Fileb Jacob Semuel Karma, salah seorang pejuang Papua Merdeka memberi dukungan bagi perwakilan di MSG. Semua pejuang Papua membagi tugas dan peran masing-masing.(Jubi/ist) |
Jayapura, –- Aktivis
pejuang Papua Merdeka Filep Jacob Semuel Karma yang akrab dipanggil
Jopie Karma telah mengingatkan agar pengalaman perwakilan Organisasi
Papua Merdeka (OPM) di Senegal jangan sampai terulang lagi. Peringatan
ini penting dalam menjalin kerja sama dengan Persaudaraan Ujung Tombak
Negara Negara Melanesia di Pasifik Selatan.
Namun yang jelas Karma mendukung upaya yang dilakukan West Papua National Coalition for Liberation
(WPNCL)untuk perjuangan Papua Merdeka sebagai wakil bangsa Papua di
MSG. Lebih lanjut kata Karma dalam perjuangan Papua Merdeka, semua
kelompok dalam faksi-faksi membagi-bagi peran dan tugas masing-masing
untuk mencapai kemerdekaan.
Mendiang Ben Tanggahma mantan Kepala Perwakilan Organisasi Papua
Merdeka(OPM) di Senegal pernah bertugas selama beberapa tahun di sana
dan mendapat dukungan dari pemerintah Senegal. Sayangnya beberapa tahun
kemudian pihak pemerintah Indonesia dengan kekuatan modal melakukan
pendekatan dan kerja sama ekonomi antara Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Senegal. Akibatnya kantor Perwakilan OPM di Senegal ditutup
karena kekuatan modal yang dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Kondisi ini diperparah lagi dengan munculnya faksi-faksi dalam
perjuangan Papua Merdeka, sehingga memperlemah perjuangan Papua Merdeka.
Ben Tanggahma mengatakan sebagai sesama bangsa kulit hitam memang
banyak negara-negara Afrika sangat mendukung Papua Merdeka tetapi
negara-negara Afrika yang miskin dan butuh dukungan kerja sama ekonomi.
Kondisi inilah yang terkadang mengenyampingkan kesamaan kulit dan ras
demi kepentingan kepentingan politik yang lebih besar.
Prof Dr Nazaruddin Sjamsoddin dalam bukunya berjudul, Integrasi Politik di Indonesia
menyebutkan secara umum bisa dikatakan OPM sebagai sebuah organisasi
perjuangan terbagi atas dua jenis gerakan yang masing-masingnya
mengkoordinasikan kegiatan politik dan militer.
Dalam penelitiannya tentang Integrasi Politik di Indonesia,
Nazaruddin menulis ada beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya gerakan
politik dan militer bekerja sama dengan baik dalam perjuangan Papua
Merdeka.
Faktor yang pertama tentu saja keterbatasan ruang gerak yang
disebabkan oleh operasi-operasi militer dan tindakan-tindakan lain yang
diambil oleh Pemerintah Indonesia.
Belakangan setelah reformasi di Indonesia 1998, salah satu pemimpin
Papua alm Theys Hiyo Elluay lebih memilih perjuangan damai dalam sopan
santun politik. Soalnya bagi Theys kemerdekaan Papua sudah ada pada 1
Desember 1961 dan tinggal mengembalikan hak-hak politik.
Kedua, adanya latar belakang suku yang berbeda di antara sesama
pemimpin OPM baik di kalangan militer maupun politiknya yang sering
menimbulkan perbedaan interpretasi atas sasaran-sasaran perjuangan dan
perbedaan kepentingan.
Ketiga adanya perbedaan iedologi di antara sesama pemimpin OPM; di
antara mereka ada yang berorientasi ke kanan dan ada pula yang kekiri.
Keempat, kekurangan dana membatasi kegiatan pemimpin-pemimpin politik
OPM, termasuk hubungan mereka dengan pemimpin gerakan militer. Kelima
pembatasan-pembatasan yang dikenakan pemerintah Papua New Guinea(PNG).
Kegiatan-kegiatan Papua Merdeka di luar negeri pertama kali berpusat
di Negeri Belanda di mana terdapat dua pentolan pemimpin Papua
masing-masing alm Markus Kaisiepo dan Nicolas Jouwe. Belakangan Nicolas
Jouwe , Frans Alberth Yoku dan Nicolash Meset kembali ke Indonesia dan
menjadi warga negara Indonesia
Selain di Negeri Belanda ada juga kelompok yang tinggal di Stockholm
Swedia pada 1972 sudah membuka perwakilan OPM di sana. Bahkan mendapat
dukungan dari sekolompok akademisi senior beraliran Marxis di
Universitas Stockholm, Swedia. Kantor ini ditutup pada 1979 ini karena
kekurangan dukungan dana. Begitupula perwakilan OPM di Dakar, Senegal
didirikan pada 1976 dan mendapat dukungan-dukungan dari negara-negara
Afrika selama beberapa tahun.
Markus Kaisiepo lebih percaya kepada kekuatan militer untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua sehingga bekerja sama dengan Door de eeuwen trouw,
sebuah Yayasan yang menjadi tulang punggung pemerintahan dalam
pengasingan RMS dibawah kepemimpinan Ir Manusama beberapa waktu lalu.
Pemimpin OPM di Dakar dan Stockhol lebih banyak dikuasai oleh
pemimpin muda seperti alm Ben Tanggahma.Perwakilan OPM di Dakar didukung
sepenuhnya oleh Presiden Senegal Senggor antara lain dengan menyalurkan
dana-dana swasta. Ben Tanggahma juga dibantu oleh beberapa negara
kelompok Brazzaville 13 yang memang tidak mendukung Indonesia dalam
pembahasan masalah Irian Barat di PBB sejak 1960 an.
Sedangkan dukungan di Pasifik Selatan, terutama negara-negara
Melanesia Vanuatu membuka perwakilan di sana pada 1983. Vanuatu yang
mendorong agar sesama negara Melanesia saling membantu dalam perjuangan
dan kepentingan politiknya. Agaknya pemerintah Papua New Guinea (PNG)
akan mempunyai posisi yang sulit karena berbatasan langsung dengan
Indonesia (Provinsi Papua). Apalagi Perdana Menteri (PM) pertama PNG
Michael Somare telah menegaskan tidak mendukung OPM di dalam perjuangan
Papua Merdeka.
Namun yang jelas letak geografis antara sesama negara Melanesia bisa
menjadi salah satu faktor pendukung guna menjalin kerja sama antar
persaudaraan Melanesia. Pesan Filep Karma soal perjuangan dan dukungan
negara-negara sesama Melanesia sangat penting tetapi jangan sampai
pengalaman di Senegal terulang lagi. Pasalnya perbedaan pendapat dalam
perjuangan politik dan juga dukungan dana bisa menjadi penghambat.
Apalagi pendekatan politik dan ekonomi pemerintah Indonesia bisa
menjadi posisi tawar bagi negara-negara Ujung Tombak Persaudaran
Melanesia. Perjuangan Papua Merdeka juga akan mendapat tekanan dari tiga
negara penting di Pasifik Selatan masing-masing Papua New Guinea(PNG),
Selandia Baru dan Australia. Ketiga negara ini mempunyai hubungan
politik dan ekonomi yang sangat baik dengan pemerintah Indonesia.(Jubi/Dominggus A Mampioper)
Sumber : www.tabloidjubi.com
0 komentar :
Posting Komentar