Ilustrasi |
Jayapura, 04/09 – Amnesty International menyerukan pihak
berwenang Indonesia untuk membatalkan pemidanaan terhadap empat aktivis
Papua yang ditangkap minggu lalu karena aktivitas politik mereka secara
damai. Pemidanaan terhadap mereka menjadi penanda berlanjutnya kegagalan
pemerintah Indonesia untuk membuat pembedaan antara kelompok kekerasan
bersenjata dengan aktivis-aktivis damai serta antara ekspresi pendapat
secara damai dengan tindakan-tindakan kekerasan.
Empat orang, Apolos Sewa, Yohanis Goram, Amandus Mirino, dan Samuel
Klasjok, yang merupakan para anggota Dewan Adat Papua (DAP) di Sorong,
ditangkap oleh anggota Polres Sorong pada malam 28 Agustus 2013. Mereka
ikut dalam ibadat secara damai di Gereja Maranatha, Sorong, Provinsi
Papua Barat. Kegiatan ini dilakukan sebagai solidaritas terhadap rencana
kedatangan “Freedom Flotilla”, sebuah kapal bermuatan aktivis-aktivis
Australia, yang akan memasuki perairan Indonesia dalam beberapa minggu
ke depan untuk menyoroti situasi HAM di Papua.
Selama upacara tersebut, bendera “Bintang Kejora” – sebuah simbol
kemerdekaan dan identitas Papua yang dilarang – dikibarkan bersama-sama
dengan bendera Aborigin dan Torres Straits (bendera simbol
masyarakat-masyarakat adat di Australia). Keempat orang tersebut
kemudian dibawa ke kantor Polres Sorong untuk diinterogasi tanpa
pendamping hukum dan hari berikutnya menjadi tersangka, dikenakan
tuduhan makar di bawah Pasal 106 dan 110 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), yang memiliki ancaman hukuman maksimum penjara seumur
hidup. Mereka telah dilepas sambil menunggu persidangan, meskipun mereka
diharuskan melaporkan diri kembali ke polisi dua kali seminggu.
Amnesty International percaya bahwa keempat orang tersebut ditangkap
dan menjadi tersangka semata-mata karena aktivitas politik mereka secara
damai, yang masih sangat dibatasi di Papua. Lebih dari 70 orang saat
ini dipenjara, beberapa di antaranya menjalani hukuman penjara 20 tahun,
karena ikut, mengorganisir atau berpartisipasi dalam
aktivitas-aktivitas politik secara damai, aksi protes, atau memiliki,
menaikkan atau mengibarkan bendera pro-kemerdekaan Papua yang dilarang.
Amnesty International menganggap mereka sebagai tahanan nurani
(prisoners of conscience) yang harus segera dan tanpa syarat dibebaskan.
Di
Sorong sendiri, tujuh orang lainnya saat ini sendang diadili untuk
kasus makar atas keterlibatan mereka dalam sebuah acara pertemuan secara
damai pada 30 April 2013 di daerah Aimas, seputar peringatan ulang
tahun ke-50 penyerahan Papua kepada pemerintah Indonesia oleh badan PBB,
United Nations Temporary Executive Authority pada 1 Mei 2013. Sebelum
mereka ditangkap, aparat keamanan dilaporkan mengeluarkan tembakan ke
kerumunan orang dengan menewaskan dua laki-laki di tempat, Abner
Malagawak dan Thomas Blesia, sementara Salomina Kalaibin, seorang
perempuan, meninggal enam hari kemudian karena luka tembak di perut dan
bahunya. Belum ada penyelidikan pidana independen atas kematian mereka.
Amnesty International menyerukan pihak berwenang Indonesia untuk
menghormati hak-hak orang-orang Papua atas kebebasan berekspresi dan
berkumpul secara damai yang dijamin oleh Pasal 19 dan Article 21 dari
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang mana
Indonesia adalah negara pihaknya. Hal ini termasuk memastikan
akuntabilitas terhadap semua pelanggaran HAM selama aksi-aksi
demonstrasi, membebaskan semua tahanan nurani, dan mencabut atau
mengubah semua undang-undang yang mengkriminalisasi kebebasan
berekspresi, secara khusus Pasal 106 dan 110 dari KUHP yang
mengkriminalisasi ‘makar’ secara damai, dan Pasal 6 dari Peraturan
Pemerintah No. 77/2007 yang melarang pengibaran lambing-lambang daerah
atau bendera-bendera yang juga digunakan oleh organisasi-organisasi
separatis.
Organisasi ini lebih lanjut prihatin bahwa pihak berwenang Indonesia
terus membatasi akses terhadap organisasi-organisasi internasional,
jurnalis internasional dan pemantau-pemantau lainnya masuk ke Provinsi
Papua dan Papua Barat. Penolakan akses yang bebas dan tanpa hambatan
ini ke provinsi-provinsi ini membatasi laporan independen tentang
situasi HAM di sana. Pada Mei 2013, Komisaris Tinggi HAM PBB, Navanethem
Pillay, mendesak Indonesia untuk “memperbolehkan jurnalis internasional
masuk ke Papua dan memfasilitasi kunjungan Pelapor Khusus PBB dari
Dewan HAM PBB.” Kunjungan dari Pelapor Khusus PBB tentang promosi dan
perlindungan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi ke Indonesia
yang dijadwalkan untuk Januari 2013 telah ditunda tanpa batas waktu.
Amnesty International tidak mengambil posisi apa pun atas status
politik provinsi Indonesia apa pun, termasuk seruan untuk kemerdekaan.
Namun demikian, organisasi ini percaya bahwa hak atas kebebasan
berekspresi termasuk hak untuk secara damai menganjurkan referendum,
kemerdekaan, atau solusi politik lainnya yang tidak memuat hasutan untuk
diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan. (Admin/AI/Jubi)
Sumber : http://tabloidjubi.com
0 komentar :
Posting Komentar