News
Loading...

Tailing Freeport, Sumber Kematian

Timika --- Limbah buangan PT Freeport Indonesia menjadi penyebab radang selaput otak, yang mengakibatkan kematian bayi di  Bumi Kamoro. 

Praktisi kesehatan Ibu dan Anak Indonesia, Dedeh Widaningrum, Widodo Wirawan dan Mubasysyir Hasanbasri, dalam Jurnal Kesehatan di Kampus Universitas Gajah Madah Yogyakarta, 30 Desember 2009  mengatakan indikator derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat ditandai dengan jumlah kematian ibu, jumlah kematian bayi, dan usia harapan hidup. 

Sampai saat ini, kematian ibu masih merupakan salah satu masalah prioritas bidang kesehatan ibu dan anak di Indonesia. 

Di Papua, Kabupaten Mimika (pusat industri emas dan tembaga) dan bahan galian lainnya masuk dalam cakupan perhatian.

Jurnal Kesehatan tersebut dipublikasikan melalui http://lrc- mpk.ugm.ac.id/id/UP-PDF/_working/No.16_Dedeh_04_07.pdf. Ketiga praktisi  memperkirakan, terjadi 5 juta persalinan setiap tahun. Dua puluh ribu di antaranya berakhir dengan kematian. 

Sebab-sebab yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan sebanyak 14. 

Kabupaten Mimika, dibentuk pada 1997, merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Fakfak. Secara yuridis ditetapkan sebagai  kabupaten definitif pada  Maret 2000. 

“Meskipun telah terjadi penurunan kematian bayi di tingkat nasional maupun provinsi, angka dan risiko kematian bayi di Mimika  saat ini diperkirakan masih  di atas angka rata-rata nasional.

Kondisi ini diperparah oleh  perbedaan angka kematian yang cukup besar antara daerah perkotaan dan pedalaman. Akibat kesenjangan ketersediaan pelayanan yang berkualitas dan lokasi penduduk warga berdekatan dengan areal pembuangan sisa penambangan emas tembaga (tailing). 

Angka kematian ibu dan anak dipengaruhi faktor lingkungan areal penambangan emas dan tembaga. Angka Kematian Bayi (AKB) di Mimika masih  40 per  1000 angka kelahiran hidup.

Sejak 16 Januari 2007 lalu, sebanyak 29 warga penduduk Kampung Banti, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika terserang penyakit meningitis (radang selaput otak). 

Menurut data dari Kantor Dinas Kesehatan dan Keluarga Berencana, Kabupaten Mimika, penyakit meningitis juga menyerang para pendulang “liar” yang beroperasi di sepanjang Kali Kabur (tempat pembuangan tailing PT Freeport Indonesia), Kampung Banti, Tsinga,  Aroanop, Jita  dan sekitar Kota Timika. 

Berdasarkan hasil studi tim medis di Kampung Banti, Distrik Tembagapura, Mimika dilaporkan seorang bayi meninggal akibat penyakit meningitis yang disebabkan Bakteri mononingokus. 

Kasus meningitis pertama kali ditemukan di Wilayah Banti pada 2006, yakni pada warga pendulang tradisional di Sungai Aijkwa atau Kali Kabur.

Menteri Kesehatan (sebelumnya), Siti Fadilah Supari, dalam  Konferensi Menteri Kesehatan OKI 2007 di Sunway Lagoon, Malaysia, pada 15 Juni 2007, seperti dilansir  Media Indonesia  17 JUni 2007, mengakui ”di Mimika Papua, banyak balita menderita meningitis.”

Rumah Sakit Mitra Masyarakat Timika, pada 2007 telah menangani banyak balita penderita meningitis (radang selaput otak).  Dr. Spesialis Anak rumah sakit ini, Afdal Hasanuddin, SpA., menilai kasus meningitis terbanyak yang ditangani Mitra Masyarakat disebabkan  penyakit tuberculosis (TB paru). Saat itu, Mitra Masyarakat menangani dua orang balita yang terserang meningitis.

Selama enam bulan berturut-turut  pada 2007, hampir setiap saat Mitra Masyarakat selalu menerima balita yang terserang meningitis. 

Dinas Kesehatan dan Keluarga Berencana Mimika melansir adanya temuan kasus meningitis pada  penduduk di Kampung Banti, Tsinga,  Aroanop dan para pendulang tradisional di Kali Kabur.  

Pelita,  18 juni 2007 memberitakan, selama satu semester itu, sebanyak 34 orang diketahui terserang meningitis dan masuk rumah sakit. 

Masih banyak yang tak terjangkau dengan alasan teknis, seperti transportasi, kesadaran masyarakat dan kekurangan  informasi akan bahaya penyakit. 

Meningitis  terus merambah hingga 2009, bersama  penyakit lain, seperti kerusakan pada pencernaan, sistem saraf,  reproduksi, gangguan pada pernafasan, paru-paru, mata, katarak, kemandulan hingga berkurangnya usia harapan hidup.

Sejak Januari-Agustus 2009, lebih dari 300 Warga  Mimika,  terserang penyakit Campak. Empat orang di antaranya meninggal dunia (Formatnews, 3 September 2009) seperti dimuat dalam situsnya. 

Kepala Sub Dinas Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika, Saiful Taqin, pernah mengatakan, serangan campak  di seluruh Wilayah Mimika semakin berkurang.
"Sampai sekarang masih terjadi campak dan sejenisnya. meski grafiknya sudah mulai menurun," jelas Taqin.

Jenis penyakit menular lainnya, yang rentan mewabah di Mimika, yakni  diare. Namun, pada Maret 2009 baru terjadi satu kasus  di Kampung Dulamagom, Distrik Jila. Serangan diare tersebut tidak sampai merenggut korban jiwa. 

Pada 2008 lalu, serangan Diare di Mimika menelan korban jiwa hingga puluhan orang. Kesehatan lingkungan menjadi sumbernya.  Diare, Polio, DBD, Alergi, ISPA hingga  Flu dikategorikan  jenis penyakit yang dipengaruhi faktor lingkungan. 

Demi mengajak berbagai pihak membangun berwawasan lingkungan, termasuk PT Freeport Indonesia, Departemen Kesehatan Indonesia pernah menggelar Pertemuan Teknis ‘Program Lingkungan Sehat dan Evaluasi Penyelenggaraan Kabupaten dan Kota Sehat’ pada  2007  di Makassar.

PTFI  masih terus membuang sisa penambangan ke lingkungan sekitar. Baik di darat maupun ke badan air Aijkwa. Tailing masih berkandungan zat  kimia, fisik maupun biologi yang membahayakan  kesehatan tubuh manusia. 

Tak heran, manajemen  PTFI tidak bisa bertanggung jawab atas kematian empat warga sipil yang meninggal dunia (September 2007) akibat meningitis.
Para korban pendulang  emas di areal penambangan di  Tembagapura.  Selain ke-4 warga, masih ada kematian warga  sekitarnya. 

Bekas Kepala Bapedalda Provinsi Papua, Joseph Wiro Watken menilai, tidak ada upaya pertanggungjawaban PTFI menegakkan legitimasinya. 

“Perusahaan kan sudah melarang  aktivitas pendulangan emas oleh orang yang bukan karyawan perusahaan.   Lokasi penambangan mengandung bahan-bahan kimia yang berbahaya.  Perusahaan tidak bisa dipersalahkan dalam kasus kematian empat warga pendulang emas," tegas Wiro Watken di Jayapura,belum lama ini.

Bagian Hubungan Masyarakat PTFI,  terus membantah kerusakan lingkungan. Tetapi tidak bisa membantah kandungan bahan kimia yang membahayakan kesehatan manusia selama 42 tahun. 

Artinya secara  keseluruhan kebijakan pengelolaam lingkungan Freeport memperhatikan praktik-praktik lingkungan yang sehat secara berkesinambungan. 

Bahkan sistem pengelolaan lingkungannya sudah  sesuai dengan standar internasional dan telah memperoleh sertifikat  sejak 2001. 

Namun, di sisi lain, kawasan penambangan sama dengan kawasan sumber mata pencaharian warga setempat. Tidak bisa melarang warga untuk beraktivitas harian  di sekitar. 

Perusahaan ini semestinya  lebih dahulu mematuhi aturan regulasi WHO.   Anggota WHO seharusnya menaati aturan International Health Regulations (IHR) 2005 yang telah diberlakukan sejak 15 Juni 2007 lalu. IHR  mengatakan, setiap negara wajib membangun kapasitas dalam merespons berbagai ancaman kesehatan global. 

Tidak hanya merespons penyakit menular, tetapi juga  berbagai ancaman kesehatan seperti bahan kimia, senjata biologis, pencemaran, bioterorisme dan radiasi nuklir. 

Kepala Pusat Komunikasi Publik Depkes, Lily S. Sulistyowati, menyatakan IHR merupakan peraturan yang sangat mengikat negara yang telah menyepakatinya termasuk Indonesia. (Willem Bobi/dari berbagai sumber)
Share on Google Plus

About suarakolaitaga

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar