Foto FB Krismas Bagau |
Oleh : Krismas Bagau
“Jika
melihat sandiwara dilapangan menunjukkan bahwa kebijakan keputusan
politik Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua Barat hanya kerangka teori
dan konsep saja implementasinya tidak jelas”.
Papua medang
yang berat, tidak bisa membangung dengan cara pemikiran yang keliru.
Keliru bisa membawa rakyat Papua jalan penyesatan. Fakta yang terjadi di
lapangan Papua dan Papua Barat adalah proses pemusnahan genosida yang
nyata terjadi, dibandingkan dengan memakmurkan rakyat dari uang
tiriunan rupiah yang dikucurkan pemerintah Jakarta. Dengan uang Otsus
UP4B dan Otsus plus bagi orang Papua untuk membangun ketertinggalan
dari berbagai aspek. Rencana memang baik untuk membangung Papua tetapi
Pemerintah Jakarta membiarkan Otonomi Khusus berjalan begitu saja tanpa
pengawasan yang ketat, terutama dari aspek ekonomi, pendidikan,
kesehatan bagi orang Papua melalui Otonomi Khusus. Namun dalam
kenyataannya yang terjadi di Papua adalah membunuh orang Papua sendiri.
Ini artinya bahwa pemerintah Jakarta memegang ekornya sementara
melepaskan kepalanya saja.
Melalui Otonomi Khusus, Pemerintah
Pusat (Jakarta) sengaja menciptakan konflik holisontal dan vertical
dihadirkan di tanah Papua dengan senggaja. Hal ini pemerintah pusat
sengaja menghadirkannya. Pejabat Papua tidak melihat secara akal sehat.
Karena akal sehat mereka dimatikan dengan triliunan rupah. Sementara
Majelis Rakyat Papua yang melindungi masyarakat Papua ruang bergerak pun
diatur oleh undang-undang otonomi khusus pun tidak jelas yang dapat
membuat tidak ada kejelasan keperpihakan kepada orang asli Papua untuk
melindungi dan menjaga manusia dan alam Papua pun dimatikan dengan jutan
rupih.
Akibatnya pejabat Papua berada pada situasi kenikmatan
tergiurkan, Kenikmatan yang tidak pada tempatnya membuat tidak mengurus
dan mengatur rakyat Papua semau mereka. Hal ini terjadi karena
melemahnya Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua terjadi keperpihakan. Otonomi khusus
diberikan oleh pemerintah Jakarta untuk mengatur negerinya sendiri.
Namun yang terjadi sekarang adalah pejabat Papua sendiri tidak memiliki
hati. Hati untuk melayani, hati untuk mengayumi, hati untuk membangun
rakyat kecil tidak dengan hati. Sebab terjadi hal demikian pemerintah
Jakarta masih memegang ekor Otonomi Khusus.
Yang sebenarnya
melalui Undang-undang mengatur dan menerbitkan pasal-pasal dengan
melihat kontekstual Papua yang bersifat melindungi dan mengayomi. Karena
tidak demikian maka orang Papua sampai kapan pun tidak akan pernah
MERDEKA dalam NKRI. Sebab didalam NKRI hanya menciptakan sumber konflik
antara vertical dan horisontal. Bisa melihat dengan kaca mata positif
bahwa pembangunan belum berhasil dari tahun ke tahun sesudah memberikan
otonomi. Dengan otonomi itulah manusia diperhadapkan pada situasi
bunuh-membuh dengan orentasi jabatan dan uang supaya namanya supaya
lebih super dan hebat. Sementara masyarakat kecil mudah terlena dalam
arena tersebut dan sulit bersuara untuk membela hak-haknya.
Bisa melihat pun pula di Papua miras, perempuan WTS, korupsi, proyek
jalan-jalan, yang semuanya bermuara pada penyakit dan kematian. Selain
kurang adanya kontrol pusat dan rakyat banyak membuat uang tidak
dipertanggungjawabkan secara transparan pada siapa sesama orang Papua.
Kini orang Papua lebih hebat, daripada orang Jakarta dalam hal korupsi.
Akibatnya korupsi semua roda pemerintahan tidak berjalan
dengan baik. Orang Papua lupa pada dirinya sendiri, istiri dan anak
sendirinya, lingkungan dan masyarakat pada umumnya. Orentasi untuk
membangun tidak nampak lagi. Sementara pemerintah pusat dalam hal ini
Jakarta hanya membiarkan Pejabat orang Papua Korupsi uang Negara menjadi
hal biasa, lebih parah lagi komisi pemberantasan korupsi tidak berani
menangkap Orang Papua diproses hukum sesuai dengan prosedur hokum yang
ada. Pemerintah pusat berpikir bahwa jika orang Papua ditangkap dan
diproses hukum berarti orang Papua akan meminta merdeka (berpisah) dari
NKRI. Hal inilah juga melemahnya pelaksanan imprementasi undang-undang
Otonomi Khusus yang dalam penyerapannya tidak berjalan dengan baik.
Jika demikian mengapa Pemerintah Pusat MEMPERTAHANKAN orang Papua dalam
bingkai NKRI kalau tidak bisa mengurus?, biarkan saja orang Papua
mengurus dirinya sendiri dari pada pemerintah NKRI mengurus pulau dan
manusia Papua sendiri tidak mampu mengatasi semua problematika
kehiduapan masyarakat menuju kemerdekan. Supaya dengan kemerdekan dapat
mengurus diri sendiri dari pada bergabung dengan bingkai NKRI yang
mengarahkan orang Papua pada sumber konflik dan mengakibatkan korban
nyawa bagi yang tidak berdosa ketika membela kebenaran.
Otonomi
bukan akhir dari penyelesaian masalah. Tetapi justru Otonomi hadir
untuk menciptakan konflik dan menusnahkan bangsa malanesia. Pemerintah
Papua stop tergiur dengan gula-gula manis yang penuh janji dengan
Otonomi Khusus yang mematikan kreatifitas orang Papua sebagai orang
berbudaya yang bisa bekerja di alamnya sendiri dan mendapat makan.
Artinya bahwa dengan Otonomi Khusus tidak bisa menjamin untuk dapat
membagun Papua yang begitu besar wilayahnya dengan gula-gula manis
otonomi.
Orang Papua bisa membangun diri sendiri dan alamnya
sendiri jika keluar dari NKRI. Justru dengan kehadiran dalam bingkai
NKRI membawa luka lara yang tak kunjung sembuh. Konflik tidak akan
pernah berhenti, pembangunan tidak akan berjalan aman. Korban silih
bergati didalam bingkai NKRI adalah hal biasa bagi pemerintah Indonesia
dengan militealismenya. Jadi stop cara Pemerintah Indoneisa bekerja
tidak manusiawi. Dan sudah barang tentu bagi pemerintah Indonesia untuk
menaklukan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam untuk
dieksproitasi atas nama pembangunan NKRI adalah agenda khusus yang
sangat konyol dan tidak bisa dipikirkan oleh akal sehat.
About suarakolaitaga
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
0 komentar :
Posting Komentar