NEGLECTED-GENOCIDE (www.humanright.asia) |
Jayapura,1/11-–Demi
mendapatkan keadilan bagi korban kekerasan Negara Indonesia terhadap
rakyat di Pegunungan Tengah Papua Barat dalam kurun waktu 1977-1978,
Asian Human Rihgts Commission (AHRC) telah merekomendasikan kepada
pemerintah Indonesia agar meminta maaf kepada rakyat Papua.
Dalam laporan resminya yang dilangsir www://humanrights.asia pada 24
Oktober lalu itu, AHRC memberikan tujuh rekomendasi. Pertama, pemerintah
Indonesia harus mengakui dan meminta maaf di hadapan publik atas
pelanggaran HAM yang terjadi. Kedua, Komnas HAM Indonesia harus
mempublikasikan hasil penelitiannya mengenai pelanggaran HAM di Papua
yang meliputi rangkaian kekerasan di Pegunungan Tengah selama 1977–1978.
Ketiga, pemerintah harus mencabut semua pembatasan yang tidak
beralasan dan tidak proporsional terhadap kebebasan berekspresi di Papua
dan wilayah lain di Indonesia guna mendorong diskusi terbuka mengenai
sejarah kekerasan di Papua dan memastikan bahwa para saksi beserta
aktivis HAM dan perdamaian yang berupaya mengungkapkan kebenaran tidak
diintimidasi, diancam, dipenjarakan, atau dibunuh.
Keempat, membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili aparat
pemerintah yang bertanggung jawab atas pelanggaran yang terjadi. Supaya
hal ini dapat terwujud, Komnas HAM harus menginisiasi penyelidikan yang
menyeluruh, independen dan efektif terhadap kasus tersebut dan
meneruskan hasilnya kepada Kejaksaan Agung. Sesuai dengan ketentuan
undang-undang, Kejaksaan Agung harus menindaklanjuti laporan Komnas HAM
tersebut dengan melakukan penyidikan dan menuntut pihak yang bertanggung
jawab.
Kelima, DPR RI dan Presiden harus memberikan dukungan politik mereka
dengan menerbitkan suatu keputusan mengenai pembentukan pengadilan HAM
ad hoc guna mengadili individu yang bertanggung jawab atas pelanggaran
yang terjadi dan juga dengan mendesak Komnas HAM serta Kejaksaan Agung
untuk melaksanakan kewajiban hukum mereka terkait proses hukum kasus
ini.
Keenam, suatu komisi kebenaran dan rekonsiliasi di tingkat lokal
harus dibentuk guna memenuhi hak korban dan publik atas kebenaran. Untuk
itu, pemerintah lokal di Papua harus memainkan peran aktif dalam
mendorong Presiden untuk menerbitkan suatu keputusan mengenai
pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi di Papua. Komisi ini
haruslah independen dari KKR nasional dan harus dipandang sebagai
pelengkap terhadap upaya hukum, sesuai dengan standard hokum
internasional. Komisi ini haruslah, setidaknya, memiliki kekuasaan dan
kewajiban untuk mengungkapkan pelanggaran HAM yang terjadi dan
menyediakan rekomendasi spesifik dalam rangka reformasi institusi dan
kebijakan serta untuk menilai kerugian yang diderita oleh korban dan
menentukan bentuk reparasi yang harus disediakan untuk mereka.
Ketujuh, reparasi komprehensif dan memadai harus diberikan oleh
pemerintah kepada korban dan keluarganya. Reparasi yang diberikan
haruslah sesuai dengan standard yang ditentukan hukum internasional dan
tidaklah harus dibebani persyaratan yang memberatkan seperti pembuktian
bersalah para pelaku.
Untuk memastikan rekomendasi di atas dipenuhi oleh pemerintah
Indonesia, AHRC mendesak masyarakat sipil dan komunitas internasional
harus mendukung upaya mendapatkan keadilan bagi korban dengan mekakukan
langkah-langkah sebagai
berikut:
berikut:
Pertama, meminta pemerintah Indonesia untuk menerapkan prinsip
akuntabilitas dan transparasi dalam kasus pelanggaran HAM yang terjadi
di Papua, termasuk yang terjadi sepanjang tahun 1977–1978.
Kedua, memainkan peran yang lebih aktif di dalam mengekspos
pelanggaran HAM di Papua, baik yang terjadi di masa lalu maupun yang
masih berlangsung. Ketiga, membantu pemerintah Indonesia dengan
memberikan dukungan teknis serta saran dalam upayanya memenuhi kewajiban
internasional dalam pemberian reparasi substansial dan prosedural bagi
korban pelanggaran masa lalu di Papua.
Keempat, mensyaratkan pengakuan pelanggaran HAM di Papua serta pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk kasus-kasus tersebut serta pemberian reparasi kepada korban dalam perdagangan bilateral atau multilateral, atau pemberian bantuan kepada pemerintah Indonesia. (www.humanrahgts.asia/Humanrihgtspapua.org/the Internasional Coalitions for Papua (ICP)
Salah satu anak korban dari Distrik Iluga, Karoline Aud mengatakan
permintaan maaf itu tidak bisa akan menyelesaikan persoalan. “Kalau
hanya permintaan maaf, tidak ada artinya,”katanya. Dikatakan permintaan
maaf itu harus dengan pernghukuman berat terhap pelaku pembunuhan .
“Pelaku harus menerima hukuman,”tuturnya.(Jubi/Mawel)
Sumber : www.tabloidjubi.com
0 komentar :
Posting Komentar