Honaratus Pigai |
OLEH:
Honaratus Pigai
Peter Sloterdijk,
salah seorang filsuf Jerman yang sampai sekarang masih hidup dan aktif berkarya
sebagai Professor für Philosophie und Ästhetik di Hochschule für
Gestaltung di Karlsruhe, Jerman, menulis sebuah artikel yang menggemparkan
publik Jerman pada 31 Juni 2009 lalu. Artikel itu berjudul Die Revolution
der gebenden Hand, atau dapat diterjemahkan sebagai Revolusi dari tangan
yang memberi, dan diterbitkan di Frankfurter Allgemeine, salah satu
koran nasional di Jerman yang paling banyak dibaca.
Di dalam artikel
itu, ia mengritik keras kebijakan negara kesejahteraan (Sozialstaat)
yang sampai sekarang masih dipegang erat oleh negara-negara Eropa Barat,
termasuk Jerman dan negara-negara Skandinavia, seperti Finlandia, Swedia,
Norwegia, dan Denmark. Dalam arti ini, kita dapat memahami Negara Kesejahteraan
sebagai suatu tata kelola pemerintahan, dimana pemerintah memainkan peranan
yang amat besar untuk melindungi dan mengembangkan kehidupan sosial maupun
ekonomi warganya.
Reza A.A Wattimena, Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala,
Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman, menulis pemikiran Sloterdojk tentang
Negara Kesejahteraan dan kritik Honneth atasnya, pada artikelnya yang dimuat di
web pribadinya, dengan judul Kesejahteraan:
Pencuri atau Penyelamat, Wettimena membahas diskusi kedua tokoh pemikir
tersebut.
Artikel ini saya mengikuti pemikiran Sloterdijk yang dirampung Wettimena.
Belajar dari tokoh pemikir Sloterdijk tentang Negara Kesejahteraan, paling
kurang hampir mendekati konsep kesejahteraan yang diterapkan oleh Negara
Indonesia di Papua. Konsep kesejahteraan yang diterapkan di Papua dipandang
sebagai solusi penyelesaian konflik. Apakah benar kesejahteraan sebagai
penyelesai konflik? Menjawab pertanyaan ini, mari kita mendalami pemikiran
Sloterdijk.!
Sloterdijk:
Negara Kesejahteraan Sebagai Perampok Harta Warga
Sloterdijk mengemukakan beberapa konsep kunci tentang Negara Kesejahteraan
adalah; (1) kesempatan yang setara bagi setiap warga negara untuk mendapatkan
perlindungan sekaligus kesempatan untuk memperoleh hidup yang layak, (2)
penyebaran kekayaan bagi seluruh warga negara (tidak terfokus pada sekelompok
orang tertentu), (3) serta tanggung jawab setiap orang untuk membantu
orang-orang yang tak mampu mencukupi kebutuhan dasarnya yang layak sebagai
manusia.
Konkretnya, Negara
Kesejahteraan menerapkan empat kebijakan dasar berikut: (1) orang-orang yang
mendapatkan penghasilan lebih tinggi harus (diwajibkan oleh hukum) untuk
membayar pajak lebih tinggi kepada negara, (2) pengaturan yang ketat oleh
pemerintah terhadap sepak terjang para pengusaha besar maupun kecil yang ada di
masyarakat, (3) asuransi kesehatan untuk setiap warga negara, tanpa kecuali,
dan (4) pendidikan untuk semua warga, tanpa kecuali. Untuk poin tiga dan empat,
uangnya diperoleh dari pajak yang ditarik langsung dari masyarakat setiap
bulannya, dan dari pemasukan-pemasukan negara lainnya, seperti ekspor misalnya.
Di dalam
tulisannya, Sloterdijk menolak mentah-mentah seluruh ide Negara Kesejahteraan.
Ia bahkan menyebut ide Negara Kesejahteraan sebagai kebijakan yang membawa
ketidakbahagiaan bagi seluruh rakyat, dan membuat warga negara semata-mata
sebagai sapi perah pajak pemerintah. Dengan kata lain, negara dapat disebut sebagai
perampok (Diebstahl) utama harta warganya.
Tidak hanya itu, di
dalam artikelnya, Sloterdijk menggambarkan negara kesejahteraan sebagai
“kleptomania yang terinstitusionalisasi” (Kleptokratie), dan bukan
negara demokrasi kapitalistik, melainkan negara “semi sosialistik” (Semi-Sozialismus).
Oleh karena itu, ia menyarankan, supaya semua orang-orang kaya, yang membayar
pajak amat tinggi, melakukan “revolusi kelas dari atas”, yakni mogok pajak.
(Sloterdijk, 2009) Artikel ini menggemparkan publik Jerman, karena secara
langsung menghina prinsip-prinsip dasar dari Republik Federal Jerman itu
sendiri, walaupun Sloterdijk sendiri, secara pribadi, memperoleh keuntungan
dengan sistem Negara Kesejahteraannya.
Sloterdijk sebenarnya mengatakan bahwa kalau mau sejahtera, orang-orang
kaya harus membayar pajak yang tinggi kepada negara agar bisa membantu rakyat
yang kecil (miskin). Sloterdijk melihat realitas semacam ini dalam sebuah
negara tidak pantas, karena hanya merampok atau menguras rakyat. Maka, argumen utama Sloterdijk di dalam banyak
tulisannya, selalu mengatakan bahwa dasar dari Negara Kesejahteraan adalah
kerinduan untuk menguasai, mencengkram, dan menaklukkan rakyat.
Hapuskan Ide
Kesejahteraan Di Papua
Apa yang kita pelajari dari Sloterdijk, bila melihat ide kesejahteraan
yang diterapkan di Papua? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita lebih dahulu
melihat pengertiannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Terbitan Balai
Pustaka, W.J.S Poerwadarminta, menulis kesejahteraan berarti keamanan dan
keselamatan (kesenangan hidup dsb.), kemakmuran.
Tim Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, dalam bukunya
yang berjudul “membangun budaya damai dan
rekonsiliasi: Dasar menangani konflik di Papua” yang diterbitkan oleh SKP
Keuskupan Jayapura, dari hasil lokakarya hari perdamaian sedunia di tanah Papua
(2006), tokoh-tokoh agama menetapkan sembilan unsur. Itu yang dijadikan sebagai
konsep membangun budaya damai di Papua. Salah satu unsur yang disebutkan adalah
kesejahteraan. Kesejahteraan yang dirumuskan dalam buku tersebut adalah “semua
orang mengingini bisa makan-minum secukupnya, bisa mendapatkan tempat tinggal
yang layak, kesehatan terjamin, pendidikan dapat berjalan sesuai
cinta-cintanya, dan lain-lain” (hal 31-32). Kesejahteraan yang dimaksudkan
adalah kemakmuran atau kepuasan orang atas terpenuhinya kebutuhan primer,
karena jika tidak terpenuhi sulit untuk dikatakan ada perdamaian.
Rumusan kesejahteraan kesejahteraan itulah yang pasti digunakan oleh
negara Indonesia dalam perwujudannya di Papua. Harapan negara Indonesia bahwa
Papua harus mengalami situasi aman, selamat, senang dan juga makmur. Ini pasti
saja bukan dalam satu bidang semata, melainkan dalam segala bidang. Entah dalam
bidang ekonomi, politik, HAM, sosial, budaya, pendidikan dan lingkungan hidup.
Bidang-bidang tersebut pasti menjadi target perwujudan, agar orang atau rakyat
Papua bisa mandiri dalam mengurus kehidupannya.
Mengapa ide kesejahteraan ini diterapkan? Jawabannya sangat tidak sulit.
Secara sederhana bisa dikatakan karena Papua “miskin kesejahteraan” (tidak aman, tidak selamat, tidak senang,
tidak makmur). Karena “miskin kesejahteraan” maka pemerintah negara melihat hal
ini sebagai penyebab utama yang membuat rakyat Papua selalu ingin merdeka
secara politik.
Apakah benar rakyat Papua “miskin kesejahteraan” sehingga itu
diberlakukan di Papua? Sekirannya kita melihat sejarah kehidupan lebih dahulu.
Mengapa Papua ingin merdeka? Apakah karena “miskin kesejahteraan”? kalau kita
melirik sejarah “kainginan untuk merdeka” bukan karena “miskin kesejahteraan”,
tetapi lebih-lebih karena Papua memiliki sejarah kemerdekaan. Sejarah
kemerdekaan itu sudah ada dan sudah terjadi. Maka rakyat Papua butuh suatu
pengakuan atas sejarahnya. Rakyat Papua bukan membutuhkan Kesejahteraan.
Kalau rakyat Papua tidak mengharapkan adanya ide kesejahteraan. Tapi
mengapa ide ini diterapkan di Papua? Dalam hal ini, pemerintah rupanya salah
menilai dan menganalisa inti masalah di Papua. Maka tidak heran kalau rakyat
masih terus melakukan berbagai aksi demonstrasi atau aksi-aksi lain agar ada
pengakuan kedaulatan atas identitas diri sebagai manusia yang merdeka. Kesalahan
besar pemerintah dalam menerapkan kebijakan adalah suatu kegagalan dan
sekaligus hanya menciptakan malapetaka bagi rakyat. Rakyat minta lain malah
diberi yang lain. Ini suatu kebijakan yang bukan menyelamatkan, tetapi salah
kapra dan hanya melahirkan konflik.
Sloterdijk mengatakan negara hanya datang menguras rakyat. Pernyataan ini
bisa dibenarkan. Karena Negara Indonesia rupanya memiliki niat untuk berkuasa.
Keinginan untuk menguasai Papua itulah yang menghantar mereka untuk membuat ide
kesejahteraan yang boleh dianggap kolot.
Bila pemerintah Indonesia menyadari kekolotan ide kesejahteraan yang
berlaku di Papua, maka ide kesejahteraan harus dihapus. Ide kesejahteraan bukan
merupakan ide rakyat, tetapi ide Negara yang ingin menguasai dan menguras kekayaan
alam rakyat. Ide ini bukan untuk menyelamatkan dan membawa kedamaian, tetapi
lebih-lebih membawa kehancuran alam dan kehidupan masyarakat. Ide ini hanya
untuk mau menguasai dan bukan merakyat.
Perwujudan ide kesejahteraan ini menjadi kendala besar dan bahkan gagal
di lapangan. Kebanyakan rakyat masih berada di bawah garis hidup yang tidak
wajar. Makanan-minuman saja belum terpenuhi, apalagi pendidikan, kesehatan dan sebaginya. Kebutuhan secara jasmaniah
saja sudah demikian, apalagi kebutuhan rohaniah masih jauh dibawah zona
degradasi. Maka ide kesejahteraan tidak mampu menjamin rakyatnya. Penyakit
rakus oleh para penguasa tidak dapat dibendung oleh rakyat yang tidak punya
wewenang. Sekalipun ada perlawanan-perlawanan, tetapi tanggapannya tidak begitu
argumentatif masuk akal apalagi menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis rakyat.
Ide kesejahteraan ini pun belum mampu membangun kemanusiaan manusia
Papua. Ide kesejahteraan hanya menjadi pencuri bagi kekayaan rakyat. Para
penguasa Negara datang hanya untuk menjual rakyat demi kepentingannya. Ini
bukan suatu penyelamatan. Maka ide kesejahteraan di Papua harus dihapuskan dan
dikuburkan di dalam tanah.
Bagaimana
Menghapusnya?
Amat berharga untuk
dicermati pandangan Sloterdijk. Apa yang dilakukan Sloterdijk, menurut saya,
tidak merusak nilai-nilai moral demokrasi sosial. Ide Sloterdijk menyadarkan
kita, betapa pentingnya nilai-nilai moral dan politik Negara Kesejahteraan itu,
untuk terus dipikirkan, dikaji kelemahan serta kekuatannya, dan disadari arti
pentingnya.
Ide Kesejahteraan
yang diberlakukan di Papua, belum dikaji secara mendalam kelemahan dan
kekuatannya bagi rakyat. Ide kesejahteraan seperti dihamburkan begitu saja,
tanpa melihat kondisi dan keinginan rakyat. Kalau demikian adanya, untuk apa
ide kesejahteraan itu diberlakukan. Tidak pantas ide ini diberlakukan.
Pemerintah Negara
Indonesia belum mampu melihat kondisi nyata di Papua. Mungkinkah belum mampu
atau tidak mampu atau mampu tapi malas tahu, atau sengaja memberlakukan
kebijakan atau ide kesejahteraan yang tidak cocok dengan harapan rakyat Papua.
Di sini, pemerintah Negara mesti melihat akar persoalan dengan jernih, bening,
masuk akal, dan positif. Pikiran kita harus tertuju pada kejernihan analisa
masalah. Ini penting dan harus dilakukan segera. Kalau ini pun tidak dilakukan
ide kesejahteraan terkesan diterapkan oleh “Negara non-waras”. Mengapa
demikian? Karena memang harus dikatakan demikian. Rakyat meminta untuk
memulihkan situasi konflik, malah yang diberlakukan adalah mempertahankan konflik
dengan menerjunkan kebijakan-kebijkan yang tidak sesuai. Inikah tidak masuk
akal. Hanya bisa diilakukan oleh orang yang kurang waras.
Karena itu,
pemerintah Indonesia mesti menghapus ide kesejahteraan yang tidak sama sekali
membawa perubahan kedamaian dan ketentraman. Kalau memang Indonesia mau agar
Papua damai dan tentram, kita mesti bersama (antara Jakarta dan Papua) mesti
duduk bersama dan membicarakan bersama akar konflik di Papua. Istilah elitnya
adalah dialog. Dialog mesti diseriusi dan itu dimediasi oleh pihak ketiga yang
netral demi menyelesaikan masalah yang selama ini ada. Karena melalui dialog
kita bisa menemukan akar persoalan dan kebijakan yang bisa membawa ketentraman
bagi rakyat.
Kalau hal ini pun
tidak dilakukan dan hanya mempertahankan ide kesejahteraan, maka benar argumen
Sloterdijk Negara Kesejahteraan hanya ingin menguras dan mencuri kekayaan
rakyat dan bukan untuk membawa kedamaian dan kemakmuran dalam kehidupan. Negara
telah gagal mewujudkan kesejahteraan secara penuh, sehingga tidak membawa Papua
menuju keadilan dan kemakmuran. Beberapa bidang sangat terkesan lumpuh.
Pendidikan dan kesehatan tidak bermutu lagi. Ekonomi rakyat jatuh drastis.
Hutan rakyat dibabat habis. Karena itu, ide kesejahteraan hanya menguntungkan
para penguasa daripada memanusiakan manusia. Maka harus dihapus.
*) adalah Alumnus STFT “Fajar Timur” Abepura – Papua, Tinggal di Timika.
Sumber : http://muyevoice.blogspot.com
0 komentar :
Posting Komentar