Jayapura — Hari ini
tanggal 5 Oktober 2013, TNI akan merayakan HUT yang ke-68. Di tengah
perayaan ini, agenda reformasi TNI justru masih dicederai banyak kasus
penyimpangan. Salah satunya pelibatan anggota TNI untuk menjadi penyidik
di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), keterlibatan intelijen sandi
negara dalam KPU dan aksi kekerasan yang dilakukan anggota TNI.
“IMPARSIAL (the Indonesian Human Rights Monitor) memandang bahwa upaya pelibatkan anggota TNI untuk menjadi penyidik KPK merupakan langkah yang keliru. Langkah tersebut justru akan menarik TNI kembali masuk ke dalam ranah penegakan hukum seperti di masa Orde Baru dan merupakan langkah mundur dalam reformasi TNI,”ujar Direktur Eksekutif Imparsial Poengki Indarti melalui pesan elektroniknya, Jumat 4 Oktober.
Tanpa keterlibatan TNI, lanjut dia, KPK sesungguhnya sudah sangat berhasil di dalam melakukan kerja pemberantasan korupsi selama ini. “Terakhir, KPK berhasil mengungkap dugaan korupsi yang melibatkan pimpinan Mahkamah Konstitusi. Kita semua patut mengapresiasi kerja KPK di masa reformasi,”tandasnya.
Dalam konteks itu, tidak ada alasan buat KPK untuk melibatkan TNI di KPK. Pelibatan TNI justru akan kontraproduktif dan bertentangan dengan UU TNI. “KPK seharusnya fokus pada penguatan kelembagaan dengan membentuk penyidik independen yang tidak melibatkan TNI. Dan diharapkan kedepan, KPK menjadi lembaga yang benar-benar independen dimana para penyidiknya berasal dari penyidik yang dibentuk oleh KPK sendiri,”ujarnya.
Keterlibatan anggota TNI juga dikhawatirkan akan semakin menyulitkan KPK untuk menangani kasus-kasus dugaan korupsi di sektor pertahanan. TNI selama ini selalu berlindung di balik peradilan militer. Dengan alasan yurisdiksi, kasus-kasus dugaan penyimpangan di sektor pertahanan dan TNI seringkali tidak bisa diadili di peradilan umum. “Oleh karena itu, masuknya TNI ke KPK selain akan mempersulit reformasi peradilan militer, tetapi juga menghambat penanganan kasus korupsi yang diduga dilakukan TNI,”terangnya.
Imparsial juga mengecam keterlibatan intelijen sandi negara dalam KPU. Apalagi pimpinan lembaga sandi negara (LSN) adalah jenderal TNI aktif. “Keterlibatan lembaga sandi negara akan membuka ruang potensi abuse of power oleh rezim yang berkuasa demi kepentingan pemenangan pemilu. Keterlibatan lembaga sandi negara di KPU telah menyalahi fungsi dan tugas LSN,” pungkasnya.
Lebih dari itu, banyak pekerjaan rumah dari reformasi TNI yang hingga kini juga belum kunjung tuntas. Salah satu agenda yang penting dan utama adalah melakukan reformasi peradilan militer melalui revisi UU 31/1997. “Tanpa adanya reformasi peradilan militer maka anggota TNI akan selalu diistimewakan di hadapan hukum. Impunitas akan selalu terjadi dalam peradilan militer,”tuturnya.
Kekerasan yg dilakukan oleh anggota TNI juga masih marak terjadi di masa reformasi. “Terakhir terjadi pada peristiwa penyerangan LP Cebongan. Sayangnya para pelaku hanya divonis ringan melalui peradilan militer dan tidak menyentuh ke atasannya,”tukasnya.
IMPARSIAL (the Indonesian Human Rights Monitor) mendesak:
1.1. KPK tidak melibatkan anggota TNI di KPK.
2.2. Tidak melibatkan lembaga sandi negara dalam proses pemilu.
3.3. DPR wajib menegur dan mengevaluasi Panglima TNI terkait dengan keterlibatan anggota TNI yang terlibat di KPK.
4.4. DPR wajib menegur dan mengevaluasi keterlibatan Lembaga Sandi Negara di KPU
5.5. Otoritas sipil harus segera menyelesaikan seluruh agenda reformasi TNI dan utamanya adalah reformasi peradilan militer. (Jir/don/l03)
Sumber : http://bintangpapua.com
0 komentar :
Posting Komentar