Markus Madlama ( foto. Facebook) |
Oleh,
Markus Medlama
Kaitan
pemikiran Gustavo Gutiérrez tentang Teologi Pembebasan dan perlu adanya gagasan
pemikiran baru di Papua , ada beberapa hal yang ditawarkan berkaitan dengan
teologi pembebasan yaitu seperti, Gustavo Gutiérrez menawarkan teologi kepada
umat Kristen suatu tema baru secara etis melalui praksis. Artinya adalah bahwa
etika masyarakat seharusnya dibangun berdasarkan perenungan bersama yang
dilakukan secara nyata dalam kehidupannya.
Teologinya
berpusat pada pengentasan rakyat miskin yang diperlakukan tidak adil oleh
sistem masyarakat kelas yang memisahkan manusia dalam kategori borjuis (para
bangsawan yang biasanya kaya) dan proletar (rakyat jelata yang hanya punya anak
namun tanpa harta).
Ini
sebagai respons terhadap kritik Karl Marx terhadap 'masyarakat kelas' akibat
dominasi kapitalisme. Teologi Pembebasan yang dimaksud oleh Gutiérrez adalah
pengentasan di bidang politik dan sosial. Sekalipun bermula dari pemahaman
politik, namun ini bukanlah penyusutan paham iman, melainkan refleksi iman yang
malampaui refleksi sosial dan politik.
Jadi
teologinya berpusat pada yudaisme Yesus Kristus secara historis. Gutiérrez
menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah "Si orang miskin" yang
disamakan dengan orang-orang yang tertindas saat ini di dunia. Hal ini
didasarkan pula dari Alkitab Injil Matius 5:10.
Pembebasan
yang dilakukan Yesus di atas kayu salib memerankan dua aspek, yaitu membebaskan
manusia dari penindasan duniawi (kehidupan fisik sosial politik) dan penindasan
iman (dosa, kematian, kefanaan dsb).
Gutiérrez
juga berteologi memandang bahwa kejahatan dan penderitaan bukan berasal dari
Allah, malainkan sebuah nilai moral yang melampuai hukum manusia.sebab penderitaan
dan kejahatan adalah peleburan cinta kasih Allah melalui kasih yang tak
bersyarat. Dari pemikiran teologi pembebasan Gustavo Gutiérrez ini saya ingin
memberi pendapat saya untuk keadaan di Papua.sebelum melanjutkan saya ingin
mencoba membagi dalam beberapa bagian kelompok untuk keadaan di Papua yaitu:
1.
Kelompok
Agama (Kristen protestan,Kristen. Katolik Muslim, agama-agama suku, dan lainya,
sprti Hindu dan Budha yg secara jumlah sedikit )
2.
Lembaga
Adat,
3.
Lembaga
pemerintahan ( yudikatif, legislatif dan eksekutif)
4.
Lembaga Politik
5.
Kelompok/
Gerakan Papua Merdeka (Free West Papua) .
Melihat
terbaginya kelompok masyarakat ini tentunya tidak terlepas dari sejarah, karena
itu apabila ditelusuri maka akan ditemukan akar permasalahan mengapa tercipta
suatu suasana Papua yang sepertinya memang seharusnya ada seperti saat ini, dan
akhirnya dapat disaksikan bahwa makin mengarah pada terciptanya suatu budaya
Papua tak jelas (budaya abal-abal) ,ijinkan saya katakan budaya Papua saat ini
adalah budaya yang diakibatkan oleh berbagai kepentingan sehingga Papua telah
kehilangan jati diri kepapuaan. Apabila dikaitkan dengan pemikiran teologi
pembebasan dari Gustavo Gutiérrez , maka akan diperhadapkan dengan terbaginya
kelas-kelas sosial yang sudah lama terjadi, kelas bawa, kelas menengah, kelas
atas.
Makin
memprihatinkan adalah kelas atas atau para elit politik asal Papua sendiri
diperdaya oleh permainan politik kotor dari Pusat, sehingga para elit politik
asal daerah yang idealis/ kritis itu terkontaminasi tanpa sadar dan mereka
tidak bisa keluar lagi untuk berbicara di bidang yang lain karena permainan
politik kotor merusak nama baik mereka. Sayangnya, disisi suasana ini peran
gereja tidak terlihat, karena gereja-gereja di Papua telah telah menjadi
"bahan komoditas politik" ,praktek politik kotor telah menciptakan
Papua menjadi Papua yang beringas, tidak punya hati, tidak tau malu, saling
memakan karena kepentingan satu sama lain, munculnya kembali perang suku, para
elit politik menjadikan masyarakan sebagai alat dalam memuluskan tujuan kotor
dll. Ini semua adalah akibat dari gereja tidak berperan sebagaimana mestinya
karena itu Teologi pembebabasan menawarkan beberapa pokok pemikiran yaitu:
1.
Gereja-Gereja
mulai mencoba memikirkan untuk Membangun Teologi kontekstual berwarna Papua (
Teologi Papuanisasi)
2.
Persamaan
kelas ( di sisi ini tidak mungkin persamaan kelas secara total, maka perlu ada
pemahaman dari para elit politik dan birokrat untuk benar-benar bekerja dengan
hati) sehingga tidak ada lagi orang amber lebih kaya dari orang Pribumi, atau
disini mungkin perlu melepaskan ada kesan bahwa orang non Papua adalah orang
kelas satu/atas.
3.
Yang
berikut apabilah dual hal diatas tidak tercapai maka harus turun jalan untuk
melawan permainan penguasa. Memang pemikiran teologi pembebasan ini berangkat
dari pemikiran karl max (sosialis) tentang ketidaksetujuanya terhadap adanya
pembagian kelas sosial, maka prinsip dari teologi pembebasan adalah sama rasa,
duduk sama renda berdiri sama tinggi.
Maka
apabila institusi/lembaga negara serta pemimpin-pemimpinnya yang ada tidak
melakuakn tugas sebagaimana mestinya,maka pada titik tertentu perlu ada
pemberontakan, aksi, pergerakan, dan juga perlu ada rasa risih/ marah benci
terhadap suasana ketidakadilan, praktik-praktik politik kotor yang
mengakibatkan hancurnya tatanan sosial.
Kata-kata
seperti pemberontakan, aksi ,pergerakan atau lainya itu kadangkala dinilai
dengan konotasi negatif, namun tidak pernah disadari tujuan dari pergerakan itu
sendiri, karena itu ,untuk suatu tujuan yang baik kenapa harus takut dan
gentar. Prinsip-prinsip Teologi pembebasan Kemudian di dalam tatanan praksis
apabila dilihat Dari sudut pandang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan
dengan cepat, kita lebih mengenal dengan istilah REVOLUSI sejarah perkembanganya,lambang
revolusi dunia kita kenal dengan Fidel Castro dan saudaranya Raul Castro
kemudian dr.Che Guevara menjadi orang-orang yang sangat dikenang di dunia
dengan usaha revolusi yang dilakukan di Peru.
Sudut
pandang teologi pembebasan memberi ruang untuk menghilangkan sekat-sekat
tatanan sosial yang lebih dikenal dengan istilah yang kaya makin kaya dan yang
miskin makin miskin, dan dari revolusi merupakan alat mewujudkanya. Sepertinya
usulan ini terasa berbau politik, kalo demikian pertanyaan refleksi saya adalah
sampai kapan dualisme ( gereja=rohani dan pemerintahan =tidak rohani) ini
berlanjut? sehingga tanpa disadari, Papua akan dikuasai oleh "kepentingan
lain" yang menawarkan dengan berbagai cara. Bukankah, umat Tuhan dipanggil
untuk menjadi berkat dalam berbagai lini kehidupan?
Markus Madlama, Adalah salah satu mahasiswa yang kuliah di Kampus STT. INTI. Institut Teologia Indonesia, Bandung Jawa Barat.
Apakah dengan intruksi dari orang lain melalui buku atau dengan media masa lalu menjadi patokan untuk pembanggunan papua saya pikir tidak, hanya saja kita menerima namun itu hanya menjadi patokan boleh. menurut saya memiliki ideh dan juga menerima ilmu kemudian menerapkan di papua bangi saya itu jawaban yang tepat. dibalik Fenomena yang terjadi di papua,entah di organisasi gereja bahkan pemerintahan dll itu ada rencana yang idah dibalik itu semua. artinya berjalan kaki dengan pelang tapi tetap tibah sujuan yang diingginkan oleh odigenus of papua
BalasHapus