Kimanusi Wenda dan Linus Hiluka, dua orang
Tapol yang ditahan di LP Nabire (Foto: Ist)
|
Oleh: Linus Hiel Hiluka
Pengorbanan anak negeri Papua, tinggalkan
anak, istri, saudara, rakyat dan negerinya. Keluar dari istana yang
mega, pergi berjuang melibatkan diri dalam tugas revolusi demi
mewujudkan impian rakyat Papua.
Sepanjang jalan di arena perjuangan bersama
borgol di tangan, dikawal dengan laras dan hantaman senjata. Disertai
cucuran air mata darah bercampur keringat, membasahi seluruh tubuh anak
negeri sambil membawa aspirasi rakyat Papua.
Berjalan maju sambil menangis, masuk di
kotak sampah, di pagari tembok tinggi, dindingnya tebal berhias kawat
duri, berlapis penjaga.
Disinilah aku di hujani puluhan pukulan,
ratusan hinaan, ribuan siksaan dan jutaan pertanyaan. Namun, saya tetap
tenang dengan penuh sabar, jujur dan benar sambil menangis menjawab:
1. Kemerdekaan rakyat Papua adalah hak
Bangsa Papua, penjajahan di atas tanah Papua harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan peri kemanusian dan peri keadilan.
2. Dunia ini pernah menghina Tuhan Yesus pada waktu penangkapan sampai penyaliban.
3. Yesus pernah di caci maki, ditarik seakan-akan seperti seekor binatang, sampai disalipkan hidup-hidup.
4. Yesus dibawah kehadapan Pilatus dan
Pilatus pernah bertanya, “Engkau raja orang Yahudi?” jawab Yesus “Engkau
sendiri yang menyatakannya”
Demikian pula persoalan umat kedaulatan
Allah di tanah Papua. Tuhan dan umat seluruh dunia tahu, bahwa
pembunuhan, penindasan dan segala bentuk kekerasan yang terjadi di
Papua, maka suara hati ini mengatakan bahwa; rakyat Papua harus keluar
dari segala penindasan dan penderitaan.
Orang Papua harus bisa menikmati hak-haknya
sebagai manusia. Bukan manyaksikan hak-haknya di langgar atau dikekang.
Inikah yang artinya merdeka sebagai manusia?
Rakyat Papua tersungkur oleh peluruh yang
menembus anak-anak negari Papua, serentak Papua menjadi perhatian Tuhan
dan dunia. Air mata rakyat Papua mengalir seperti sungai, getir rasanya.
Peluruh selalu meranpas nyawa orang Papua yang kerap kali selalu
menjadi pertanyaanku.
Mengapa kematian yang diakibatkan peluru
ini belum juga berakhir? Mungkinkah di suatu hari kelak tidak ada lagi
anak-anak negari yang mati karena peluruh yang kejam?
Kamatian anak-anak negeri Papua menegaskan
bahwa perjalanan kaum yang dikalakan yang dijiwai oleh darah perjalanan
sejarah adalah perjalanan menuju menyatunya ideology menjadi kapitalisme
liberal. Semantara sejarah Papua bergerak menuju pengakuan sebagai
warga Negara yang bermartabat dengan warga Negara yang lain di dunia.
Sebagai manusia yang merdeka, bukan hanya merdeka dari ketakutan akan
peluruh yang tiba-tiba melezat dan merampas hidup orang Papua, tetapi
rakyat Papua bisa menuntukan nasip sendiri.
Orang Papua bisa menikmati hak-haknya,
bukan menyaksikan hak-haknya diambil. Inilah artinya merdeka sebagai
manusia, menyaksikan dan merasakan sejarah para korban kita mencium bau
anyir darah, tidak ada suka cita kemenangan, tetapi duka cita karena
kematian anak-anak negeri Papua yang sangat murah itu. Tidak ada
sorak-sorai, tari-tarian, yospan, pesak, wisi, uga, bahkan senyumpun
tidak. Kepada ibu-ibu, mama-mama Papua selalu tunduk sedih dan air mata
selalu mengalir bagaikan mata air jatuh membasahi tanah Papua yang saya
cinta ini.
Anak-anak negeri Papua ditangkap, ditahan,
dihukum, di penjarakan, diikat dengan borgol, ditarik seperti seekor
binatang. Penjara pindah penjara, dari kota ke kota, sampai buang di
tempat pembuangan atau buang di tempat sampah masyarakat, air mata
mama-mama Papua tak pernah berhenti. Kapan air mata mama Papua berakhir?
Dan mengapa orang Papua selalu berduka cita
terus menerus, tidak ada suka cita? Mengapa orang Papua selalu sakit
dan sedih, tak pernah tersenyum? Karena yang terjadi di negeri emas ini
adalah : Papua jajah Papua, teman jual teman, istri jual suami, bapak
jual anak, marga jual marga, dan suku jual suku. Hal ini dilakukan hanya
untuk mendapatkan sebatang rokok dan sepiring nasi. Maka air mata mama
Papua tak pernah berakhir dan yang ada hanyalah menangis dan menderita.
Anak negari Papua menderita di balik terali
besi, mama duduk menangis di kebun sambil menonton orang kuras harta
kekayaannya. Bukannya ini sejarah yang tidak pernah di catat, bahwa
mereka belum menjadi pelaku aktif yang bagi sejarahnya sendiri? Yah,
mereka mengingat kekalahan yang menyesalkan sejarah yang kita kanal
hampir selalu berkisah tentang pahlawan, kemenangan, dan peristiwa yang
monumental.
Sehingga diabaikan kematian anak-anak
negari yang di rekam-pun hanya milik mereka yang agung, tetapi para
budak dan serdadu-serdadu yang terlihat hampir tak pernah bahkan tidak
pernah sama sekali di sebut namanya, hidup mereka-pun tidak berharga
untuk satu huruf-pun dalam kitab sejarah, agaknya untuk menimbang arah
sejarah Papua kita tidak perlu mendogak para petinggi negeri, bisa-bisa
malah merasa ngeri, lihatlah peluruh sedang mencari nyawa orang Papua,
korban berjatuhan terus, darah anak-anak negari mengalir terus-menerus
bagaikan sungai yang mengalir siang dan malam.
Para petinggi negeri tidak kasih tanda
biru, selalu tanda merah dan hitam saja. Sejarah kita bangun sendiri,
kekalahan dan kekalahan, kegetiran yang kadang silih berganti akan
membuat dahaga kita akan kemanusian yang akan merdeka semakin besar,
arus sejarah akan semakin deras dan mungkin tak lagi akan terbendung
rasa kala tidak perlu mengemuka. Sebagai dendam tidak ada gunanya,
dendam kecuali akan membuat kita semakin terburuk dan sejarah menjadi
lebih mengerikan.
Dendam akan membuat tanah Papua menjadi
kerajaan kekerasan, dalam arena kekerasan, Tak pernah seorang pun tampil
sebagai pemenang, sejarah akan bergerak pada terciptanya, tata
kehidupan yang berkeadilan, yang mengakui nilai-nilai kehidupan yang
mungkin anak-anak bertumbuh,berkembang dan mendorong terciptanya manusia
dapat menghayati kemanusian tanpa terancam atau mengancam manusia lain.
Dengan harapan Tuhan akan melepaskan orang
miskin yang berteriak minta tolong, orang-orang yang tertindas dan yang
tidak punya penolong. Lemah dan miskin menyelamatkan nyawa orang Papua
dari penindasan dan kekerasan sebab darah manusia itu sangat mahal di
mata Tuhan.
Hatiku selalu sedih dan menangis melihat
kekejaman militar di negeri yang saya cintai ini, aku melihat di
gunung-gunung, lembah-lembah, tidak ada yang datang menolong, menghibur
dan melihatku di dalam jeruji/penjara. Hanya terali besi selalu menjadi
teman pasangan bicara, pikiran jadi istri siang malam, bangun tidur
selalu bersamaku.
Jam jadi komando, selalu memaksakan saya
kerja, sayur kankung, tuhu, tempe rebus jadi orang tua yang selalu
nasehat tentang hidup di penjara.
Bapaku, mamaku, keluargaku, rakyatku dan
bangsaku, di pembuangan dan pengasingan sangat-sangatlah tersiksa,
kondisi dan situasi penjara memaksakan saya untuk akhiri hidup di
penjara, tetapi Tuhan tidak mengehendaki, mungkin Tuhan menghendaki aku
membawa rakyatku keluar ke alam yang bebas, namun demikian sebaliknya
penjara adalah terindah bagi pemimpin politik terlindung.
Saya Linus Hiel Hiluka anak negeri Papua
mengajak seluruh elemen perjuangan rakyat Papua merdeka, termasuk
petinggi-petinggi, pejabat-pejabat di Papua untuk satukan barisan,
bergandeng tangan, menyusun kekuatan, jangan bilang kamu gunung kamu
pantai, kamu tinggi kamu renda, atau pilar ini pilar itu, wadah ini
wadah itu kamu pintar kamu bodoh, kamu sekolah dan kamu tidak sekolah
tapi mari kita bersatu paduh untuk rakyat dan membawah rakyat Papua
keluar dari penderitaan, penindasan menuju ke alam yang bebas, jujur,
adil, makmur, dan sejaterah, di sanalah nama tuhan dipuji dan
dipermuliakan. Akhirnya, anak-anak negeri akan segera dipanggil pulang
dari pengasingan menuju pintu gerbang keadilan di Papua untuk menentukan
nasip sendiri.
“SALAM MERDEKA”
Penulis adalah Tahanan Politik (TAPOL)
Papua yang sedang menjalani hukuman di LP Nabire. Ia dihukum karena
kasus pembobolan gudang senjata di Kodim Wamena pada tahun 2003. Ia dan
beberapa rekannya dihukum 20 tahun penjara.
Sumber : www.suarapapua.com
0 komentar :
Posting Komentar