Biar
pun tanahnya tandus, biarpun tanahya penuh dengan rawah; itulah tanah
leluhurku yang membentuk karakter saya
Selama
saya berada dibawah umur 18 tahun, sama sekali saya tidak mengetahui
tanah leluhur saya “tanah milik Yamekopa”. Namun saat itu saya
menyadari bahwa, wajar saja saya tidak mengenal tanah milik saya
karena memang saat itu saya masih disebut kanak-kanak yang hanya
sibuk dengan berbagai macam permainan.
Bapak
saya adalah alat Negara yang difungsikan dalam bidang memanusiakan
manusia melalui didikan yang formal “guru” maka, saya dengan
adik-adik pun hidup selalu berpindah-pindah dimana bapak saya
ditugaskan oleh negara sesuai dengan SK mengajar.
Hari
demi hari saya semakin mengenal kebiasaan mereka, logat bahasa dan
tradisi mereka di atas tanah leluhur mereka seakan-akan saya tidak
mempunyai tanah leluhur sendiri. Semenjak saya memasuki umur 18
tahun, saya pun kembali bertanya kepada orang tua saya “dimana
sebenarnya tanah milik saya sendiri sebagai anak bangsa?”
namun orang tua menjawab “tanah
milik kita marga Mote adalah di alam Tigi tepatnya Waghete kampung
Tobauwa”.
Umur saya semakin bertambah, penasaran untuk melihat tanah leluhur
pun bertumbuh dalam diri saya. Suatu saat, setelah bapa saya pulang
sekolah, pernah menjelaskan saya “anak,
tanah asalmu adalah, Timipotu Tobauwo, Waghete Deiyai Papua”
Setelah
saya masuk sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP/SMP), Sering kali
saya mendengar cerita orang bahwa tanah Timipotu yang ada di Tobauwo
adalah tanah bersejarah. Kenapa orang selalu mengatakan tanah
Timipotu adalah tanah bersejarah, tanya saya dalam diri sendiri untuk
mencari jawaban yang jelas. Di saat saya masih berada di SMP, telinga
saya terus mendengar suara orang dan mata saya membaca di buku harian
Keuskupan Timika bahwa, Timipotu adalah tempat bersejarah. Namun,
saat itu saya hanya diam saja tanpa komentar seakan akan dijasikan
sebagai Timipotu adalah bukan tanah leluhur saya.
Ketika
saya tiba di kota dimana tempat saya bersekolah, saya juga menemukan
sebuah tulisan yang telah digaris bawahi “Timipotu
adalah tempat yang bersejarah”.
Penasaran pun selalu bertambah disampin kesibukan belajar di sekolah.
Pada
suatu hari, tepatnya pada bulan Desember 2007. Saya menuliskan sebuah
surat untuk bapak dan mama dikampung dimana bapak saya bertugas
mengajar. Dalam surat itu, saya pun bertanya kembali “bapak,
disini saya sering mendengar, melihat orang becerita, dan saya sering
membaca bahwa Timipotu adalah tempat bersejarah; sebenarnya di
Timipotu itu tempat apa sampai orang mengatakan tempat bersejarah?”.
Enam
bulan kemudian, saya dikirm surat dari bapak dan mama dari kampung.
Pulang sekolah, saya membuka surat itu dan mulai membaca isi
suratnya. Tiba-tiba air mata pun terjatu membasahi baju seragam saya
yang masih belum buka. Disamping kata-kata salaman dari bapak dan
mama, adik-adik saya pun melalui surat itu menyampaikan salam kepada
saya. Bagaimana kabar kakak disitu pasti baik-baik saja karena Tuhan
bersama kita. Selamat
belajar ya kakak sayang. Dalam
kata-kata salaman dari bapak, mama dan adik-adik saya dari kampung
halaman itu, bapak saya juga menuliskan apa yang dulu saya pernah
tanya tentang Timipotu melalui surat itu. Anak,
orang bilang Timipotu adalah tempat bersejarah itu sangat betul
karena Pater Neles Tebay ditabhiskan dari Timipotu dan dari tempat
Timipotu itulah telah diberikan sebuah nama Kebadaby Tebai “Pater
Neles Kebadaby Tebai”. Awalnya, Pater Neles Tebai saja namun
setelah ditabhiskan menjadi imam dari Timipotu maka dari atas tanah
Timipotu Neles Tebai diberikan sebuah nama khas Kebadabi menjadi
pater Neles Kebadabi Tebai. Demikian
penjelasan singkat dalam surat.
Pada
liburan Juni-Juli 2008. Saya berkeinginan untuk pergi kunjung tanah
leluhur saja yang orang biasa katakan Timipotu tempat bersejarah itu.
walaupun umur saya sudah 18 tahun, saya masih saja belum mengenal
dimana keberadaan nama Timipotu dan saya masih belum mengenal
orang-orang yang ada di sekitar itu. saya pun binggung apakah di atas
tanah Timipotu ada orang yang sudah mendirikan rumah sebagai tempat
tinggal mereka. Dalam kebinggungan bersama ketidaktahuan tanah asal
saya itu, saya mulai berangkat dari Timika dengan sebuah pesawat
milik MISI “pesawat Pilatus”.
Tujuang
besarnya adalah untuk melihat tanah asal saya yang orang sering
mengatakan tanah bersejarah itu. begitu tiba di ibu kota kabupaten
Paniai, saya pun langsung menuju ke pelabuhan dengan harapan besar
untuk cepat tiba di tanah asal saya. Dalam perjalanan, saya mulai
berpikir panjang, sebenarnya tanah Timipotu itu dimana dan kalau pun
saya ketemu tanah Timipotu, saya akan tinggal sama siapa karena saya
masih belum kenal orang-orang yang ada di sekitar Timipotu.
Sekitar
pukul 03:30 sore saya tiba di Waghete dalam penuh kebingungan. Saya
mulai menanyakan kepada seorang ibu yang sedang berjualan di pasar
Waghete “permisi
ibu,
orang bilang Timipotu itu di sebelah mana?”
ikut jalan ini dan setelah ketemu dengan gereja Katolik, tanya sama
orang-orang yang ada disitu karena Timipotu disekitar itu” jawab
ibu yang sedang berjualan sambil menunjukkan jarinya ke arah utara
dari pasar Waghete. Temakasih ibu.
Hari
sudah mulai malam, langkah kaki saya pun saya percepat ke arah yang
telah ditunjukan. Sesampai depan Gereja Katolik, saya pun tanya sama
orang-orang yang sedang keluar dari Gereja habis latihan lagu
persiapan hari minggu “permisi,
Timipotu itu di bagian mana?”
“dekat
saja,
disampin Gedung sekolah SD YPPK Wagehete jadi kamu naik keatas
saja”
jawab mereka dengan secepatnya karena melihat badan saya yang penuh
kelelahan. Sesampai lokasi yang mereka tunjukkan itu, saya kembali
tanya kepada seorang anak kecil yang sedang bermain sepeda tua. Adik,
Timipotu itu dimana?”
disini,
lapanagan
inilah yang orang biasa bilang Timipotu.
Katanya.
Saya
melangkah dan meletekan kaki dengan menyebut nama “dalam
nama Allah sang pencipta, saya menginjak kaki saya di atas tanah
Timipotu ini karena tanah ini, Allah berikan kepercayaan untuk saya
“yamekopa Mote” untuk menjaga dan melestarikan amin.
Hati semakin tenang, pikiran pun semakin puas disamping seruan dalam
hati kepada sang pencipta pun selalu menari-nari.
Sudah
sekian lama saya merindukanmu. Kata saya dalam hati sambil mencium
tanah Timipotu. Beberapa menit kemudian, saya mulai menikmati
indahnya kali Yamo yang berbentuk bagaikan pulau Papua. Saya
mendekati kali Yamo, Suara burung selalu terdengar yang bertanda
mereka juga menjemput saya sebagai anak negeri Timipotu. Tiba-tiba
air mata pun membasahi muka, seakan-akan suara burung di senja hari
membawah saya dalam penuh tanggisan. Saya pun sadari bahwa, air mata
yang membasahi muka itu adalah salah satu bagian dari ucapan, puji
dan syukur kepada sang pencipta langit dan bumi serta manusia.
Terimakasih Allah, sudah menciptakan alam Timipotu yang begitu indah
dinikmati diantara alam Deiyai yang diwarnai oleh dedaunan hijauh.
Kata saya sambil berdiri menikmati keindahan lokasi Timipotu dan
sekitarnya.
Dua
hari setelah mengetahui tanah milik saya “Timipotu” yang selama
bertahun-tahun saya belum mengetahui itu, saya beniat untuk harus
mendirikan sebuah rumah diantara penghuni tumbuhan dan binatang. Saya
bertanya kepada para tua tua yang ada disekitar tanah Timipotu;
bagaimana menurut kalian semua, saya ingin mau mendirikan rumah saya
di samping lapangan Timipotu yang mana tempat pentabhisan imam
Kebadabi Tebai? Mereka menjawab, bisa
tetapi ini tempat rawan. Kami yang hidup lama disini saja tidak
berani untuk jalan jalan disni apalagi bangun rumah sebagai tempat
tinggal manusia.
Saya kembali menjawab, walaupun
tempat ini rawan, sekalipun tempat ini banyak orang yang ditakuti;
saya tetap akan membangun rumah karena ini adalah tanah leluhur saya
yang Allah berikan kepada saya untuk menjaga dan melestarikan.
Satu
minggu kemudian, saya mulai jalan-jalan di lokasi Timipotu pada siang
hari. disana saya mendengar banyak burung berkicauan dalam angin
besar yang menyegarkan tubuh saya. Kelihatannya alam mulai menyatuh
dengan saya sebagai putra Timipotu. Burung-burung mendekati saya,
manusia yang tidak bisa dilihat oleh mata pun mendekati saya dan
Tumbuhan pun mendekati saya untuk menyambut saya sebagai anak
Timipotu. Dalam kicauan burung itu, tiba-tiba seorang perempuan
berdiri di depan saya, entah dari mana ia datang. Dia pun berkata
“selamat
datang
putra Timipotu yang selama ini kami menanti-nantikan
kedatangmu”.
“Tuhah membekati kita semua di atas tanah Timipotu ini’. Kata
saya kepada dia seakan-akan saya adalah orang yang patuh kepada
Firman Allah. Namun itulah suatu mujizat Allah kepada saya.
Walaupun
Timipotu adalah lokasi rawan, saya mulai mendirikan sebuah rumah
kecil diantara tumbuhan dan rawah yang mengelilingi lapangan
Timipotu. Rumah kecil itu tidak jauh dari lokasi dimana tempat
pentabhisan imam NELES KEBADABY TEBAI. Orang-orang yang mengetahui
situasi di lokasi Timipotu datang bilang sama saya “kamu
jangan tinggal sendirian disini, kami yang sudah hidup lama di
sekitar ini saja merasa takut jalan-jalan disini apalagi mendirikan
rumah dan tinggal disini.
Kenapa kamu biasa takut? tanya saya kepada mereka yang datang
menawarkan saya untuk tidak boleh tinggal sendirian di Timipotu. Tuan
tanah di lokasi Timipotu itu sering menganggu manusia sehingga kami
takut mendirikan rumah disini.
Jawab mereka. Namun saya hanya mengatakan “saya
adalah putra daerah Timipotu, sangat tidak mungkin mereka menganggu
saya. Pasti mereka baik-baik dengan saya sebab saya sangat mencintai
mereka. Mereka (tua tanah)yang jahat-jahat itulah telah menjaga tanah
“lokasi” ini sekalipun kami Yamekopa tidak menetap di Timipotu.
Akhirnya, tanah Timipotu yang sebelumnya banyak orang ditakuti itu
kembali berdamai dengan Yamekopa asli Timipotu yang sebenarnya.
Setelah
menjalani banyak perjalanan dan banyak renungan hidup dalam mencari
tanah leluhur yang sesunggunya, saya pun mencoba mendamaikan diri
dengan penjaga tanah “MAKIME”, penjaga tumbuhan “PIYA IPUWEMW”
penjaga hewa “MUNIYA AGIYOUDO DOUTOTAIME” dan penjaga air
“adou/madou yang ada di pinggiran Yamo dan Timipotu. Akhinya,
mereka semua menyambut saya dengan besar hati sebab memang saya
adalah putra Timipotu. Kini mereka telah menjadi teman hidup dalam
perjuangan hidup. Terimaksih banyak.
Saya
tidak hanya datang mencari tanah leluhur dan datang mendamaikan
dengan penjaga penjaga yang saya tidak bisa lihat dengan mata saja
tetapi, pada akhinra saya mencoba mendiri sebuah rumah dimana tempat
untuk mengambil pikiran pikiran segar yang muncul dari atas tanah
leluhurku.
Semoga
tanah dan rumah ini menjadi dasar atau pondasi dalam perjuangan hidup
saya, berjuang untuk keluarga saya, berjuang untuk masyarakat saya,
berjuang untuk ras saya dan pada akhirnya berjuang untuk menjadi
sebuah Negara Ras Melanesia diatas tanah Papua.
Reporter
Of Timipotu News
Int.
Bidaipouga/
0 komentar :
Posting Komentar