Oleh : Thaha Moh. Alhamid
Semenjak Bapak dilantik menjadi orang nomor satu di Provinsi Papua,
pasti Bapak sangat menyadari betapa di hadapan, bahkan disepanjang mata
hati memandang, sudah bertimbun masalah masalah besar yang menuntut
sentuhan bijak dengan perhatian serius. Sebut saja, implementasi Otsus
yang kacau balau, pemerintahan daerah yang nyaris stagnan, korupsi yang
makin menggurita, konflik sosial politik yang seringkali meledak di
setiap wilayah, pelanggaran HAM, tuntutan hak politik & hak
hidup yang kian nyaring disuarakan sampai pada perihal kesejahteraan
rakyat yang belum menggembirakan, walaupun sudah menghabiskan dana
puluhan trilyun.
Kali ini, melalui surat terbuka ini saya tertarik menyoroti salah satu ‘agenda warisan’
yang ditinggalkan oleh Gubernur Bas Suebu, yakni Pembangunan Pasar
Mama-Mama Papua. Dari berbagai media lokal, kita tahu bahwa pembangunan
pasar tempat mama mama Papua berjualan seakan sudah menjadi kebijakan
final lagi mendesak.
Jujur saja Bapak Gubernur Yang Terhormat, Saya adalah salah satu dari
sedikit orang yang tidak percaya bahwa membangun Pasar (secara fisik)
akan menolong Mama-Mama Papua keluar dari pergumulan ekonomi pasar
modern. Karenanya, saya pikir kebijakan ini sebaiknya dikaji lebih
dalam lagi dari pelbagai perspektif, sebelum berbuah masalah dikemudian
hari.
Benarkah, sebuah bangunan pasar menjadi begitu urgent untuk menolong
pergerakan ekonomi mama-mama Papua, ataukah ada faktor lain yang jauh
lebih penting? Benarkah, kemasan jauh lebih penting daripada substansi?
Memang selama ini Pasar atau sekolah, sering diartikan hanya sebatas
bangunan gedung, salah satunya, karena sejak orde baru birokrasi negeri
ini sudah terjebak di jurang project oriented. Sama juga seperti rumah
sakit, gereja atau masjid. Padahal bangunan, bukanlah konteks yang
hakiki. Substansi dari sekolah terletak pada ada tidaknya proses
transfer dan transformasi ilmu pengetahuan & teknologi. Substansi
dari pasar adalah adanya peristiwa jual beli sebagai wujud aktifitas
ekonomi, bukan pada bangunannya. Demikian halnya Gereja, Mesjid atau
Pura. Substansinya adalah Jemaat/Jamaah yang didalamnya bermakna
peribadatan serta pembinaan iman dan ahlak. Bergeser dari substansi,
maka nama serta nilai fungsional mesti berubah. Itulah sebabnya saya
sangat percaya bahwa problema ekonomi mama-mama Papua, bukan hanya
terletak pada ada atau tidak adanya sebuah bangunan pasar secara fisik.
De facto, sudah sejak 1970-an mama-mama Papua, dengan kesiapan yang
terbatas berani melangkah masuk ke sektor pasar modern. Kesediaan Ini
sekaligus berarti mereka dengan sukarela mau memikul beban sebagai ‘pejuang ekonomi keluarga’ walaupun harus bergumul di bawah tekanan.
Mama-Mama Genyem di Kamp. Tiba-tiba boleh kita sebut sebagai pionir
di pasar lama Abepura. Mama-mama Serui dari Hamadi dan Doksem pantas
juga masuk kategori pionir. Fenomena ini menunjukkan bahwa ternyata
kaum perempuan, mama-mama Papua inilah yang lebih dulu paling bersedia
masuk pasar modern, bersedia melakukan interaksi ekonomi walau dengan
intensitas dan kapasitas yang masih sangat terbatas.
Era 1980-an keatas, pasar modern di hampir seluruh sudut kota
Jayapura didominasi oleh mama-mama dari Paniai tapi juga dari
Jayawijaya. Terbukti sekalilagi, ternyata kaum perempuanlah (tidak peduli dari gunung ataupun pesisir pantai)
yang paling siap berinteraksi dengan situasi modern. Mereka berhasil
menemukan alternatif usaha produktif setelah bermigrasi ke kota,
meninggalkan kebun dan lahan pertanian di kampung halaman. Mereka dengan
bijak beralih dari sektor hulu ke hilir, dari produksi ke perdagangan,
walaupun dalam kenyataannya mereka harus menghadapi situasi penuh
tekanan. Itulah pilihan bijak untuk mengimbangi kebutuhan hidup di kota.
Saya percaya, sebagian terbesar dari tekanan yang mereka hadapi
adalah tekanan yang nyaris bersifat struktural, diantaranya kebijakan
pembangunan pasar yang cenderung kurang adil, juga problem terbatasnya
atau bahkan ketiadaan modal usaha yang seringkali membuat mereka
terlilit berkepanjangan dan sulit menemukan solusi yang ramah. Belum
lagi faktor kesiapan budaya lantaran bermutasi dari pola ekonomi
tradisional dan barter ke transaksi ekonomi modern. Termasuk juga
persepsi kultural tentang eksistensi perempuan yang terpaksa harus
bekerja di luar rumah lebih banyak daripada tinggal di rumah mengasuh
anak dan urus suami.
Mereka inilah Perempuan Perkasa yang harus memperoleh kedaulatan
ekonomi. Karena itu, pertanyaan kritis kita yang pertama : Pantaskah
kita berencana mengurung apresiasi ekonomi para pionir ini dalam sebuah
penjara yang bernama Pasar, apalagi sekedar dalam pengertian bangunan
fisik.
Adi Sasono, salah seorang Bapak LSM Indonesia yang puluhan tahun
setia berkarya di dunia ekonomi kerakyatan memberi pesan penting, … Jika
kita ingin bekerja membebaskan masyarakat dari lumpur kemiskinan, maka
kita musti memastikan bahwa mereka memiliki alat produksi agar mereka
sanggup menentukan nasib (ekonomi) nya sendiri.
Memiliki alat produksi sendiri memberi harapan mereka akan tumbuh
menjadi pedagang yang bebas menentukan pilihan dan nasib (ekonomi)
sendiri, menjadi mandiri, terhormat dan tidak bergantung pada belas
kasihan.
Kita semua tahu, mama-mama Papua yang berjualan di kota Jayapura,
umumnya bukan petani. Mereka bukan lagi petani yang memproduksi apa yang
dipasarkan. Sayur, tomat, cabe, bawang yang mereka jajakan, semuanya
mereka beli dari petani produsen lalu menjualnya kembali kepada konsumen
di kota. Dengan model dagang yang biasa disebut papalele seperti ini,
maka setiap hari mereka pasti membutuhkan alat bayar yang bernama uang
atau dana segar untuk membeli barang jualan termasuk membayar ongkos
transport. Pertanyaan penting , dari mana gerangan mama-mama Papua ini
mengakses modal yang tidak memberatkan. Nyatanya setiap hari mereka
memerlukan itu.
Beban mereka sudah cukup berat, tekanan di pasar modern pun terbilang
kompleks, jadi wajarlah bila kita sebaiknya pilih, mana yang paling
mendesak. Bangun Pasar khusus mama-mama Papua atau segera mendorong
terbentuknya Lembaga Keuangan Mikro, tempat dimana mama-mama bisa
memperoleh modal usaha dengan pola kredit yang ramah, sekaligus lewat
kerjasama dengan LSM, perguruan tinggi atau para pihak yang kompeten
para pedagang ini bisa peroleh pembinaan manajemen praktis dan
pendampingan usaha.
Jalan Masuk
Adanya pasar khusus bagi mama mama Papua, otomatis menciptakan
segregasi ekonomi pasar. Apalagi kalau pedagang yang boleh berjualan
disitu hanya orang Papua saja. Kita bisa tebak, hampir pasti aneka jenis
barang yang dijajakan boleh jadi sama. Soal konsumen, tentu siapa
saja boleh, tetapi jika barang yang dijual kurang variatif, maka pasar
kehilangan daya pikat.
Hal lain yang juga penting adalah kenyatan bahwa Pasar merupakan
instrumen ekonomi, bukan konstruksi politik. Jika pasar diletakkan dalam
bingkai entitas etnik tertentu, niscaya dinamikanya terpenjara. Kita
tahu, ekonomi selalu bersifat global-universal. Uang tidak punya suku,
tidak memiliki agama dan atau entitas primordial lainnya. Uang yang kita
tabung dalam rupiah di Papua, bila kita ambil lewat anjungan tunai
mandiri di Eropa, maka yang keluar adalah mata uang Euro. Itulah
kekerabatan uang. Persaudaraan uang se dunia.
Memang kondisi paradoks serta benturan yang dialami tidak
terhindarkan lagi, lantaran sudah salah dari awal. Bagaimana tidak,
fenomena mama-mama Papua ini menunjuk pada satu situasi sosial yang
kontradiktif dimana masyarakat lokal yang baru mau keluar dari pola
ekonomi sagu terpaksa harus bertabrakan muka dengan pola, mekanisme
maupun siasat ekonomi global yang sudah tumbuh berkembang ratusan tahun.
Itulah sebabnya, saya percaya jika kita salah menyiasati, sudah bisa
dipastikan siapa akan tergusur, siapa akan terlempar dan terkapar tak
berdaya. Sebab di lintasan ini banyak tikungan tajam. Kekuasaan ekonomi
pasar berada pada modal serta akses. Bukan pada entitas Cina, Jawa,
Makassar atau Papua.
Mari kita pikirkan lagi, menempatkan mama-mama Papua di sebuah
bangunan pasar bertingkat yang eksklusif dan dibangun dengan biaya
puluhan milyar, akan menolong atau justru melahirkan sejumlah kewajiban
baru yang harus mereka pikul, beban mama mama akan bertambah berat
sementara barang dagangan dengan harga tertinggi, paling paling seharga
100 ribu Rupiah.
Bagaimana dengan retribusi, keamanan, kebersihan, listrik dan air
bersih, semuanya mesti jadi beban mama-mama ? Oh Tuhan….., ini bukan
lagi jalan keluar untuk membebaskan, melainkan jalan masuk menuju
penjara yang tak berujung.
Kalau kemudian kita berfikir, soal retribusi keamanan, air bersih dan
listrik dan lain-lain biar saja Pemda yang tanggung, maka sejatinya
kita sedang berjuang menempatkan mama mama yang dulunya pionir ini ke
posisi inferior, menanti belas kasihan, tidak terhormat dan rawan
dieksploitasi, termasuk menjadi komoditi politik.
Hemat saya, biarkan mama mama Papua kita bersaing dalam interaksi
pasar yang heterogen, terbuka dan penuh sumber belajar. Asalkan mereka
memiliki 4 (empat) hal, yakni : (i). Modal yang kuat dari pola kredit
yang ramah; (ii). Penguatan manajemen praktis; serta (iii). Akses
terhadap informasi dan teknologi; serta (iv). Regulasi yang berpihak,
misalnya memprotek komoditi lokal hanya untuk mereka. Sebagai contoh,
mari kita lihat manajemen pinang. Orang Ormu adalah petani pinang, yang
mengkonsumsi pinang juga masyarakat Papua, tapi siapa yang kaya dari
komoditi ini?
Jalan Keluar
Salah satu dari 4 fokus Otonomi Khusus adalah Pemberdayaan ekonomi rakyat.
Masyarakat kebudayaan asli Papua. Kita semua faham, Otsus bukan hadiah,
bukan juga sintesa kebijakan pembangunan. Pemberian status Otonomi
Khusus kepada Papua (termasuk Provinsi yang sekarang bernama Papua
Barat) sepenuhnya merupakan ikhtiar politis lantaran ada pergolakan
politik. Motif yang melahirkan pergolakan politik bisa macam-macam,
tapi dalam konteks ini, saya kira kita tidak boleh tutup mata bahwa
terlalu lama praktek ekonomi dijalankan secara tidak adil, dominasi tak
terbatas yang disertai marginalisasi dan likwidasi masyarakat kebudayaan
asli dari asset ekonomi tradisionalnya (hutan, dusun sagu serta laut yang kaya).
Pemicu lain yang tidak kalah tajam adalah peristiwa ketidakadilan
sosial yang berdiri sejajar dengan Pelanggaran HAM yang tidak pernah di
pertanggung jawabkan secara hukum maupun moral. Saya rasa, di belahan
dunia manapun, jika kondisi seperti itu terjadi dalam kurun lama dan
massif, pasti muncul pergolakan sosial politik. Jangan salahkan si anak
tiri yang melempar kaca, tetapi mari bertanya, mengapa ia nekat
melakukan itu ?
Otsus Papua jelas merupakan Desentralisasi Asimetris yang
diberikan kepada suatu daerah lantaran di daerah itu ada pergolakan
politik. Itulah sebabnya, Pak SBY sejak masih menjadi Menkopolkam selalu
berpegang pada prinsip bahwa Otsus adalah solusi politik bagi masalah
Papua.
Sebagai solusi politik, dengan gambar sederhana diatas, kira-kira
beginilah hakekat tujuan Otonomi Khusus Papua. Sangat diimpikan dalam
kurun 2001 – 2025 : Semakin besar tingkat kemanfaatan Otsus bagi orang
Papua (kesejahteraan, hak hidup, hak budaya, hak ekonomi, hak atas
emansipasi sosial, hak asasi manusia, hak atas kebebasan dan demokrasi), diharapkan berbanding lurus dengan menurunnya aspirasi politik Papua Merdeka.
Kini, hampir di penghujung 2013 ini, saat Bapak dilantik menjadi
Gubernur, Otonomi khusus sudah masuk usia `12 tahun. Hasilnya, seluruh
dunia sudah tahu. Otsus Papua penuh liku-liku dan luka-luka, Gagal dan
Kacau balau. Uang Otsus habis terus, tapi manfaat bagi pemenuhan hak-hak
dasar orang Papua, Nol. Tidak ada hasil nyata yang secara signifikan
mampu merubah pilihan ideologis orang Papua. Suara dan kerja-kerja
aktifis Papua Merdeka tetap berjalan, sementara Otsus makin terkapar.
Buktinya, Presiden SBY segera terbitkan Inpres 5 Tahun 2007 yang juga
menemui jalan buntu. Sama persis dengan itu, Presiden lalu membentuk
Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Gagasanya, untuk
percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat serta selamatkan Otsus
lewat koordinasi dan sinkronisasi program. Usia UP4B hampir tamat.
Lantas apa lagi jurus berikutnya ?
Bapak Gubernur Yang Terhormat, Motif ekonomi dalam dinamika Papua,
tampaknya semakin perlu mendapat perhatian serius. Hemat saya, motif
inilah yang telah jauh menyeret Papua ke cekungan konflik sekaligus
merendam rakyat negeri ini di lumpur kemiskinan. Mungkinkah di era
Lukmen ini, kita bisa bangkitkan derajat ekonomi rakyat Papua.
Saya rasa, itu bukan cita-cita yang mustahil. Syaratnya, Bapak Gubernur harus berani ambil langkah revolusioner.
Mari kita hitung, setelah 12 Tahun lewat, berapa sebenarnya total
dana Otsus yang dialokasi untuk bidang ekonomi rakyat? Apakah ada 5
Milyar per tahun? Atau kita sebut saja 4 Milyar pertahun. Maka 4 Milyar x
25 tahun Otsus berarti Pemerintah akan sisihkan 100 Milyar sebagai skim
khusus pemberdayaan ekonomi rakyat Papua.
Uang 100 Milyar ini, lewat persetujuan dan mekanisme formal yang ada
silahkan taruh di Bank Papua. Bank Papua, Universitas, Intansi terkait,
SOLPAP, LSM, Organisasi Gereja dan Agama bikin lokakarya, susun
regulasi kredit yang khusus dibuat untuk menjalankan dana dari sumber
ini. Jangan gunakan regulasi kredit konvensional dengan agunan ini itu.
Ini dana Otsus, dana darurat, uang yang harus dikucurkan agar orang
Papua tidak berteriak Merdeka lagi. Jadi, kita tidak perlu putar dengan
berbagai retorika politik angin sorga. Realistis saja.
Bapak Gubernur Jangan takut. Pake saja logika kampung, logika big-man
dan tidak usah terlalu banyak tergoda dengan retorika birokrasi. Dana
Otonomi khusus adalah dana untuk rakyat.
Kalau perlu undang Presiden datang luncurkan Skim Kredit Khusus ini.
Bapak Gubernur boleh menyebut ini pendekatan optimalisasi atau
revitalisasi Otsus, jauh lebih logis daripada berfikir amandemen atau
revisi Undang-Undang Otsus. Apalagi saat ini posisi tawar politik Papua
sedang rendah, jauh berbeda dengan situasi dimana Otsus dilahirkan. Ini
tidak cukup menolong untuk sebuah negosiasi.
Dengan pendekatan ini, maka dalam kurun 5 tahun kepemimpinan Lukmen
serta di era sisa periode Otsus ini, seorang Lukas Enembe, Gubernur yang
baru turun gunung dari Puncak nan Jaya, berpeluang mencetak anak-anak
muda Papua menjadi Pengusaha yang kuat tapi bermartabat. Pedagang
mama-mama Papua menjadi pionir ekonomi yang terhormat, kuat lagi
bermartabat, juga para nelayan yang tangguh secara finansial, lantaran
mereka semua memiliki alat produksi sendiri. Tidak tergantung dan selalu
mengharap belas kasihan. Mereka disiapkan melalui jalan yang
bertanggung jawab, yaitu pola kredit khusus. Bukan pola minta-minta yang
penuh belas kasihan dan selalu membuat tangan dibawah merasa inferior,
kecil dan tak berdaya. Era Lukmen akan dicatat dalam sejarah Papua,
sebagai periode emas karena Bapak Gubernur berani ambil peran sebagai
Kepala Suku, sebagai mambri yang memimpin sebuah revolusi ekonomi rakyat
guna mencetak Orang Papua menjadi Mandiri dan Sejahtera tapi sekaligus
bermartabat. Mereka kuat bukan karena tetesan belas kasihan, bukan
karena minta-minta, melainkan tumbuh dan dibesarkan dalam tantangan,
persaingan serta pasar yang terbuka.
Bapak Gubernur Yang Terhormat, saya kira inilah Jalan Keluar. Inilah kearifan Lukmen membangun Kedaulatan Ekonomi orang Papua,
daripada 13 Tahun mendatang semuanya menguap bagai buih di bibir
pantai. Lalu orang Papua duduk baku lihat, menyesal serta saling
menyalahkan.
Salam hangat & Tuhan Berkati
Thaha Moh. Alhamid
Pendiri Aliansi Demokrasi untuk Papua.
0 komentar :
Posting Komentar