News
Loading...

Napas: Demokrasi di Papua di Titik Nol!

Napas: Demokrasi di Papua di Titik Nol!
Jakarta,  -- National Papua Solidarity (Napas) mengutuk dan mengecam keras tindakan kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang terhadap mahasiswa dan Pemuda Papua oleh aparat Kepolisian Negara Indonesia (Dalmas Polresta Jayapura dan Brimob Polda Papua).
 
Napas mencatat, sebanyak 32 orang anggota Gerakan Mahasiswa, Pemuda, dan Rakyat Papua (GempaR Papua) ditangkap secara paksa selama 2 hari berturut-turut.
"Kemarin, Kamis (07/11/2013), 16 orang ditangkap di depan kantor Majelis Rakyat Papua  dan hari ini (Jumat 08/11/2013), 16 orang kembali ditangkap di depan Rektor Universitas Cenderawasih," tulis Napas dalam release mereka yang diterima majalahselangkah.com sore ini.
Napas menilai, pembubaran aksi secara paksa dan penangkapan 32 mahasiswa dengan alasan tidak ada surat pemberitahuan aksi ke pihak Kepolisian merupakan alasan yang tidak mendasar, karena mahasiswa dan pemuda Papua yang tergabung dalam GempaR Papua telah melayangkan surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian 3 hari sebelum aksi, yakni pada hari Senin(4/11/ 2013) lalu.
Dua Catatan Penting
Ada dua hal yang menjadi catatan Napas. Pertama, Napas menilai, tindakan aparat telah membatasi hak warga Papua untuk berserikat, berkumpul dan berekspresi yang telah dijamin oleh konstitusi dasar Negara.

UU tersebut adalah UUD 1945 Pasal 28 E ayat 3 dan 28 I ayat 1, dan secara khusus diatur juga dalam  UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, terutama pasal 1 dan 2. dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Konvensi hak-hak sipil politik (pasal 19 dan 21).

Di mana di dalamnya telah menjamin hak atas kebebasan berekspresi yang dilakukan secara damai oleh setiap warganya dan negara berkewajiban memberikan jaminan atas pemenuhan hak tersebut. 

"Dan bentuk pengingkaran terhadap pemenuhan hak atas kebebasan berekspresi di atas menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah gagal memberikan perlindungan dan jaminan terpenuhinya hak atas kebebasan berekspresi bagi warga di Papua," tulis Napas.

Kedua, menurut Napas, pembubaran paksa aksi pada 7-8 November dan penangkapan terhadap 32 orang Mahasiswa merupakan gambaran kecil dari pembungkaman ruang demokrasi oleh pemerintahan yang represif, militeristik dan menindas. 

Menurut data dari Napas, pembungkaman ruang bebas menyampaikan pendapat ini bukan pertama kali terjadi, tetapi sudah menjadi kebiasaan kepolisian di tanah Papua. 

"Hal ini menandakan bahwa ruang demokrasi di Papua berada di titik nol." 

"Realitas demokrasi ini menjadi langkah mundur dari 15 Tahun reformasi di Indonesia; Reformasi di Indonesia belum maju jika ruang demokrasi di Papua masih tertutup. Sebab Papua saat ini adalah wajah demokrasi Indonesia, sekaligus wajah pemerintah Indonesia di hadapan rakyat Papua," tulis Napas dalam release mereka.

Ini Tuntutan Napas
Demi menghormati dan memajukan pemenuhan hak asasi manusia, khususnya hak atas berkumpul, berserikat dan berekspresi dan demokrasi di Papua, National Papua Solidarity (Napas)  menuntut 2 hal.

"Pertama, kami mendesak  Kapolri dan Kapolda Papua, untuk segera membebaskan 32 orang mahasiswa yang ditahan dan menghentikan pelarangan aksi damai, pembubaran paksa dan penangkapan sewenang-wenang terhadap Mahasiswa dan warga sipil Papua."

"Napas juga mendesak Presiden Republik Indonesia, Segera membuka ruang demokrasi bagi rakyat sipil di Tanah Papua. Dan memberikan akses masuk bagi pelapor khusus PBB sebagai bentuk keterbukaan pemerintah Indonesia terhadap situasi di Papua, termasuk diantaranya  akses pers dalam dan luar negeri,"tulis Napas tegas. 

Pembatasan Ruang Demokrasi Terus Berlanjut. Viva Papua, Bersatu Tak Bisa Dikalahkan!,  tulis mereka menutup release. (MS/Topilus B. Tebai)
Share on Google Plus

About suarakolaitaga

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar