YOGYA. Sejak
dulu, saya selalu diajarkan oleh bunda bahwa disana ada seorang
presiden. Saya bertanya kepada bunda; presiden itu siapa? Bunda
menjawab: presiden itu kepala Negara kita, dia yang memimpin kita dalam
Negara ini.
Saat itu saya sangat senang dan bangga karena saya berpikir “saya mempunyai seorang pemimpin” yang saat itu dikenal dengan sebuah nama kehormatan “bapak Presiden”.
Sejak saya berada di bangku pendidikan sekolah dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), saya semaking mengenal siapa bapak presiden itu dari berbagai segi kepimipinannya. Saya telah diajarkan di sekolah apa tugas dan tanggung jawab sebagai seorang presiden dalam sebuah Negara.
Setelah saya mengenal tugas dan tanggung jawab seorang presiden, hati saya lebih bersemangat dan saya pun merasa memiliki seorang bapak yang bisa mensejahtrakan kehidupan saya dan masyarakat saya. Kenapa saya bisa berpikir demikian? Karena saya telah diajarkan bahwa seorang presiden itu bisa memimpin, menjaga, mensejahtrakan, mendamaikan, dan bisa membuat kebijakan demi kepentingan masyarakat. Semua keputusan itu ada di tangan bapak presiden. Demikian penjelasan sang guru di sekolah.
Disamping hati saya berkobar kobar api kebahagiaan itu, saya mulai memposisikan diri dan mencari jati diri saya yang sebenarnya. Saya bertanya pada diri saya sendiri; siapa diri saya sebenarnya, siapa keluarga saya, siapa masyarakat saya, apa ras saya yang sebenarnya?
Pertanyaan pertanyaan diatas itu membuat saya lebih mengenal siapa diri saya yang sesunggunya. Saya menyadari bahwa, saya adalah seorang manusia yang berasal dari keluarga yang hidup dalam segala penindasan. Saya lebih mengenal masyarakat saya “masyarakat Papua” dan dipuaskan dengan ras saya “ras Melanesia bukan ras Melayu”.
Bersamaan dengan itu, saya pun kembali bertanya kepada sang pencipta; dari mana saya datang, untuk apa saya diciptakan dan untuk apa saya ditempatkan diatas bumi ini???.
Entahlah dalam mimpi, saya mendengar suara harum “kamu hadir di bumi ini untuk hidup dan berkarya sambil beranak cucu”. Saya tempatkan kamu “ras Melanesia” di bumi Papua untuk hidup dan menjaga, melestarikan, mengembangbiakkan sampai penuhi bumi ini.
Tidak lama kemudian, saya pun melangkah ke dunia pendidikan di tingkat tinggi. Dari sini saya kembali melihat kehidupan masyarakat saya, ternyata tidak seperti hati saya yang bahagia pada beberapa tahun silam. Fakta dan peristiwa mengajar saya “bapak presiden itu tidak sama seperti apa yang telah diajarkan oleh guru guru saya di sekolah”. Disana banyak masyarakat saya sedang dikejar kejar, ditangkap, dipenjarahkan dan dibunuh oleh penjajah yang berada dibawah control bapak presiden yang saya bangga banggakan sebelumnya itu.
Bukan hanya kekuatan militer saja yang menjalankan operasi terhadap masyarakat saya tetapi bapak presiden sebagai kepala Negara saja tidak pernah mengungkapkan sejarah kebenaran bangsa dan rakyat saya di atas bumi Papua. Akhirnya saya melihat dengan jernih bahwa; bapak presiden masih membungkam semua peristiwa pelanggaran HAM yang selalu terjadi di bumi Papua.
Bapak presiden tidak berani untuk membicarakan semua tindakan ketidakmanusiawi yang dilakukan oleh militer terhadap rakyat Papua. Saya tidak tahu kenapa bapak presiden tidak bisa membicarakan semua pelanggaran HAM di public.
Namun, suara hati saya mengatakan “bapak presiden adalah berasal dari Ras Melayu, sedang saya berasal dari ras Melanesia. Sangat tidak mungkin orang yang berbeda ras dengan kita memperhatikan kita dengan baik, benar dan jujur.
Saya menyadari bahwa “siapa sebenarnya bapak presiden itu” saya bertanya pada alam Papua; apakah bapak presiden berasal dari tanah Papua? Alam pun menjawab dengan cepat “tidak, tidak, tidak”, dia adalah ras Melayu yang berasal dari Indonesia”. Saya kembali bertanya pada tulang berulang; apakah bapak presiden adalah berasal dari bumi Papua? Tulang dan tengkorak yang ada dalam hutan berantara itu menjawab “dia berasal dari ras Melayu dan ras Melayu itulah yang membuat kami hidup menderita diatas tanah Papua. Lihatlah tulang tulang dan tengkorak tengkorak kami ini, kami telah ditangkap, dibunuh dan buang dalam hutan hutan belantara ini.
Akhirnya saya menyadari bahwa, bapak presiden yang ber ras Melayu itu bukan keluarga saya, bukan suku saya, dan bukan ras saya. Beberapa tahun silam saya selalu membangga banggakan bapak presiden itu kini saya kembali sadar bahwa dia bersama masyarakatnya yang sudah mengejar, menangkap, memenjarahkan dan membunuh orang orang tua saya diatas tanah Papua yang Tuhan telah ciptakan untuk manusia Papua hidup berekspresi.
Maaf yaaa, bapak pemimpinan “presiden” karena selama ini saya salah tafsirkan dan saya dimaniskan dengan liciknya politik kapitalis. Kini saya telah menyadari bahwa, sesunggunya saya “Melanesia” dan bapak Presiden “Melayu” itu tidak sama. Saya tidak sama dengan bapak presiden.
Sorry yaa bapak presiden, kini saatnya untuk saya berdiri sendiri diatas tanah saya “Papua” dengan budaya dan gaya hidup saya sebagai manusia Papua. Saya bukan Indonesia tetapi saya orang Papua. (Bidaipouga)
Sumber : http://timipotu.blogspot.com
0 komentar :
Posting Komentar