Pdt. Socratez Sofyan Yoman (Jubi/Eveerth) |
Oleh :
Socratez Sofyan Yoman
Menyebut
nama Papua itu selalu identik dengan konflik, kekerasan terhadap kemanusiaan,
pelanggaran HAM, ketidakadilan, kemiskinan, ketertinggalan, dan separatisme.
Stigma-stigma ini tidak muncul dengan tiba-tiba begitu saja, namun diciptakan,
dipelihara, dan dikampanyekan terus menerus oleh para penguasa dalam berbagai
kesempatan dan forum dengan kepentingan-kepentingannya. Konsekwensinya yang
dikorbakan adalah penduduk asli Papua.
Sebenarnya,
persoalan Papua bukan sebatas pada apa yang disebutkan tadi. Rakyat Papua hidup
dalam kompleksitas persoalan. Misalnya permasalahan sejarah pengintegrasian
Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui PEPERA 1969 yang dinilai oleh rakyat
Papua cacat hukum dan moral serta tidak demokratis. Sementara peristiwa tahun
1969 itu dinilai Pemerintah Indonesia sudah sah dan final karena PBB sudah
mengakui Papua merupakan bagian dari wilayah Indonesia.
Persoalan
Papua memang semakin hari semakin kusut dan suram seperti tebing terjal
yang sulit terjembatani. Ada paradoksal antara realitas dan pernyataan melalui
pidato-pidato. Pemerintah Indonesia mengatakan masalah Papua adalah persoalan
kesejahteraan, dan Papua hanya persoalan internal Indonesia. Sementara
dipihak rakyat Papua, masalah Papua adalah status politik, sejarah pengintegrasian,
pelanggaran HAM, kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdimensi internasional
dan kegagalan pembangunan selama 50 tahun.
Paradoksal
lain adalah Papua menjadi daerah sangat tertutup bagi wartawan asing.
Ketertutupan dari media asing ke Papua, tentu saja pemberitaan dan
gambaran tentang realitas yang sesungguhnya di Papua dari pihak pemerintah
Indonesia dan rakyat Papua tidak menjadi obyektif dan akomodatif. Karena
keduanya, baik pemerintah Indonesia dan rakyat Papua mempunyai pemahaman
masalah Papua dari sudut kepentingannya masing-masing.
Untuk
mengakomodasi dan memotret persoalan Papua yang lebih adil dan
berimbang sesuai dengan realitas diperlukan peran media asing. Kehadiran
wartawan asing di Papua juga memberikan dukungan, kemuliaan dan penguatan
pada pemerintah Indonesia atas kemajuan-kemajuan yang diraih selama 50 tahun.
Pada saat wartawan asing tidak diberikan ijin masuk wilayah Papua, menjadi
pertanyaan besar bagi rakyat Indonesia dan juga masyarakat internasional.
Apa yang disembunyikan pemerintah Indonesia di Papua? Apa yang dilakukan
pemerintah Indonesia terhadap orang asli Papua?
Pemerintah
Indonesia akan mengatakan dengan jawaban-jawaban melalui berbagai saluran dan
kesempatan bahwa Papua dibangun dan dimajukan. Salah satunya adalah melalui
pernyataan-pernyataan Presiden Republik Indonesia, H.Dr. Susilo
Bambang Yudhoyono dalam pidato Kenegaraan setiap tanggal 16 Agustus pada
peringatan 17 Agustus 1945.
Presiden SBY
dengan konsisten dan terus menerus mendemonstrasikan penyelesaian persoalan
Papua dengan pidato-pidatonya. Walupun dalam pidato itu hanya satu dan dua
paragrap, namun pesan-pesan moral, politik adalah tegas dan multi tafsir
yang paradoksal.
Pidato
SBY pada 16 Agustus 2008 adalah“Kebijakan pemerintah yang bersifat
persuasif, proaktif, dan berimbang, ternyata mampu meyakinkan berbagai pihak,
bahwa kekerasan, ternyata mampu meyakinkan berbagai pihak, bahwa kekerasan ,
bukanlah solusiterbaikuntukmenyelesaikan masalah”.
Pidato 16
Agustus 2010 dinyatakan: Dalam sepuluh tahun pertama, kita juga telah
menyelesaikan konflik di Aceh, dan melakukan reformasi politik di Papua.
Pemerintah dengan seksama terus mempelajari dinamika yang ada di Papua, dan
akan terus menjalin komunikasi yang konstruktif dalam pembangunan Papua yang
lebih baik. Kita juga terus membangun perdamaian yang berkelanjutan di
daerah-daerah pasca-konflik.
Pemerintah
dengan seksama terus mempelajari dinamika yang ada di Papua, dan akan terus
menjalin komunikasi yang konstruktif dalam pembangunan Papua yang lebih baik.
Pidato
SBY pada 16 Agustus 2011 adalah Pemerintah terus meningkatkan dana
yang ditransfer ke daerah, baik melalui kerangka Dana Perimbangan, Dana Otonomi
Khusus, dan Dana Penyesuaian, maupun melalui kerangka Dana Dekonsentrasi dan
Tugas Perbantuan yang disalurkan oleh Kementerian dan Lembaga terkait. Kita
juga terus memperkuat konsolidasi otonomi khusus, seraya terus memperbaiki
strategi dan manajemen pembangunannya, baik di Provinsi Papua, Papua Barat,
maupun Aceh. Dan Menata Papua dengan hati, adalah kunci dari semua
langkah untuk menyukseskan pembangunan Papua.
Pidato
SBY pada 16 Agustus 2012 dinyatakan:Pemerintah memberlakukan desentralisasi
asimetris di Yogyakarta, Aceh, Papua, dan Papua Barat. Desentralisasi yang
tengah berjalan, sesungguhnya tidak mengalami perubahan prinsip. Yang dilakukan
oleh pemerintah, hanyalah pengaturan ulang agar lebih baik dan efektif bagi
peningkatan kesejahteraan rakyat.
Saudara-saudara
kita di tanah Papua, senantiasa berada di hati kita semua. Pemerintah menyadari
adanya kompleksitas persoalan yang memerlukan langkah-langkah spesifik,
mendasar, dan menyeluruh. Kita satukan langkah untuk mempercepat pembangunan
bagi rakyat Papua. Oleh karena itu, Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua Barat
adalah kerangka dasar kita dalam mengelola pelayanan publik, pembangunan, dan
pemerintahan daerah. Pemerintah telah menerapkan pendekatan yang terintegrasi
untuk mempercepat pembangunan di tanah Papua. Membangun tanah Papua dalam
bingkai NKRI, menjadi tugas kolektif semua anak bangsa.
Untuk itulah
pemerintah telah mengambil inisiatif mempercepat pembangunan di tanah Papua,
dengan agenda dan dukungan anggaran yang diperlukan. Untuk memastikan
bahwa pembangunan di Papua dan Papua Barat berjalan sesuai rencana dan
kebijakan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, pemerintah membentuk UP4B
(Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat), dengan
tugas untuk memastikan terjadinya sinergi, sinkronisasi dan koordinasi semua
pelaku pembangunan. Dengan cara itulah, secara sistematis kita dapat
mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua dan Papua
Barat.
Pidato 2013
pada 16 Agustus 2013 ditegaskan: Di Papua, kita terus mengutamakan pendekatan
kesejahteraan dan percepatan pembangunan di Provinsi itu. Penegakan hukum dan
keamanan dilakukan dengan tetap memberikan penghormatan pada Hak-hak Asasi
Manusia, dan kekhususan budaya masyarakat Papua. Pemerintah Pusat terus meningkatkan
besaran anggaran untuk mempercepat dan memperluas pembangunan di Papua. Saat
ini, berbagai program pembangunan infrastruktur tengah berlangsung secara
intensif di berbagai wilayah Papua. Kita juga sedang merancang suatu formula
Otonomi Khusus, yang mampu memberikan nilai tambah dan terobosan baru bagi
terwujudnya kemajuan dan kemuliaan Papua.
Membaca
dari isi pidato Presiden Republik Indonesia dalam menyakapi untuk penyelesaian
persoalan Papua, patut diapresiasi karena ada pesan-pesan moral dan
nilai-nilai kemanusiaan yang menyentuh di hati para pendengar dan pembaca
pidato dari H. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono.
Walaupun
pidato-pidato SBY sepertinya meyakinkan para pendengar seluruh rakyat
Indonesia dan masyarakat Internasional, penyelesaian persoalan Papua tetap
paradoksal antara pidato-pidato dan kenyataan di lapangan yang dihadapi dan
dialami penduduk asli Papua.
Masalah
Papua sulit diselesaikan karena pelanggaran HAM meningkat tajam. Kemiskinan
rakyat Papua bertambah di atas tanah yang kaya raya. Peminggiran penduduk asli
Papua semakin nyata. Membanjirnya penduduk dari luar Papua ke Papua tanpa
terkendali sulit dibendung. Pemusnahan etnis Papua dalam berbagai bentuk sulit
dihindari. Perampasan tanah penduduk asli Papua atas nama pembangunan
nasional sulit dibendung. Kematian penduduk asli Papua hampir setiap hari
merupakan fenomena baru. Para dokter menolong persalinan ibu-ibu asli
Papua dengan cara beroperasi meningkat tajam dan merata di Papua. Ruang
demokrasi dan kebebasan bergerak dan berekspresi bagi orang asli Papua tertutup
rapat.
Pemerintah
Indonesia tidak melaksanakan dengan sungguh-sungguh dan
konsisten kebijakan Otsus yang merupakan keputusan politik. Pemerintah
juga tidak menyadari bahwa otsus adalah alat tawar-menawar dan jalan penyelesaian
menang-menang antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia tentang status
politik Papua dalam wilayah Indonesia. UU Otsus dibuat karena
seluruh rakyat Papua menyatakan aspirasi politik untuk keluar dari
wilayah Indonesia, merdeka dan berdaulat penuh.
Pemerintah
lupa bahwa UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001 penyelesaian masalah Papua yang
akomodatif dan berprospek damai. Otsus adalah jalan kemenangan dan
kemajuan yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia. Tapi, sayang,
Otonomi Khusus sebagai solusi politik yang berprospek damai dan bermartabat itu
dinyatakan gagal total dari berbagai pihak dan rakyat Papua.
Yang tidak
disadari pemerintah adalah Otonomi Khusus bukan merupakan hadiah
Pemerintah Indonesia kepada rakyat Papua. Pemerintah juga lupa, Otsus
bukan pemberian cuma-cuma dari pemerintah kepada rakyat Papua.
Otsus tidak lahir dengan tiba-tiba. Kebanyakan rakyat Indonesia dan komunitas
Internasional tidak tahu latar belakang dan fakta sejarah
lahirnya Otonomi Khusus bagi Papua.
Jadi, penyelesaian
masalah Papua tidak bisa hanya dengan pidato-pidato, janji-janji, tanpa
aksi nyata. Pidato SBY menyebut tentang solusi Papua sudah berulang
kali, namun kenyataan di lapangan sangat jauh dari apa yang diharapkan Presiden
dalam pidato dan janjinya.
Permasalahan
Papua sangat kompleks, maka tidak maka tepat diselesaikan dengan sebuah
unit seperti UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua
Barat).Pertanyaannya ialah apakah UP4B yang dibuat secara sepihak tanpa
melibatkan semua unsur masyarakat Papua itu bisa menyelesaikan masalah
Papua? Dan apakah solusi terbaru adalah Otonomi Khusus Plus
mampu menyelesaikan akar masalah Papua?.
Apakah
dengan melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) membangun 14
ruas jalan di Papua dan Papua Barat dengan anggaran Rp 425 milyar, yang
dialokasikan dari Kementerian Pertahanan itu dapat menyelesaikan masalah
Papua? Ruas jalan yang dibangun TNI adalah Jalan
Kosanaweja-Trimuris-Sarmi Rp 25 miliar, Jalan Lagasari-Wapoga-Sumiangga Rp 35
milyar, Jalan Botawa-Wapoga Rp 20 milyar, Jlan Windesi-Yaur-Kwatisore Rp 35
milyar, Jalan Oksibil-Kawor-Woropko Rp 53 milyar, Jalan Suru-Suru-Obio-Dekai Rp
40 milyar, Jalan Mamugu-Batas Batu Rp 40 milyar dan Jalan LingkarMarsinam Rp 17
milyar. (sumber: Koran Tempo, 3/09/2013).
Pendekatan
penyelesaian masalah Papua seperti UP4B dan Otonomi Khusus Plus dan melibatkan
aparat TNI hanya cara pemerintah untuk menghindar dari tuntutan
rakyat yang sesungguhnya. Pendekatan yang tidak menyentuh substansi masalah
Papua seperti ini, pemerintah terus mengkekalkan dan memperpanjang
penderitaan penduduk asli Papua.
Solusi
masalah Papua yang lebih manusiawi, bermartabat dan menyeluruh yang
dituntut mayoritas rakyat Papua adalah dialog damai yang jujur dan setara
antara pemerintah Indonesia dan rakyat Papua tanpa syarat yang dimediasi pihak
ketiga yang netral.Jalan dialog damai ini demi kemajuan dan kemuliaan
bagi pemerintah Indonesia dan rakyat Papua.
Penulis:
Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua
Sumber : www.tabloidjubi.com
0 komentar :
Posting Komentar