Jayapura, - Sekretaris Pokja Adat Majelis Rakyat Papua (MRP) Yakobus Dumupa, S.IP
menilai, penagkapan terhadap sejumlah aktivis yang dilakukan oleh Kepolisian
Indonesia selama ini menyimpang jauh dari semangat Undang-Undang Nomor 9 tahun
1998 yang mana lahir setelah era Soeharto digulingkan dan masuk pada era
reformasi.
Menurut pandangannya, perbandingan antara demonstrasi
yang dilakukan di Papua dan di luar Papua selama ini jauh berbeda.
Aksi demonstrasi yang dilakukan di luar Papua tetap
dalam konteks semangat reformasi sehingga reformasi yang identik dengan
kebebasan mengeluarkan pendapat terlihat sesuatu yang sangat demokratis.
"Begitu setelah reformasi itu terjadi, mereka
keluarkan undang-undang nomor 9 tahun 1998. Kenapa?," tanya Dumupa,
"Karena undang-undang itu lahir dari rasa kecewa kebebasan
berekspresi yang dibungkam selama 32 tahun."
"Begitu demokrasi muncul, ya, mereka harus
melahirkan itu dulu untuk membuka pintu yang tertutup, supaya begitu masuk era
yang baru, orang punya kesempatan itu bisa menyampaikan pendapat. Kalau
dipikir-pikir dari sejarah lahirnya undang-undang itu memang harus begitu jadi
mereka tidak tunggu waktu yang lama,"" tutur pria yang sering disapa
Jack ini di ruang kerjanya, Rabu (18/09/2013) siang.
Tapi, menurut Dumupa, semangat itu bertahan terus
menerus di Papua sampai berakhir setelah Kapolda yang saat ini menjabat.
"Semangat reformasi untuk Papua berakhir setelah
masa pengangkatan Kapolda yang sekarang." tuturnya.
Ia mengajar semua melihat realita yang terjadi selama
ini. Menurutnya, ada dua hal terjadi selama ini di Papua.
Pertama, negara Indonesia masih trauma dengan
dekolonisasi Timor Leste dan Penangkapan akan menimbulkan kesan buruk dari
pihak lain. Polisi atau Negara ini masih trauma atau masih berada dalam
bayang-bayang ketakutan dekolonisasi Timor Leste.
"Akibat dari trauma itu, mereka selalu berpikir
bahwa, kalo orang Papua demo jangan sampai dong merdeka, kalo mereka tulis buku
jangan sampe dong merdeka, kalo mereka buat begini begitu jangan sampai dong
merdeka." jelasnya.
"Sehingga atas dasar ketakutan adanya
dekolonisasi Timor Leste dari Indonesia itu," lanjutnya, "Maka
kebijakan yang dipakai Kapolda Papua itu dia jadi lain atau menyimpang jauh
dari semangat Undang-Undang nomor 9 tahun 1998."
"Jadi polisi di Papua itu selalu
beranggapan bahwa kebebasan berekspresi atau aksi demonstrasi di Papua itu
harus mendapat izin dari Kepolisian. Padahal, kalau lihat pada
Undang-Undang tersebut, seharusnya tidak demikian jelas penulis muda yang
berhasil cetak tujuh buah buku ini," lanjutnya.
Menurut Yakobus, sebenarnya menurut undang-undang 9
tahun 1998, pendemo hanya memberikan surat pemberitahuan kepada pihak
kepolisian, sehingga tugas kepolisian hanya melakukan pengamanan agar tidak
mengganggu ketertiban umum.
"Sebenarnya pendemo itu hanya menyampaikan kepada
pihak kepolisian bahwa kami mau demo dengan demikian pihak kepolisian tahu
bahwa tugas saya itu mengamankan aksi demonstrasi itu agar tidak mengganggu
ketertiban umum." tegasnya memprotes kebijakan Polda di Papua selama ini.
"Jadi mereka hanya mengawal proses demonstrasi
itu dari awal sampai selesai. Tetapi yang terjadi di Papua mereka melarang
dengan alasan tidak ada surat izin. Padahal menurut undang-undang itu yang
diperlukan hanya surat pemberitahuan ke pihak kepolisian, begitu diberitahukan
tidak perlu polisi mengeluarkan izin, polisi punya tugas adalah hanya
mempersiapkan proses pengamanan selama aksi demonstrasi," ungkap
sekretaris Pokja Adat utusan dari wilayah Mee-Pago ini.
Tindakan yang diambil oleh polisi, masih dari Yakobus,
justru akan menimbulkan aspirasi Papua merdeka karena melarang aksi demonstrasi
di zaman reformasi Indonesia dan melarang aksi demonstrasi di zaman
keterbukaan.
"Penangkapan terhadap aktivis Papua seperti
sekarang ini justru akan mendapatkan kecaman atau kesan yang kurang bagus dari
pihak lain.
"Negara lain akan beranggapan, Papua itu sudah
masuk pada zaman kebebasan mengeluarkan pendapat jadi tidak perlu melakukan
hal-hal seperti ini, Karena zaman ini adalah zaman bebas sebenarnya tidak perlu
takut karena hanya karena demonstrasi," katanya.
Kemudian berkaitan dengan orang-orang yang ditangkap
akhir-akhir ini Dumupa justru berpikir kalau orang Papua bahkan bila beratus
ribu orang atau jutaan orang Papua mau ditangkap, masalah Papua itu tidak bisa
dianggap selesai.
Karena masalah yang disampaikan orang Papua terhadap
pihak penguasa itu perang ideologi. Perang ideologi itu tidak akan diselesaikan
dengan bunuh orang, tangkap orang atau penjarakan orang dan sebagainya."
kata alumus STPMD "APMD" Yogyakarta ini.
Jadi kata Dumupa, perang ideologi itu harus
diselesaikan dengan cara orang berbicara. "Oleh karena itu, kemarin dalam
evaluasi otsus orang Papua mengatakan kalau Otsus di Papua sudah gagal jadi
kita harus melakukan dialog."
Dumupa berharap, perang ideologi di Papua
diselesaikan dengan bijak.
"Bagaimana pun caranya, segera lepaskan aktivis
Papua yang selama ini ditangkap pihak kepolisian. Dan masalah Papua harus
diselesaikan melalui dialog," tutupnya. (MS)
SUMBER : www. MAJALAH SELANGKAH -
0 komentar :
Posting Komentar