penjaga memukul dengan pipa ledeng dua
tahanan, yang sedang bergugas di dapur dan diketahui mengantarkan air
dan makanan kepada Yusak Pakage. Mereka tak tahu bahwa ada perintah tak
memberikan makanan pada Pakage.
Pada 11 Mei, seorang penjaga memukuli narapidana yang memiliki
telepon genggam hingga ia mengalami pendarahan parah pada telinga kiri.
Akibatnya, narapidana tersebut kehilangan separuh kemampuan pendengaran.
Menurut saksi, penjaga yang sama juga memukul dua narapidana lain yang
menggunakan telepon genggam. Penjaga itu memaksa salah seorang
narapidana memasukkan tangan ke dalam air mendidih. Identitas mereka
yang memberikan laporan ini dirahasiakan untuk melindungi mereka dari
kemungkinan balas dendam.
Laporan-Laporan Tanpa Hasil
Undang-Undang Lembaga Pemasyarakatan No. 12/1995 menjelaskan prosedur
bagi para narapidana dalam menyampaikan keluhan tentang
kesewenang-wenangan di penjara. Tahanan melaporkan penjaga yang
sewenang-wenang kepada kepala penjara. Jika kepala penjara terlibat,
mereka dapat melaporkan kasus tersebut ke Kantor Wilayah Hukum dan HAM
di Jayapura. Dalam kasus-kasus seperti ini, petugas penjara yang
terlibat dapat dikenai sanksi pidana, dan narapidana berhak atas bantuan
hukum.
Sebelum Ayorbaba ditugaskan sebagai Kalapas, narapidana dan keluarga
mereka sering melaporkan tindak kekerasan penjaga penjara kepada
Depkumham. Sejak Ayorbaba berkuasa, para narapidana mengatakan bahwa
mereka berhenti melapor karena mereka tak percaya lagi dengan sistem
yang ada. Karena sebelumnya Ayorbaba pernah bekerja di kantor Depkumham
Jayapura. Mereka juga kuatir terjadi balas dendam jika mereka buka
mulut.
Inspektur Depkumham dari Jakarta diwajibkan untuk memeriksa
narapidana secara berkala. Dalam prakteknya, menurut laporan narapidana
dan penjaga penjara kepada Human Rights Watch, inspektur biasanya hanya
menemui Kalapas. Narapidana tak memiliki kesempatan untuk bertemu atau
mendiskusikan isu apa pun dengan inspektur penjara dari Jakarta.
Sejak Agustus 2008, pemimpin informal para narapidana di Abepura
minta bertemu dengan Ayorbaba, namun Ayorbaba menolak. Desember 2008,
Yusak Pakage, salah seorang pemimpin, mendapat kesempatan untuk bicara
dengan Ayorbaba di rumah sakit Abepura tempat Pakage dirawat karena
sakit. Dalam kesempatan tersebut, Ayorbaba menolak membicarakan perihal
kekerasan di penjara dan tak menanggapi serius keluhan yang disampaikan
Yusak Pakage.
"Pemerintah Indonesia perlu mengganti pengelola penjara Abepura,"
kata Adams. "Tetapi ini bukan hanya kegagalan seorang kepala penjara.
Ini adalah kegagalan Jakarta dalam meletakkan standar dan melaksanakan
standar tersebut dengan baik."
Pada Maret, Departemen Luar Negeri memerintahkan Komisi Palang Merah
Internasional (ICRC) untuk menutup kantornya di Jayapura dan Banda Aceh.
ICRC memiliki proyek air bersih di Papua serta rutin mengunjungi
tahanan, termasuk tahanan politik, di penjara Abepura. Juru bicara
Deplu, Teuku Faizasyah, menyangkal perintah penutupan tersebut terkait
dengan kunjungan ICRC ke penjara Papua, termasuk Abepura. Ia mengatakan
bahwa penutupan tersebut sesuai dengan aturan yang ada.
Human Rights Watch berpendapat bahwa pengamat internasional seperti
ICRC dan organisasi hak asasi manusia seharusnya dapat mengunjungi para
narapidana di Abepura untuk menyelidiki laporan tindak kekerasan,
apalagi karena departemen terkait tampaknya belum memberikan
perlindungan bagi tahanan atau menanggapi keluhan mereka.
"Para tahanan itu telah menggunakan seluruh cara yang tersedia untuk
memperjuangkan hak mereka, tetapi para pejabat menolak untuk mendengar,"
kata Adams. "Mengingat tingkat kekerasan yang terjadi, pemerintah
Indonesia harus membuka penjara Papua untuk pemantauan internasional."
Sumber : www.hrw.org
0 komentar :
Posting Komentar