Tujuh wilayah adat di Papua. Foto: Ist. |
Pernyataan Sikap Mahasiswa Universitas Cendrawasih, Jayapura, Papua
Transmigrasi
Tidak ada satu orang pun yang dapat membatah bahwa Papua sangat kaya dengan adat dan budaya, terbentang dari Fak-fak ke Merauke, dari Mapia sampai ke Kimaam. Kekayaan kebudayaan yang mencapai ratusan ini tidak dimiliki oleh wilayah lain di belahan bumi ini. Kekayaan yang sangat menggiurkan bagi siapa saja yang mengenal serta mengetahuinya. Dengan luas wilayah yang begitu besar, namun bertolak belakang dengan jumlah penduduk yang mendiaminya.
Sangatlah miris, jika kita melihat data factual terkait jumlah penduduk Papua mulai semakin berkurang dari tahun ke tahun, di mana kita melihat data factual penduduk asli Papua dan non Papua sejak 1971. Pada 1971 misalnya, dari total 923.000 penduduk Papua, 887.000 jiwa adalah penduduk asli Papua, sementara 36.000 adalah penduduk non Papua. Ini berarti 96 % (persen) penduduk Papua adalah penduduk asli Papua. Pada 1990 terdapat 1.215.897 penduduk asli Papua dan 414.210 penduduk non Papua dari total 1.630,107 jiwa penduduk Papua. Populasi penduduk asli Papua turun dari 96 persen menjadi 59 persen sejak 1971 hingga 2005.
Sementara populasi non-Papua meningkat proporsinya dari 4 persen menjadi 41 persen dalam rentang waktu yang sama. Dengan demikian, dalam kurun waktu 34 tahun, penduduk asli Papua hanya bertambah sebanyak 75.7% dari jumlah penduduk asli Papua pada tahun 1971.
Namun, jumlah penduduk non-Papua meningkat sangat tajam dari 36.000 jiwa menjadi 1.087.694 jiwa, atau 30 kali lipat jumlah penduduk non-Papua pada tahun 1971. Selama rentang waktu 34 tahun ini laju pertambahan penduduk non-Papua sebesar 10,5%. Hingga pertengahan tahun 2010 jumlah orang asli Papua mencapai 1,730.336 atau 47.89 %.
Sementara non Papua mencapai 1,882,517 atau 52,10%. Di akhir tahun 2010, orang asli Papua mencapai 1,760,557 atau 48.73%. Populasi non Papua mencapai 1,852,297 atau 51.27%. jadi, jumlah keseluruhan penduduk Papua hingga tahun 2010 sebanyak 3,612,854 atau 100%.
Selain masalah social, namun juga akibat pola represif aparat keamanan (Operasi Militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), operasi Sapu Bersih 1 dan II (1981) Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984) dan Operasi Sapu Bersih (1984). Belum lagi, Operasi militer yang di Mapenduma yang merenggut banyak korban penduduk sipil (1996) dan peristiwa pelanggaran hak asasi di Wasior (2001), Operasi militer di Wamena (2003) dan Kabupaten Puncak Jaya (2004 ).
Akar masalah lain adalah lambannya pertumbuhan penduduk karena migrasi penduduk dari luar Papua yang terlalu besar. Dan berdasarkan data KPU tahun 2014, jumlah penduduk di Propinsi Papua 4.224.232, sedangkan dalam jumlah tersebut yang paling mendominasi adalah penduduk non-Papua dengan jumlah 2.689.363 jiwa.
Jika berangkat dari data statistik di atas, maka pantaskah Papua untuk dijadikan objek transmigrasi sesuai program Kabinet Kerja Presiden Jokowi-dan Menteri Desa-Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi serta Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Dengan jumlah penduduk yang semakin minoritas dari tahun ketahun, dengan laju pertumbuhan penduduk yang kurang dari asas kewajaran? Hal ini tentu akan memperparah nasib dan keadaan orang Papua, dengan semakin termarginalnya orang asli Papua di atas tanahnya sendiri. Di samping orang Papua belum siap untuk bersaing secara ekonomi akibat dimanjakannya orang Papua terhadap gelontoran triliunan dana Otsus serta UP4B. Dan juga bidang Sosial Politik, khususnya pada wilayah yang merupakan objek Besar transmigasi, semisal Merauke, di mana dari 28 kursi yang tersedia dalam pemilihan DPRD Kabupaten Merauke, Orang Asli Papua hanya mendapat 3 kursi.
Dana Wilayah transmigrasi di Kabupaten Keerom, dari 25 anggota DPRD, 23 kursi dikuasai kaum migrant dan hanya 2 kursi DPRD diduduki orang asli Papua. Ini menjadi bukti nyata bahwa memang orang Papua sudah dan sedang termarginalisasi dalam semua bidang atas tanahnya sendiri, baik pada parlemen maupun birokrasi.
Selain itu, berangkat dari jumlah penduduk Papua pada tahun ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Papua mencatat bahwa jumlah penangguran di Provinsi Papua pada Agustus 2014 mencapai 57 ribu lebih orang atau 3,44 persen dari total angkatan kerja. Dan tentu akan diperparah lagi dengan isu akan ditambahnya jumlah transmigrasi setiap triwulannya sebanyak 50.000 jiwa pada tahun 2015 nanti. Yang akan memperparah angka pengangguran, dengan melihat para transmigrasi merupakan kelompok yang belum memiliki pekerjaan.
Hal ini akan lebih memperparah nasih orang Papua, di mana kelompok transmigrasi ini merupakan kelompok yang terlatih dan siap bersaing pada segala bidang. Sehingga melihat realita yang akan timbul akibat dari transmigrasi di atas maka kami Mahasiswa Universitas Cenderawasih dengan tegas MENOLAK TRANSMIGRASI ke Papua.
Daerah Otonomi Baru (DOB)
Berdasarkan data jumlah penduduk Papua di atas, maka kami rakyat dan Mahasiswa Papua memandang semua kebijakan Jakarta dalam perspektif Papua. Berangkat dari syarat Pemekaran suatu wilayah, kebijakan pemekaran dan transmigrasi nampaknya merupakan suatu hal yang sangat tidak logis. Mulai dari syarat Administrasi dan Fisik Kewilayahan sampai dengan masa depan alam dan bangsa Papua.
Mengingat kepadatan Penduduk Provinsi Papua tidak mengalami peningkatan secara signifikan sejak tahun 1971. Pada tahun 1971 kepadatan penduduk Provinsi adalah 2 orang penduduk tiap 1 km, kemudian pada tahun 2005 kepadatan penduduk di Papua tidak mengalami peningkatan tiap Km hanya dihuni oleh 7 orang. Jumlah tersebut di atas berbeda dengan Provinsi lain di Indonesia, misalnya Jawa Barat 757 1Km, Sumatera Utara 169 orang tiap 1Km.
Bila dianalisis maka ternya pemerintah Provinsi Papua kurang memperlihatkan aspek penataan ruang dan penduduk lokal di Papua. Sehingga sangatlah tidak masuk akal jika suatu wilayah di Papua dimekarkan dan dipadati dengan penduduk transmigrasi. Ini tentunya adalah sesuatu pemaksaan dan tentu melanggar syarat-syarat pemekaran suatu wilayah sesuai UU Pemerintah Daerah 32 tahun 2004 Pasal 4 dan 5, serta PP78 tahun2007. Jadi apapun segala bentuk Daerah Otonomi Baru (DOM) atau semua kebijakan Jakarta termasuk pemekaran apapun, kami Mahasiswa Universitas Cenderawasih MENOLAKNYA DENGAN TEGAS.
Dan berdasarkan dua bagian penjabaran di atas, yakni transmigrasi dan daerah otonomi baru. Maka kami Mahasiswa Universitas Cenderawasih memandang ini sebagai suatu masalah besar atas tanah Papua, sehingga kami menyatakan sikap sebagai berikut. Pernyaan kami itu antara lain:
Pertama, Kami mahasiswa Universitas Cenderawasih dengan tegas menolak dengan tegas kami menolak pola transmigrasi Rancangan pemerintah pusat-Presiden Jokowi. Karena orang Papua belum siap bersaing secara ekonomi, dan kami telah terpinggirkan dalam hidup sosial-ekonomi, politik dan budaya serta telah tereksploitasi dalam agama, pendidikan dan kesehatan dewasa ini.
Kedua, Kami Mahasiswa Universitas Cenderawasih dengan tegas menolak transmigrasi karena akan memperparah keadaan Papua, sebab akan menimbulkan konflik horizontal akibat kecemburuan sosial. Dan tentu dalam hal ini aparat keamanan akan dilibatkan secara sistematis. Sesuai pernyataan menteri desa bahwa akan menjadikan pola transmigrasi menjadi sesuatu sesuatu agenda yang tidak menakutkan karena akan melibatkan aparat keamanan guna menjaga keamanan dan kesejahteraan para transmigran. Dan tentu ini akan menimbulkan masalah baru.
Ketiga, Kami Mahasiswa Universitas Cenderawasih dengan tegas meminta kepada pemerintah agar menghentikan pemekaran atau daerah otonomi baru (DOB) atas tanah Papua, dan stop mengatasnamakan keinginan rakyat dan kata MERDEKA dalam menggertak pemerintah pusat sebagai tolak ukur guna menggoalkan NAFSU setiap elit Papua yang ingin merancang pemekaran.
Demikian pernyataan sikap kami, Mahasiswa Universitas Cenderawasih untuk menjadi perhatian kita bersama orang asli Papua yang mempunyai segala hikmat dan kuasa memberkati dan melindungi kita semua.
Amin..
Mahasiswa Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua.
Transmigrasi
Tidak ada satu orang pun yang dapat membatah bahwa Papua sangat kaya dengan adat dan budaya, terbentang dari Fak-fak ke Merauke, dari Mapia sampai ke Kimaam. Kekayaan kebudayaan yang mencapai ratusan ini tidak dimiliki oleh wilayah lain di belahan bumi ini. Kekayaan yang sangat menggiurkan bagi siapa saja yang mengenal serta mengetahuinya. Dengan luas wilayah yang begitu besar, namun bertolak belakang dengan jumlah penduduk yang mendiaminya.
Sangatlah miris, jika kita melihat data factual terkait jumlah penduduk Papua mulai semakin berkurang dari tahun ke tahun, di mana kita melihat data factual penduduk asli Papua dan non Papua sejak 1971. Pada 1971 misalnya, dari total 923.000 penduduk Papua, 887.000 jiwa adalah penduduk asli Papua, sementara 36.000 adalah penduduk non Papua. Ini berarti 96 % (persen) penduduk Papua adalah penduduk asli Papua. Pada 1990 terdapat 1.215.897 penduduk asli Papua dan 414.210 penduduk non Papua dari total 1.630,107 jiwa penduduk Papua. Populasi penduduk asli Papua turun dari 96 persen menjadi 59 persen sejak 1971 hingga 2005.
Sementara populasi non-Papua meningkat proporsinya dari 4 persen menjadi 41 persen dalam rentang waktu yang sama. Dengan demikian, dalam kurun waktu 34 tahun, penduduk asli Papua hanya bertambah sebanyak 75.7% dari jumlah penduduk asli Papua pada tahun 1971.
Namun, jumlah penduduk non-Papua meningkat sangat tajam dari 36.000 jiwa menjadi 1.087.694 jiwa, atau 30 kali lipat jumlah penduduk non-Papua pada tahun 1971. Selama rentang waktu 34 tahun ini laju pertambahan penduduk non-Papua sebesar 10,5%. Hingga pertengahan tahun 2010 jumlah orang asli Papua mencapai 1,730.336 atau 47.89 %.
Sementara non Papua mencapai 1,882,517 atau 52,10%. Di akhir tahun 2010, orang asli Papua mencapai 1,760,557 atau 48.73%. Populasi non Papua mencapai 1,852,297 atau 51.27%. jadi, jumlah keseluruhan penduduk Papua hingga tahun 2010 sebanyak 3,612,854 atau 100%.
Selain masalah social, namun juga akibat pola represif aparat keamanan (Operasi Militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), operasi Sapu Bersih 1 dan II (1981) Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984) dan Operasi Sapu Bersih (1984). Belum lagi, Operasi militer yang di Mapenduma yang merenggut banyak korban penduduk sipil (1996) dan peristiwa pelanggaran hak asasi di Wasior (2001), Operasi militer di Wamena (2003) dan Kabupaten Puncak Jaya (2004 ).
Akar masalah lain adalah lambannya pertumbuhan penduduk karena migrasi penduduk dari luar Papua yang terlalu besar. Dan berdasarkan data KPU tahun 2014, jumlah penduduk di Propinsi Papua 4.224.232, sedangkan dalam jumlah tersebut yang paling mendominasi adalah penduduk non-Papua dengan jumlah 2.689.363 jiwa.
Jika berangkat dari data statistik di atas, maka pantaskah Papua untuk dijadikan objek transmigrasi sesuai program Kabinet Kerja Presiden Jokowi-dan Menteri Desa-Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi serta Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Dengan jumlah penduduk yang semakin minoritas dari tahun ketahun, dengan laju pertumbuhan penduduk yang kurang dari asas kewajaran? Hal ini tentu akan memperparah nasib dan keadaan orang Papua, dengan semakin termarginalnya orang asli Papua di atas tanahnya sendiri. Di samping orang Papua belum siap untuk bersaing secara ekonomi akibat dimanjakannya orang Papua terhadap gelontoran triliunan dana Otsus serta UP4B. Dan juga bidang Sosial Politik, khususnya pada wilayah yang merupakan objek Besar transmigasi, semisal Merauke, di mana dari 28 kursi yang tersedia dalam pemilihan DPRD Kabupaten Merauke, Orang Asli Papua hanya mendapat 3 kursi.
Dana Wilayah transmigrasi di Kabupaten Keerom, dari 25 anggota DPRD, 23 kursi dikuasai kaum migrant dan hanya 2 kursi DPRD diduduki orang asli Papua. Ini menjadi bukti nyata bahwa memang orang Papua sudah dan sedang termarginalisasi dalam semua bidang atas tanahnya sendiri, baik pada parlemen maupun birokrasi.
Selain itu, berangkat dari jumlah penduduk Papua pada tahun ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Papua mencatat bahwa jumlah penangguran di Provinsi Papua pada Agustus 2014 mencapai 57 ribu lebih orang atau 3,44 persen dari total angkatan kerja. Dan tentu akan diperparah lagi dengan isu akan ditambahnya jumlah transmigrasi setiap triwulannya sebanyak 50.000 jiwa pada tahun 2015 nanti. Yang akan memperparah angka pengangguran, dengan melihat para transmigrasi merupakan kelompok yang belum memiliki pekerjaan.
Hal ini akan lebih memperparah nasih orang Papua, di mana kelompok transmigrasi ini merupakan kelompok yang terlatih dan siap bersaing pada segala bidang. Sehingga melihat realita yang akan timbul akibat dari transmigrasi di atas maka kami Mahasiswa Universitas Cenderawasih dengan tegas MENOLAK TRANSMIGRASI ke Papua.
Daerah Otonomi Baru (DOB)
Berdasarkan data jumlah penduduk Papua di atas, maka kami rakyat dan Mahasiswa Papua memandang semua kebijakan Jakarta dalam perspektif Papua. Berangkat dari syarat Pemekaran suatu wilayah, kebijakan pemekaran dan transmigrasi nampaknya merupakan suatu hal yang sangat tidak logis. Mulai dari syarat Administrasi dan Fisik Kewilayahan sampai dengan masa depan alam dan bangsa Papua.
Mengingat kepadatan Penduduk Provinsi Papua tidak mengalami peningkatan secara signifikan sejak tahun 1971. Pada tahun 1971 kepadatan penduduk Provinsi adalah 2 orang penduduk tiap 1 km, kemudian pada tahun 2005 kepadatan penduduk di Papua tidak mengalami peningkatan tiap Km hanya dihuni oleh 7 orang. Jumlah tersebut di atas berbeda dengan Provinsi lain di Indonesia, misalnya Jawa Barat 757 1Km, Sumatera Utara 169 orang tiap 1Km.
Bila dianalisis maka ternya pemerintah Provinsi Papua kurang memperlihatkan aspek penataan ruang dan penduduk lokal di Papua. Sehingga sangatlah tidak masuk akal jika suatu wilayah di Papua dimekarkan dan dipadati dengan penduduk transmigrasi. Ini tentunya adalah sesuatu pemaksaan dan tentu melanggar syarat-syarat pemekaran suatu wilayah sesuai UU Pemerintah Daerah 32 tahun 2004 Pasal 4 dan 5, serta PP78 tahun2007. Jadi apapun segala bentuk Daerah Otonomi Baru (DOM) atau semua kebijakan Jakarta termasuk pemekaran apapun, kami Mahasiswa Universitas Cenderawasih MENOLAKNYA DENGAN TEGAS.
Dan berdasarkan dua bagian penjabaran di atas, yakni transmigrasi dan daerah otonomi baru. Maka kami Mahasiswa Universitas Cenderawasih memandang ini sebagai suatu masalah besar atas tanah Papua, sehingga kami menyatakan sikap sebagai berikut. Pernyaan kami itu antara lain:
Pertama, Kami mahasiswa Universitas Cenderawasih dengan tegas menolak dengan tegas kami menolak pola transmigrasi Rancangan pemerintah pusat-Presiden Jokowi. Karena orang Papua belum siap bersaing secara ekonomi, dan kami telah terpinggirkan dalam hidup sosial-ekonomi, politik dan budaya serta telah tereksploitasi dalam agama, pendidikan dan kesehatan dewasa ini.
Kedua, Kami Mahasiswa Universitas Cenderawasih dengan tegas menolak transmigrasi karena akan memperparah keadaan Papua, sebab akan menimbulkan konflik horizontal akibat kecemburuan sosial. Dan tentu dalam hal ini aparat keamanan akan dilibatkan secara sistematis. Sesuai pernyataan menteri desa bahwa akan menjadikan pola transmigrasi menjadi sesuatu sesuatu agenda yang tidak menakutkan karena akan melibatkan aparat keamanan guna menjaga keamanan dan kesejahteraan para transmigran. Dan tentu ini akan menimbulkan masalah baru.
Ketiga, Kami Mahasiswa Universitas Cenderawasih dengan tegas meminta kepada pemerintah agar menghentikan pemekaran atau daerah otonomi baru (DOB) atas tanah Papua, dan stop mengatasnamakan keinginan rakyat dan kata MERDEKA dalam menggertak pemerintah pusat sebagai tolak ukur guna menggoalkan NAFSU setiap elit Papua yang ingin merancang pemekaran.
Demikian pernyataan sikap kami, Mahasiswa Universitas Cenderawasih untuk menjadi perhatian kita bersama orang asli Papua yang mempunyai segala hikmat dan kuasa memberkati dan melindungi kita semua.
Amin..
Mahasiswa Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua.
Sumber ; www.majalahselangkah.com
Blogger Comment
Facebook Comment