Oleh : Naftali Edoway
"Papua
merdeka, Papua merdeka" adalah ungkapan hati orang Papua akibat kebijakan
pemerintah yang selalu berujung pada kekerasan dan ketidakadilan.
Untuk menyikapi suara-suara itu pemerintah selalu mengunakan pendekatan kekerasan, barangkali karena rakyat Papua dilihat sebagai musuh yang harus ditaklukkan. Hal itu telah menciptakan nasionalisme pan-Papua dalam diri orang Papua sehingga selalu melihat Jakarta dan kebijakannya sebagai neokolonialisme.
Untuk menyikapi suara-suara itu pemerintah selalu mengunakan pendekatan kekerasan, barangkali karena rakyat Papua dilihat sebagai musuh yang harus ditaklukkan. Hal itu telah menciptakan nasionalisme pan-Papua dalam diri orang Papua sehingga selalu melihat Jakarta dan kebijakannya sebagai neokolonialisme.
Permasalahan
antara
kedua kubuh (Papua dan Jakarta) berkisar pada sejarah integrasi. Orang
Papua yang menganut nasionalisme "PAPUA MERDEKA HARGA MATI" melihat
sejarah
integrasi belum final, sementara Pemerintah Jakarta yang menganut
nasionalisme "NKRI HARGA MATI" melihat sejarah tadi sudah final.
Pertarungan antara kedua
nasionalisme itu telah dan terus melahirkan gejolak politik dan kekerasan di
tanah Papua. Banyak upaya telah dilakukan rakyat Papua untuk mengakhiri situasi
kekerasan dan ketidakadilan itu, namun tidak juga berhasil. Salah satunya
adalah perjuangan Tim 100.
Melihat
situasi itu Pater Dr. Neles Tebay telah kembali melahirkan sebuah ide dengan
membuat buku Dialog Papua-Jakarta, yang isinya paling tidak mengajak kedua
kubuh tadi duduk bersama untuk menyelesaikan semua permasalahan yang ada
melalui jalur damai yakni dialog.
Akhirnya dibentuklah JDP (Jaringan Damai
Papua) dengan harapan organ ini bisa mempertemukan Jakarta dan Papua diatas
sebuah meja yang bermartabat guna mengakhiri situasi kekerasan yang
berkepanjangan di Papua Barat. Ide itu belakangan menuai pro kontra dan ketidak
seriusan pemerintah dalam menanggapi dan mengawal keinginan rakyat Papua.
Perang
dingin antara Jakarta dan Papua terus berlanjut hingga memasuki empat bulan terakhir
di tahun 2011, yakni Juli hingga Oktober. Dalam bulan-bulan itu ekskalasi
politik dan kekerasan meningkat.
Slogan "Damai itu Indah" yang dipampang aparat
keamanan di semua sudut kota di Papua justru dinodai oleh mereka sendiri. Damai
berubah menjadi garang dan ganas, hingga melahirkan ketakutan dan kegelisahan
dalam masyarakat. Maka tidaklah heran jika masyarakat berkata slogan tadi itu
hanya sebuah topeng politik.
Lalu apa saja yang telah terjadi di Papua
belakangan ini?
Jika
dirunut kebelakang, gejolak politik dan kekerasan di Papua telah mulai terjadi
sejak JDP mengelar Konferensi Damai di Auditorium Uncen 5-7 Juli 2011. Beberapa
contoh kasus yang terjadi dalam bulan Juli dan Agustus 2011 bisa dibaca dalam
Laporan Tim Investigasi dari Gereja tentang Salah Tangkap dan Penyiksaan
Terhadap 15 Orang Warga Sipil di bukit Wahno-Vuria Kotaraja Jayapura Papua[1].
Kemudian, tanggal 15 September karyawan PT. Freeport Indonesia mulai menggelar
aksi mogok menuntut kenaikan upah, hampir sebulan kemudian yakni tanggal 10
Oktober 2011 terjadi penembakan dan penganiayaan saat aksi mogok karyawan PT. FI
berlangsung.
Empat hari kemudian, tanggal 14 Oktober 2011 terjadi penembakan
dan pembakaran mobil di mil 37 Timika yang menewaskan 2 orang karyawan
PT.Freeport, pembubaran paksa dan penembakan kembali terjadi setelah Kongres
III Papua ditutup tanggal 19 Oktober 2011, tanggal 24 Oktober 2011 Kapolsek
Puncak Jaya (Dominggus Awes) ditembak orang tak dikenal, lalu tanggal 26
Oktober terjadi penembakan terhadap mobil patroli milik PT Freeport di mile 35
yang menewaskan dua warga, dan seterusnya.
Lalu apa yang telah dilakukan
pemerintah?
Menjelang
tujuh belasan, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato
kenegaraannya tanggal 16 Agustus 2011 mengatakan bahwa pemerintahannya akan
menata Papua dengan pendekatan hati. Tapi apakah itu telah berhasil
dilaksanakan? Beberapa peristiwa di atas jelas memperlihatkan ketidakmampuan
pemerintahan SBY untuk merealisasikan janjinya itu.
Pendekatan hati justru
berubah menjadi pendekatan kekerasan oleh aparat dan senjata di lapangan.
Pasca
beberapa peristiwa kekerasan di atas, Pemerintahan Indonesia menuai kritik dari
berbagai lembaga HAM dan pegiat HAM. Kritikan itu datang dari dalam negeri
maupun luar negeri.
Misalnya, Kontras mendesak presiden supaya segera memeriksa
TNI, Polri dan PT.Freeport, dalam jumpa persnya pada Sabtu 29 Oktober 2011
(Metrotvnews.com. polhukam/Sabtu, 29 Oktober 2011 17:20 WIB) atau surat dari
Eni Faleomavaega kepada kedubes Indonesia Dino Patti Djalal bahwa penangkapan
terhadap warga sipil di Papua pasca Konggres III adalah bertentangan dengan
komitmen SBY juga meminta supaya para tahanan diperlakukan dengan baik, sebab
mereka yang ditangkap itu disiksa dan dipukuli oleh aparat gabungan TNI dan Polri
(Tabloidjubi.com Minggu, 23 Oktober 2011 17:26).
Menyikapi
situasi politik yang memanas di Papua, pemerintahan SBY justru bersikap dingin.
Di Papua, Lukas Enembe justru menyatakan angkat tangan dengan sejumlah
peristiwa yang terjadi di Kabupaten yang dipimpinnya itu.
"Kelompok sipil
ini terus berkembang dan menjadi ancaman. Negara juga harus terlibat
menanganinya, karena adalah masalah nasional. Kalau hanya perang suku, saya
sendiri bisa menyelesaikan," ujar Lukas Enembe di Mulia ( bintangpapua28/10//2011).
Sementara itu pejabat Gubernur Papua Syamsul Arief Rivai mengatakan bahwa ia
akan memanggil bupati yang kabupatennya bermasalah. Ia juga menghibau kepada
masyarakat supaya tenang.
"Saya himbau agar masyarakat tetap tenang dan
berusaha untuk tentram jika ada sesuatu yang tersumbat mari kita diskusi untuk
mencari jalan keluarnya.Untuk itu mari tetap membuka diri," ujarnya(Bintang
Papua/28/10/2011). Bupati Mimika, Klemens Tinal hanya diam seribu bahasa.
Dari
Jakarta, saat pembukaan sidang Kabinet di sekertariat Negara presiden
mengatakan pemerintah sudah mengubah pendekatan untuk menangani persoalan di
Papua dan Papua Barat. Dari pendekatan keamanan telah diubah kepada pendekatan
kesejahteraan dan keadilan rakyat. Itulah sebabnya pemerintah telah membentuk
Unit Percepatan Pembangunan Propinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) pada 20
September 2011 (Cepos/28/10/2011).
Hal senada juga dikatakan oleh Staf Khusus
Presiden Bidang Otonomi Daerah, Velix Wangai. "Unit khusus sudah dibentuk.
Mulai kerja dalam waktu yang segera," kata Velix, ketika ditemui wartawan,
di Jakarta, Sabtu (Seruu.com 29/10/2011).
Selain itu
pemerintah pusat juga membentuk Tim Terpadu Direktorat Keamanan
Diplomatik Pemerintah Pusat. Tim terpadu keamanan diplomatik itu terdiri dari
beberapa kementrian antara lain, Polhukam, Dagri, Luar Negeri dan BIN. Tugas
dari tim itu adalah mencari data-data dan bukti tentang situasi keamanan yang
sebenarnya terjadi di Papua belakangan ini (Bintangpapua, Jumat, 28 Oktober
2011 22:31).
Sayang mereka hanya bertemu dengan Kapolda Papua dan jajarannya
saja. Jika demikian apakah data-data dan bukti yang telah diterima oleh Tim
Terpadu itu bisa dikatakan obyetif? Entalah! Tapi dari upaya pemerintah di atas
yang tidak melibatkan rakyat Papua dalam pengambilan keputusan, menunjukan
betapa nilai-nilai sentralistik dan otoriter orde baru masih menghiasi wajah
politik di Indonesia.
Naftali Edoway
adalah Pemerhati Masalah Sosial di Papua
0 komentar :
Posting Komentar