Yustinus G. Ukago |
Oleh: Yustinus G. Ukago
Kita hidup dalam dunia yang telah
disempitkan. Hal-hal yang kaya dan rumit disempitkan menjadi hal-hal sederhana
yang justru membunuh arti pentingnya. Gejala ini dapat dilihat di semua bidang
kehidupan, mulai dari pendidikan, politik, sampai dengan seni. Penyempitan
dunia kehidupan ini perlu untuk kita refleksikan, lalu kita kurangi sisi
merusaknya.
Politik
Dunia politik disempitkan menjadi pengejaran
kekuasaan. Aliansi antar partai politik dibangun bukan untuk meningkatkan
kinerja politik untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, melainkan untuk
bagi-bagi kue kekuasaan. Negosiasi dibangun bukan untuk menciptakan kebijakan
yang efektif dan efisien untuk menunjang kinerja mesin politik, melainkan untuk
membuat proyek-proyek baru yang penuh dengan lubang untuk dikorupsi.
Dunia politik juga disempitkan menjadi kesempatan
untuk menumpuk uang. Orang berlomba-lomba menjadi anggota DPR dan DPRD bukan
untuk melaksanakan pengabdian, melainkan untuk mencari celah, guna
mengembangkan modal keuangan mereka. Ketika menjabat sebagai kepala daerah,
orang berlomba-lomba untuk mendapatkan proyek dan tender, guna mendapatkan uang
lebih banyak lagi, setidaknya untuk menutupi ongkos kampanye politik
sebelumnya.
Padahal sejatinya, politik adalah soal pengabdian pada
kepentingan rakyat untuk mewujudkan terciptanya keadilan dan kemakmuran bagi
seluruh rakyat, tanpa kecuali. Ketika ini disempitkan semata menjadi pengejaran
kekuasaan dan kesempatan untuk menumpuk uang, masalah besar muncul. Politik
adalah soal tata kelola masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip yang bisa
dipertanggungjawabkan bersama. Ketika politik tidak berjalan, tata kelola
masyarakat pun tidak berjalan, dan semua urusan akan berantakan.
Pendidikan
Dunia pendidikan pun mengalami penyempitan. Pendidikan
disempitkan menjadi semata-mata latihan untuk berhasil dalam tes. Murid
dibombardir dengan latihan tes terus menerus, terutama menjelang UNAS. Metode
menghafal dan memuntahkan kembali menjadi yang utama, dan, sejalan dengan itu,
membunuh kreativitas dan orisinalitas berpikir anak.
Pendidikan juga disempitkan menjadi semata-mata
mengulang apa yang dikatakan oleh guru. Dalam arti ini, menurut saya,
pendidikan telah berubah menjadi perbudakan pikiran. Pikiran yang kreatif dan
orisinil dianggap pemberontak, maka harus didisplinkan dan dihukum. Pada
akhirnya, anak-anak menjadi robot yang patuh, tanpa kemampuan kritis dan kreativitas
berpikir.
Padahal sejatinya, pendidikan adalah pembebasan anak
dari kebodohan dan kemiskinan. Pendidikan juga adalah proses penyadaran anak
atas situasi sekitarnya, dan mengajaknya untuk mengambil sikap yang tepat atas
berbagai situasi itu. Dalam arti ini, pendidikan adalah pembentukan proses
berpikir manusia untuk secara cerdas dan tepat menanggapi situasi kehidupannya.
Pemahaman inilah yang terlupakan dari dunia pendidikan kita.
Bisnis dan Ekonomi
Bidang bisnis juga mengalami penyempitan yang sama.
Bisnis semata-mata disempitkan menjadi proses untuk mengumpulkan keuntungan
semata, jika perlu dengan cara-cara yang tidak baik. Padahal, bisnis adalah
soal tata kelola untuk menciptakan produk-produk yang bermutu, maupun
pelayanan-pelayanan yang baik kepada masyarakat. Di dalam bisnis, keuntungan
adalah akibat logis dari mutu, dan bukan tujuan utama.
Ekonomi juga disempitkan menjadi pengamatan pada data
statistik semata, yang seringkali berbeda jauh dengan kenyataan di lapangan.
Sejatinya, ekonomi juga adalah soal tata kelola perdagangan dan transaksi
barang, uang, dan jasa di dalam masyarakat, supaya bisa menciptakan kemakmuran
bagi seluruh rakyat.
Dalam hal ini, data statistik adalah alat bantu
analisis masalah dan pembuatan kebijakan. Yang seharusnya menjadi perhatian
utama adalah kenyataan di lapangan, terkait dengan pemerataan kekayaan bagi
seluruh rakyat. Ini semua tidak terjadi, ketika orang hanya terpaku pada data
statistik yang seringkali dibuat dengan penyimpangan-penyimpangan metodologis,
demi alasan efisiensi dan efektivitas.
Agama, Seni, dan Kepemimpinan
Agama di Indonesia pun juga mengalami penyempitan
menjadi semata-mata kumpulan aturan, larangan, dan ritual semata. Agama
kehilangan spiritualitasnya yang justru menjadi lambang kesucian dan hubungan
manusia dengan yang transenden itu sendiri.
Kepemimpinan di berbagai bidang pun disempitkan
menjadi semata-mata soal kerapihan administrasi. Kemampuan pemimpin untuk
memotivasi dan memberikan inspirasi ke arah tujuan-tujuan yang baik telah
hilang, dan digantikan dengan semata-mata dengan soal pemberian tanda tangan,
dan kerapihan dokumen semata.
Seni pun disempitkan semata menjadi pemuas selera
pasar dan konsumen. Seni sebagai ekspresi otentik dari penghayatan diri atas
peristiwa-peristiwa kehidupan sudah nyaris tak terdengar. Di sisi lain,
penelitian ilmiah yang sejatinya untuk mengungkap kebenaran dan menemukan
pengetahuan di berbagai bidang kini disempitkan semata sebagai pemburuan hibah
dari pemerintah, ataupun sekedar untuk penambah poin untuk peningkatan karir
dosen.
Matinya Akal Sehat
Ini semua adalah tanda-tanda dari apa yang disebut
Dahlan Iskan sebagai pembunuhan akal sehat. Artinya, akal sehat kita tahu,
bahwa ada yang salah. Namun, karena kita merasa tak berdaya untuk memperbaiki
kesalahan, maka kita pun beradaptasi. Akal sehat kita melemah, dan kini telah
menyesuaikan dengan penyimpangan-penyimpangan yang ada. Hannah Arendt
menyebutnya sebagai banalitas kejahatan, yakni kejahatan yang tak lagi dilihat
sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang “biasa-biasa saja”.
Dalam konteks ini, kita membutuhkan orang-orang yang
mampu berpikir progresif, yakni orang-orang yang berani menggugat dan
mempertanyakan segala sesuatu yang ada, menemukan kelemahan di dalamnya, dan
berjuang untuk menambal kelemahan-kelemahan itu, atau mengubah seluruh tatanan
yang ada, supaya lebih baik untuk semua orang. Sayang, di tengah dunia yang
semakin global ini, kehadiran orang-orang progresif justru disalahpahami
sebagai pemberontak, penyebar ajaran sesat, atau orang-orang yang “bikin
susah”. Sayang memang….
Penulis Adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas
Katolik Widya Mandala Surabaya
0 komentar :
Posting Komentar