(Meky Yeimo) |
Dalam
konteks Papua diperlukan politik identitas yang mempertimbangkan faktor
geo-politis dan geo-ekonomis. Amat tidak memadai jika politik identitas
hanya diterjemahkan dengan kehadiran presiden dalam perayaan Natal
bersama rakyat Papua, atau keputusan membuat Majelis Rakyat Papua.
Penolakan otus Plus muncul karena persepsi, pemerintah indonesia tidak
membuat terobosan berarti guna mengurai ketidakadilan yang dirasakan rakyat Papua.
Rakyat Papua kian imun terhadap bujuk-rayu, janji pembangunan dan pemerataan. Mereka takkan berhenti menuntut bukti bahwa nasionalisme Indonesia benar-benar membuat mereka senasib dan sejajar bangsa-bangsa di dunia. Bukan ”nasionalisme yang menjerang-jerang, yang mengejar kepentingannya sendiri, dan nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi,” seperti manipulasi ilayah papua kedlam Indonesia, keputusan baha 25 tahun kemudiaan memerdekaan sendiri. Kenyataannya masyarakat buat mosi tidk percaya kepada NKRI.
Rakyat Papua kian imun terhadap bujuk-rayu, janji pembangunan dan pemerataan. Mereka takkan berhenti menuntut bukti bahwa nasionalisme Indonesia benar-benar membuat mereka senasib dan sejajar bangsa-bangsa di dunia. Bukan ”nasionalisme yang menjerang-jerang, yang mengejar kepentingannya sendiri, dan nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi,” seperti manipulasi ilayah papua kedlam Indonesia, keputusan baha 25 tahun kemudiaan memerdekaan sendiri. Kenyataannya masyarakat buat mosi tidk percaya kepada NKRI.
Namun, sejauh ini belum ada gelagat pemerintah memikirkan politik identitas. Politik identitas atau strategi kebudayaan mungkin dilihat sebagai kerja jangka panjang yang berbelit-belit dan tidak praktis karena pemerintah terbiasa mendekati masalah secara pragmatis: militeristik berbasis kekerasan. [Ancaman]
Sumber : www.star-papua.com
Blogger Comment
Facebook Comment