Ilustrasi. Ist. |
Mahasiswa Papua di Manado, Makassar, Kalimantan, Sumatera, Surabaya, Malang, Bandung, Semarang, Solo, Salatiga, Bali, Yogyakarta, Jakarta, kau paham ini: Indonesia tak hargai kau sebagai manusia!
Saya sebagai anak bangsa tidak menerima mahasiswa kami diperlakukan seperti binatang oleh keluarga besar negara Indonesia dari Sabang sampai Ambonia minus Maluku (Republik Maluku Selatan), Aceh (Gerakan Aceh Merdeka) dan Kalimantan (Borneo Bebas).
Anda mahasiswa, benarlah ini, bahwa anda mulai susah mencari kos dan kontrakan sebagai tempat tinggal? Apakah kata-kata anda, tingkah laku anda sering ditertawakan di kampus dan di lingkungan sekitarmu?
Apakah kau sering dinamai monyet dan hitam? Bila anda membeli barang, apakah kadang harga menjadi lebih mahal untuk anda yang dari Papua? Apakah anda merasa dipersulit di kampus dan di luar kampus? Apakah anda merasa didiskriminasi? Misalnya, di dalam kampus, seringkah dosen menggunakan bahasa mereka dalam mengajar?
Apakah anda merasa tidak diperlakukan dengan semestinya sebagai manusia? Ketahuilah, itu semua hanya karena padamu melekat status ini: kau orang Papua, pemilik tanah air Papua. Kau sebagai orang Papua yang punya kulit gelap, rambut keriting, tentu punya kebudayaan dan berdampak pada cara kita bersosialisasi yang berbeda. Dan itulah yang tidak dihargai keluarga besar Indonesia.
Petius Tabuni dibunuh dengan sadis di Tataaran, Tondano, Sulawesi Utara. Hingga kini tak ada kabar penyelesaian. Jesicca Elisabeth Isir dibunuh dan dibuang di rel kereta api di Yogyakarta tahun 2010. Kasus diambil alih oleh Polda Yogyakarta. Hingga umur kasus yang menjelang 5 tahun ini, tak ada kabar pengusutan penyelesaian. Kasus Kematian Paulus Petege di pusat kota Yogyakarta, tak ada kabarnya. Kasus kematian mahasiswa Papua lainnya di kota-kota studi lainnya juga bernasib sama.
Maka ini pertanyaan bagimu, mahasiswa Papua di seluruh Indonesia di luar Papua: Ingin terus menderita batin diperbudak di tanah air penjajah, atau kembali ke Papua, masuk ke Unipa dan Uncen, ke kampus-kampus di Tanah Papua dan memperkuat barisan perlawanan menuju kemerdekaan Bangsa Papua yang sejati?
Kau mahasiswa Papua di Semarang yang seribuan itu, marilah pulang. Mau yang di Yogyakarta, aku menantimu di Manakwari dan Jayapura. Kau yang di Surabaya, Bandung, Jakarta, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi selatan dan tengah, aku menanti kau pulang. Kita bersama tegakkan kemerdekaan ini.
Sudah cukup kita dijajah. Sudah cukup tanah kita dijarah. Dan ketahuilah, yang akan terjadi bila kau mengikuti jejak saudara-saudaramu di Manado, Sulaesi Utara untuk eksodus, pulang ke kampung halaman dan tanah air Papuamu tercinta. Media-media massa dan dunia internasional akan besar-besar menulis kalimat-kalimat ini:
Mahasiswa Papua dari Sorong hingga Merauke di seluruh tanah air negara Indonesia telah pulang ke tanah air mereka, Papua. Mereka kini menjadi aktor-aktor penggerak kemerdekaan. Sungguh, kemerdekaan Papua tinggal menunggu waktu, karena estafet perjuangan telah beralih ke gerakan sipil di kota yang dikendalikan intelektual muda Papua yang penuh keberanian dan rela mati bagi bangsa dan negara Papua yang mereka idamkan, terus bergerak tanpa mampu dihentikan oleh peluru, sangkur, popor senjata, dan penjara penjajah.
Pulangkan Orang Luar Papua dari Papua
Ini bukan pernyataan rasial. Ini demi keamanan. Ketika kalian semua pulang kembali ke tanah air Papua, maka tahap berikutnya adalah kita pulangkan orang Jawa, Bugis, Buton, Makassar, Sumatera, Kalimantan, Ambon dari tanah Papua. Ini bukan karena kita rasial. Bukan. Tapi karena kita tidak ingin mereka jadi korban dari apa yang kita perjuangkan: Papua Merdeka!
Musuh kita adalah Indonesia dan semua orang yang menjadi kaki tangannya di tanah Papua. Merekalah yang menciptakan sistem yang menjajah dari pusat, dan menjalankannya untuk menjajah dan menjarah tanah kita.
Karena perlawanan kita akan merugikan mereka, warga sipil dari Jawa, Makassar, Bugis, Butoon, Toraja, Ambon, Bali, NTT, dan yang lain-lain, maka kita pulangkan mereka.
Tapi bila mereka ingin berjuang bersama kita orang asli Papua, itu lebih baik. Dan bila mereka tetap mengambil posisi netral dan siap menanggung segala resiko, baiklah mereka tetap tinggal di tanah Papua dan tidak menyalahkan orang asli Papua, apalagi menyalahkan perjuangan orang Papua untuk merdeka.
Tapi bila mereka, para pendatang di tanah air kita itu ingin memihak sistem penjajahan, negara Indonesia dan orang-orangnya yang menjalankan sistem yang menjajah, maka mereka telah menjadi bagian dari penjajah. Dan orang asli Papua tahu apa yang harus mereka buat pada penjajah: usir mereka dan tegakkan Papua Merdeka!
Kuliah untuk Papua Merdeka
Penutup dari tulisan ini. Kau mahasiswa, kau sadar bahwa orang Indonesia, negara Indonesia menganggap kau dan harga diri masing-masing dari kita rendah di mata mereka.
Maka jangan sekali-kali dengan sadar diri, merendahkan derajat dan harga dirimu sendiri dengan bekerja sebagai PNS, dimana negara dapat menghargai kemampuanmu dengan sejumlah rupiah yang bila dibandingkan dengan para pimpinanmu yang notabene orang Indonesia, terlampau sedikit.
Jangan sekali-kali kau rendahkan ketrampilan, kemampuan yang kau miliki dengan hanya dihargai rupiah penjajah. Jadilah gerilyawan Papua Merdeka.
Maksud saya dari gerilyawan: jadilah guru, jadilah agitator, orator di jalan-jalan, tukang rakit senjata, perakit bom, ahli strategi dan taktik, jadilah pemasok amunisi, pemanggul sejata di belantara Papua, jadilah pemimpin dan anggota milisi kota, informen dan agen dan bagian dari intelijen organisasi perjuangan.
Jadi, apa pun pekerjaanmu, tekunilah. Asal: satu, jangan jadi PNS dan menghambakan diri jadi kaki tangan penjajah. Kedua: turun jalan setiap aksi. Ketiga: minimal 12 jam dalam sehari semalam habiskan untuk berpikir dan bergerak mewujudkan Papua merdeka. Dan Keempat: pekerjaanmu menunjang tujuan umum bangsa Papua, Papua Merdeka secara nyata.
Mahasiswa Papua, kembalilah ke tanah air Papua. Kita berkumpul dalam satu kesatuan di Manokwari dan di Jayapura. Kita akan jadi satu padu di Papua. Dan bersama kita dendangkan lagu perang kemerdekaan dan kobarkan api revolusi tegakkan kemerdekaan Papua milik kita bersama.
Terakhir, terlambat tapi, selamat rayakan hari KNPB ke-6, 19 November 2014. Kita bersama maknai sebagai momentum kebangkitan kekuatan rakyat Papua menuju pembebasan.
Kita generasi penderita, penentu kemerdekaan. Mari bersatu mewujudkannya. Kitalah yang harus mengakhiri sejarah derita ini.
Patrick Yakobus adalah aktivis Papua.
Sumber : www.majalahselangkah.com
Blogger Comment
Facebook Comment