News
Loading...

Perspektif HAM di Papua Dibawah Presiden Mega


Situsi hak asasi manusia di Papua hingga
 kini masih memburuk (Foto: Ist)
Oleh: Yosef Rumaseb
 
Seperti kata Thom Beanal kepada Radio Nederland (24 Juli 2001), masa ujian perjuangan HAM di Papua lagi-lagi kini di ambang pintu. 

Naiknya Megawati menjadi Presiden RI yang didukung oleh pihak militer dan politisi warisan Orde Baru berpotensi menutup ruang demokrasi di Papua. Tapi menurut saya, bukan hanya faktor militer. Saya masih ingat kata-kata seorang “demokrat” pendukung fanatik Mega, yaitu Sabam Sirait, “Saya mencintai demokrasi akan tetapi lebih cinta keutuhan NKRI. Saya mendukung perjuangan agar orang Papua mendapat tempat terhormat dan dihargai dalam konteks NKRI!” Juga dalam buku yang beliau hadiahkan buat saya tahun 1997, dia menulis “Berjuanglah agar Papua mendapat tempat terhormat dalam Indonesia”. Itulah Sabam Sirait, politisi Kristen Demokrat yang jika tiba pada pilihan mempertahankan keutuhan NKRI akan mempersetankan Tuhan dan demokrasi dan mempertuhankan persatuan dan kesatuan kalau perlu melalui berbagai pembunuhan dan pembantaian.

Pengalaman berikut relevan untuk dikisahkan. Pada waktu Mega ke Biak, 13 Desember 1999, saya dan Thom Beanal diberi kesempatan menyampaikan aspirasi mewakili masyarakat Papua. Sebetulnya, saya tidak masuk nominasi untuk berbicara. Sebelumnya, sudah diputuskan bahwa yang akan bicara adalah Theys Eluai, Thom Beanal dan Pastor Nato Gobay. Kendalanya, dalam jadwal tidak ada penyampaian aspirasi di muka umum kepada Ibu Mega. Namun, atas lobby Willy Mandowen, keinginan itu bisa dikabulkan tapi menurut Gubernur Fredy Numberi “asal yang ngomong hanya dua orang dan bukan Theys Eluai”. Kata Theys, jika demikian Thom Beanal dan saya yang ditampilkan. Thom bicara aspirasi politik Papua dan saya bicara soal HAM.

Saatnya tiba, setelah Pidato Gubernur lantas Wapres, lau giliran kami. Sebagaimana biasa Thom langsung minta ‘merdeka’ disambut tepuk tangan meriah dan deraian air mata oleh rakyat, baik di dalam dan di luar ruangan (maklum, acara ini diliput RRI Biak dan direlay di seluruh Papua). Dan saya? Saya sedang memegang kumpulan laporan pelanggaran HAM hasil kerja ELSHAM dan Tiga Gereja Besar (GKI, GKII dan Gereja Katholik) sejak tahun 1995 – 1999 setebal sekitar 500 halaman untuk disampaikan kepada Ibu Mega. Tapi, tidak ada persiapan pidato. Hanya beberapa detik sebelum ke mikrophone, Wiilly Mandowen bisik, “Kau harus sentuh nurani keibuan Ibu Mega!” Bingung, bagaimana caranya?

Baru ketika memegang mikrophone, saya memperhatikan satu per satu pejabat negara di depan selama beberapa detik. Ada Wapres, Panglima TNI, Kapolri dan berbagai Kepala Staf serta Menteri Hukum Per-UU dan Gubernur Freddy Numbery, Ketua DPRD Nataniel Kaiway (sekarang almarhum), Pangdam Trikora Alberth Inkiriwang, Kapolda Wenas serta macam-macam pejabat Papua serta tokoh-tokoh PDI-P dan anggota DPR/MPR Pusat. Pandangan saya segera tertarik ke Sabam Sirait di pojok deret kiri belakang. Beliau berkali-kali menjadi anggota DPR/MPR RI sebagai Wakil Rakyat Papua. Insipirasi sekejap muncul di benak. 

Pertama, prinsip Sabam bahwa keutuhan NKRI ada di atas Tuhan dan demokrasi. Kedua, ketika peluncuran buku biografi Sabam Sirait untuk Demokrasi Indonesia (1997), anak-anak Papua diminta mengapit Sabam dan Ibu Mega dan ketika itu ibu Mega mengisahkan pengalaman menggarami nasi goreng dengan air mata untuk memberi makan mahasiswa yang mendemo ayahnya. Itulah fokus pengantar saya.

Saya berusaha sita perhatian Wapres dan rombongan dengan mengisahkan kembali bagaimana Mega diperintahkan oleh Presiden Pertama RI untuk kasih makan mahasiswa yang mendemonstrasi ayahnya tahun 1966. Sebagai mahasiswa, Mega dipaksa keluar dari IPB Bogor dan diperintahkan pulang oleh pengikut Soeharto. Di rumah dia melihat panser dan tentara mengepung istana, juga ribuan mahasiswa berdemo. Lima di antaranya diijinkan masuk istana. 

Soekarno perintahkan anaknya Mega siapkan makan bagi kelima mahasiswa tapi sang anak menolak. Lalu dengan kewibawaan seorang Presiden RI, Soekarno lengkap menyebut nama Megawati Dian Permatasari Soekarnoputri dan memerintahkan dia melayani para mahasiswa sebagai sebagai tamu negara. Sambil menangis Mega menggoreng nasi dan air matanya menetes menggarami nasi yang sedang digoreng. Puluhan tahun kemudian, ketika sudah jadi Ketua Umum PDI-P, pada suatu kesempatan bertemu saat HUT Proklamasi di Istana Merdeka salah seorang mahasiswa yang dulu mendemo ayahnya dan di jaman Orde Baru berulang-ulang jadi menteri (mungkin Akbar Tanjung) bilang pada Mega, “Ega, nasi gorengmu dulu enak sekali”. Dalam hati Mega berkata, “Dia tidak tahu bahwa saya garami nasi goreng dengan air mata!”

Berbekal cerita yang berhasil menarik perhatian Ibu Mega dan rombongan, saya masuk pada hal utama. Pertama, bahwa Ibu Megawati Dian Permatasari Soekarnoputri sudah pernah jadi korban kebiadaban penguasa negara, jadi jangan Ibu ulangi dosa penguasa untuk menindas orang yang lemah termasuk terhadap kami orang Papua. Kedua, jangan lagi gunakan bedil dan pestol untuk paksakan kami agar merasa sebangsa dengan kamu padahal kamu sendiri tidak pernah merasa sebangsa dengan kami. Kalau benar kita sebangsa maka segala perbuatan yang menistai kemanusiaan universal serta Pancasila yang kami alami karena perbuatan Indonesia, tidak akan pernah akan terjadi dan menistai keluhuran Pancasila. Ketiga, bahwa Pancasila yang dibela mati-matian oleh TNI dan POLRI tidak hanya terdiri dari sila persatuan dan kesatuan Indonesia belaka. Apakah tindakan aparat untuk membunuh, menyiksa, memperkosa perempuan, dan sebagainya yang menistai HAM orang Papua selama ini sudah sesuai dengan sila Ketuhanan dan Kemanusiaan yang adil beradab? Jangan sila-sila lainnya demi persatuan dan kesatuan.

Saya menutup pidato dengan kata-kata demikian, ” Dahulu, demi demokrasi Indonesia Ibu telah terpaksa menggarami nasi goreng dengan air mata. Dan sekarang, satu permintaan kami kepada Ibu , jangan paksakan kami untuk menggarami persatuan dan kesatuan Indonesia dengan darah kami .… cukupkan sampai di sini daftar pelanggaran HAM ini!”

Ketika kemudian saya maju menyerahkan laporan HAM kepada Wapres RI, saya melihat masih ada butir air mata di mata Ibu Mega. Ibu menanyakan siapa nama saya, tapi saya tidak menjawab karena tak sanggup menahan rasa haru mengenang nasib korban-korban pelanggaran HAM di Papua. Tapi kemudian, lewat Profesor Dr. Selo Soemardjan Ibu sekali lagi meminta nama dan alamat saya. Saya berikan nama saya dan alamat ELSHAM (lengkap dengan telepon dan faks), Ibu mengambilnya dan memasukkan ke tas tangannya. Harapan saya akan ada tindak lanjut. Tapi ternyata tidak.

Sekarang, setelah menjadi Presiden RI kelima apakah akan ada kelanjutan? Saya pesimis. Analisa Thom ada benarnya, ” Pelanggaran HAM akan bertambah, sebab di belakang Mega ada tentara!” Bukan hanya karena tentara, tapi juga sebab peran kaum ultra-nasionalis seperti Sabam Sirait sebagai konseptor utama kebijakan Ibu Mega. Bagi mereka berlaku prinsip bernegara bahwa persatuan dan kesatuan Indonesia di atas segalanya. Negara ini boleh penuh KKN, boleh bersimbah darah dan jiwa kaum tak bersalah asal tetap utuh sebagai NKRI. Prinsip ini mengantarkan perspektif HAM di Papua ke tikungan tajam, makin ke depan akan makin sangat berliku-liku.
Mudah-mudahan tidak demikian. (ipo)

* Josef Rumaseb adalah warga sipil di Papua. Tulisan ini pernah di posting di website West Papua belasan tahun silam, namun redaksi anggap masih relevan dengan konteks sekarang sehingga di publikasikan ulang.

Sumber :  www.suarapapua.com
Share on Google Plus

About suarakolaitaga

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar