Aparat TNI/Polri saat mengamankan aksi demo damai di Jayapura, Papua (Foto: Ist) |
Oleh: Naftali Edoway*
Perang, itukah tugas TNI di Papua sekarang? Pertanyaan sederhana ini
muncul setelah saya membaca berita di beberapa media nasional dan lokal
bahwa TNI diberi kepercayaan oleh presiden melalui UP4B untuk menangani
proyek jalan senilai, Rp. 425 M tanpa tender, tapi lewat penunjukan
langsung melalui Kepres No.40/2013.
Di tanah Papua, sejak 1961 hingga bergulirnya reformasi peran militer
Indonesia sangat dominan. Mereka campur tangan dalam setiap kehidupan
sosial dan politik masyarakat.
Mereka menentukan siapa saja yang boleh menjadi pejabat-pejabat
pemerintahan. Campur tangan dan intervensi ini bisa ditelusuri jauh ke
belakang, sejak jaman Pepera, dimana tentara merekayasa hak memilih
rakyat Papua yang pada akhirnya memaksa bergabung dengan Indonesia.
Pada masa Orde Baru, untuk mengamankan Papua tentara melakukan
berbagai bentuk operasi militer. Banyak rakyat Papua yang terbunuh
secara sadis diujung bedil negara, lantaran dituduh sebagai separatis,
OPM, GPK, Subversif dll.
Pelanggaran HAM masif benar-benar terjadi di era ini, dan semua itu dilakukan atas nama keamanan dan kepentingan nasional.
Sebelum masa reformasi, tentara menguasai semua jabatan-jabatan sipil
seperti gubernur dan bupati, serta mendominasi sektor ekonomi dan
bisnis. Tibalah saat reformasi, dimana rakyat menuntut tentara supaya
kembali ke baraknya (back to barack). Namun, dalam berbagai kesempatan hingga dewasa ini dominasi peranan militer itu selalu saja tampak.
Peranan tentara di tanah Papua dilakukan lewat politik total war atau
perang semesta. Dalam konsep ini musuh bukanlah pihak yang berasal dari
pihak luar melainkan musuh itu berada di halaman sendiri dan siap
menerkam negara dari dalam.
Dari beberapa tulisan yang saya baca, strategi utama dari konsep
seperti itu adalah keterkaitan antara keamanan nasional dan pembangunan
nasional. Artinya, militer kapan saja bisa masuk ke dunia sipil atas
nama pembangunan. Saya pikir itulah konsep yang sangat kuat berlangsung
di tanah Papua.
Penunjukkan langsung kepada TNI untuk menangani 14 proyek jalan trans
di Papua ini adalah praktek total “perang” negara. TNI diberi tugas
ganda oleh Negara untuk menjaga keamanan nasional, sambil menjalankan
pembangunan nasional. Kebijakan ini muncul setelah rakyat Papua
menyatakan Otsus gagal.
Jakarta menuduh pemerintah daerah dan pengusaha sebagai biang dari
kegagalan Otsus itu. Katanya, banyak dana telah digulirkan untuk bangun
Papua namun dihilangkan oleh para elit politik dan pengusaha di daerah.
Jakarta juga memang menunjuk Bambang Darmono melalui UP4B untuk
membangun Papua (dari sisi politik, ekonomi, pendidikan, hukum dan HAM).
Tugas negara itu rupanya tak mampu diselesaikan oleh UP4B sehingga
terakhir TNI ditunjuk untuk menyelesaikan. Apa lagi masa kerja UP4B
akan berakhir sebentar lagi. Pembentukan UP4B sebenarnya hanya siasat
negara menyelamatkan mukanya dari kritikan asing terutama negara-negara
donor yang punya perhatian ke Papua.
Ada beberapa hal kenapa negara melimpahkan proyek 425 milyar itu
kepada TNI: Pertama, untuk mempertahankan keutuhan NKRI. Kedua,
Indonesia membutuhkan jaringan jalan untuk kelancaran pergerakan
pasukan. Ini diperlukan untuk mengantisipasi kehadiran pasukan AS di
Australia tapi juga memadamkan gerakan kelompok yang dianggap separatis.
Ketiga, Jakarta sudah tidak percaya lagi kepada pemerintah daerah dan
kontraktor yang ada. Karena Jakarta merasa ditipu. Keempat, Jakarta
hendak tunjukkan kepada dunia internasional bahwa mereka sedang bangun
Papua.
Dan barangkali dengan ini pemerintah Jakarta ingin menyampaikan bahwa tuntutan rakyat untuk dialog bukan sesuatu yang mendesak.
Namun yang perlu disadari, setelah keinginan ‘Papua Merdeka” mencuat, peran TNI/Polri sangat dominan dalam mengamankan Papua.
Strategi yang dibangun pun berbagai macam, mulai dari mempolisikan dan memiliterkan rakyat sipil (Police/Military Community =
menjadikan masyarakat sebagai mata-mata negara) sampai kepada
kerterlibatannya dalam politik pilkada dan proyek-proyek pembangunan
yang besar.
Yang paling nyata kita lihat tiga tahun terakhir, yakni mereka
melakukan kegiatan pengobatan massal dan bantuan-bantuan sosial lainnya
kepada masyarakat Papua.
Ini sebenarnya bentuk sabotase tugas dinas kesehatan dan dinas
sosial. Sejak pengambil alihan tugas itu dua lembaga negara terakhir itu
tak membuat kegiatan apa-apa.
Kegiatan TNI/Polri yang lainnya adalah pendekatan budaya. Ini
terlihat saat perayaan hari-hari besar orang Papua atau pun Indonesia,
dimana rakyat diajak untuk bakar batu (Barapen) bersama.
Pendekatan budaya seperti ini oleh Orang Asli Papua dilihat sebagai
bentuk pengalihan isu atau upaya mematikan keinginan lepas dari NKRI.
Bentuk lainnya adalah pembungkaman berdemokrasi, khususnya terhadap hak
berekspresi dan atau hak bersuara/hak berpendapat secara terbuka.
Pertanyaannya, mengapa ini dilakukan? Jika kita kembali ke konsep
“perang total” di atas, maka Orang Asli Papua adalah musuh negara. Musuh
yang dianggap bisa membahayakan keamanan ataupun keutuhan negara, kapan
saja.
Oleh karena, itu TNI/Polri harus memegang kontrol terhadap semua
aspek kehidupan masyarakat di Papua. Mereka harus masuk ke wilayah sipil
atas nama pembangunan untuk mengamankan negara. Kepercayaan negara
untuk menangani proyek jalan dengan dana senilai 425 milyar itu adalah
bentuk nyata dilapangan.
Model yang dipraktekkan TNI/Polri saat ini sebenarnya sudah
dipraktekkannya sejak tahun 1950an. Setelah pembubaran PKI dan
pembantaian besar-besaran orang Komunis, praktek militer untuk menguasai
wilayah sipil terus digencarkan dengan alasan “darurat”.
Proyek yang dijalankan militer saat itu adalah ABRI Masuk Desa (AMD)
dengan membangun jembatan, jalan raya, dan fasilitas umum lainnya.
Jika demikian, pemberian proyek tadi bisa kita nilai sebagai upaya
negara menjawab darurat pembangunan tapi apakah ini juga menunjukkan
darurat politik, keamanan dan kemanusiaan?
Apapun itu, Papua saat ini (dalam kaca mata Jakarta) berada dalam
situasi darurat. Dan ini membenarkan pernyataan rakyat Papua tahun
2008/2009 bahwa “Papua Zona Darurat”.
Pertanyaannya, kalau benar Jakarta melihat Papua dalam kaca mata
darurat, mengapa tidak membuka diri untuk dialog? Apakah proyek jalan
senilai 425 itu dianggap solusi?
Entalah! Tapi TNI di Papua telah masuk dalam wilayah sipil dan itu tidak akan menyelesaikan masalah.
“Naftali Edoway adalah pemerhati sosial, tinggal di Jayapura, Papua
Sumber : http://suarapapua.com
0 komentar :
Posting Komentar