Oleh : Naftali
Edoway
Saya membaca
berita di majalahselangkah.com bahwa pada tanggal 29 September 2013 empat
aktivis diteror. Menurut para korban teror terjadi ketika mereka pulang setelah
mengecek dugaan kekerasan terhadap anak-anak yang terjadi di kampung Tetar,
Distrik Patipi, Fak-Fak. Mereka yang menjadi korban terror adalah Apner
Hegemur, Yanto Hindom, Morten Kabes dan Kaleb Hegemur.
Di sini
saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh NRFPB dalam Pers Release mereka yang bilang bahwa isu pemberantasan terorisme yang berbasis ideologi
religi hanyalah merupakan upaya propaganda politik untuk melegitimasi
pembentukan dan pengoperasian unit khusus dengan misi utama pembungkaman
gerakan politik rakyat sipil dan merupakan serangkaian propaganda pengalihan
dan pembentukan opini publik tentang
ancaman terorisme.
Stigma yang sering dikenakan terhadap gerakan
politik rakyat sipil Papua adalah antara lain stigma terorisme, gerakan
pengacau keamanan (GPK) dan kriminalitas. Dengan stigma seperti itulah, rakyat
dan aktivis politik Papua diteror, diintimidasi, ditangkap bahkan dibunuh.
Setelah membaca berita di atas saya teringat
dengan tesis Hanna Arendt soal propaganda dan terror yang dibuat sebuah rezim
totaliter untuk mengusai rakyat dan melanggengkan kekuasan serta kekerasan
Negara.
Ketika negara menebar propaganda dan terror maka
Negara menunjukkan wajah totaliternya. Dua bentuk kekerasan itu bagian dari
perang psikologi. Ini akan berakhir ketika Negara berhasil menggurita seluruh
kekuasaan. Dalam konteks Papua, propaganda sebagai senjata Negara akan berakhir
ketika orang Papua berhasil di Indonesiakan atau jumlah orang Papua berhasil
dikurangi dari negerinya. Sementara teror akan berlanjut hingga rakyat Papua
benar-benar tidak berdaya atau bahkan punah.
Pertanyaannya,
apa kata Hanna Arendt tentang propaganda dan terror? Bagaimana dengan realitas
di Papua?
Propaganda
Propaganda sasaran utamanya adalah penyerangan
terhadap psikologi massa dengan tujuan untuk "mengikat" massa.
Gerakan ini diarahkan kepada; pertama, penduduk dari kalangan strata nontotaliter yang berada di
dalam dan luar negeri; kedua,
kelompok simpatisan yang belum siap menerima tujuan gerakan; ketiga, anggota yang dianggap gerakan
masih memerluhkan propaganda karena belum dapat didominasi. Selanjutnya, pada
saat gerakan totaliter telah merebut kekuasaan, obyek dari propaganda beralih
kepada penduduk yang oleh Negara dianggap belum cukup menerima indoktrinasi
(Arendt, 1985:41-42).
Proses doktrinisasi di Papua selama ini dilakukan
melalui pendidikan dengan kurikulum yang tidak sesuai konteks. Atau kegiatan
terakhir, yakni Kapolda Papua yang mengajak masyarakat mengibarkan bendera
merah putih di gunung cartenz pada 17 Agustus lalu atau mama-mama Papua yang
diajak buat noken merah putih saat perayaan hari TNI tanggal 5 Okteber kemarin.
Ini adalah bentuk propaganda Negara merebut hati
orang Papua yang terang-terangan menyatakan berbeda ideologi selama ini.
Arendt kemudian memberikan sejumlah ciri
propaganda totaliter, yaitu: pertama,
mengandung kebohongan besar namun memiliki sifat ilmiah, seperti metode iklan,
mengandung kekerasan dalam imajinasi dan impian liar monopoli; kedua, membungkam kemungkinan adanya
argument kritis atau menolak cara berpikir kritis, menafikan hal-hal yang
bersifat baru, termasuk sesuatu yang bertentangan dengan ideology totaliter; ketiga, menghadirkan pemimpin sebagai
sosok yang tidak pernah salah dan sukses dalam memprediksi kekuatan, serta
mampu mengutarakan keinginan-keinginan politik sebagai self-fulfiled prophecy; keempat, mampu mengasingkan massa dari
dunia nyata.
Contoh yang bisa kita lihat di Papua adalah
kampanye "Kasih Dan Damai Itu Indah"
oleh TNI/Polri yang pada kenyataannya berlawan di lapangan. Atau pembungkaman
demokrasi dengan melarang orang berdemonstrasi dan pembredelan buku-buku karya
putra Papua yang dianggap menentang kekuasan. Atau pembentukan LMA tandingan.
Atau pemekaran yang diterima dan diberikan saja oleh penguasa untuk
mengasingkan masyarakat dari dunia nyata, yakni dunia kekerasan yang
diciptakan.
Dan atau pembunuhan terhadap orang-orang yang
dianggap bersebrangan dengan ideology Negara seperti, Arnold Ap, Dr.Tom
Wanggai, Theys H Eluay, Jaap Salossa, Agus Alua, Obed Badii, Mako Tabuni,
dll.
Jadi tema utama dari propaganda adalah menyebar
kebohongan yang secara politis masuk akal guna mendapat kepercayaan dari
kelompok sasaran. Ketika tingkat kepercayaan mengakar kekerasan akan dilihat
sebagai sebuah proses kebetulan. Di sini rakyat dihipnotis dan kemudian akan mau
saja melakukan apa saja yang rancang penguasa.
Artinya, rakyat Papua hendak didorong masuk ke
dunia yang diciptakan Negara yakni dunia "kepatutan total" dimana orang Papua
harus melakukan apa saja yang diinginkan para penguasa di Jakarta. Di sini
negara hendak memposisikan dirinya sebagai "manusia/penguasa/negara setengah
dewa" yang perintahnya patut dilaksanakan. Atau tak boleh dilawan walaupun
kebijakannya tidak menyentuh persoalan. Atau jika melawan hukumannya mati.
Teror
Lalu bagaimana dengan teror? Teror diyakini
mengandung unsur kekerasan yang besar, tetapi seperti tidak nyata. Terror telah menjadi senjata yang
mengorbankan berjuta manusia di bumi. Mekanisme yang digunakan dalam terror
adalah "fulivikasi" yang melihat suatu bangsa sebagai musuh, seperti yang
dialami orang Yahudi di bawah kekuasan Hitler.
Artinya bahwa, di mana pun di dunia ini, jika
terror menimpa individu, kelompok, atau suatu bangsa maka mereka dianggap musuh
oleh para peneror. Jika demikian, ketika terror dialami orang Papua seperti
dalam berita di atas maka mereka itu bahkan semua orang Papua dianggap musuh
oleh Negara. Dan ini bisa kita lihat sebagai wujud nyata dari pernyataan
jenderal Ali Murtopo saat Indonesia menginvasi Papua tahun 1961 bahwa "jika
orang Papua mau mendirikan Negara cari saja diluar angkasa, yang kami inginkan
adalah tanahnya bukan orangnya".
Dalam politik pemerintahan totaliter posisi hukum
positif diambil ahli oleh terror total yang direncanakan untuk menerjemahkan
hukum gerakan atau hukum alam ke dalam realitas politik. Hukum yang berlaku
kemudian adalah menyingkirkan "musuh obyektif" sejarah dan alam. Dalam hukum seperti itu seseorang dianggap
bersalah jika ia menghambat proses alam atau sejarah. Hukum yang digunakan
adalah hukum yang dikondisikan. Sehingga orang-orang yang tidak bersalah pun
akan tetap dijatuhi hukum.
Pengenaan pasal makar terhadap orang Papua yang
menentang arus kebijakan penguasa di Jakarta yang berujung pada pemenjarahan
adalah bentuk dari Negara mengasingkan atau menyingkirkan para penentang ini
dari hak-hak mereka dan dari realitas dunia nyata.
Atau misalnya, Buktar Tabuni yang sempat di tahan
karena dituduh melakukan makar, namun dalam proses persidangan tuduhan itu
tidak terbukti tapi ia tetap dipenjarahkan dengan alasan mengganggu ketertiban
umum. Ini adalah bentuk terror Negara terhadap aktivis dan semua orang Papua. Teror menyerang status manusia, yang tadinya
bebas dibuat tak bebas.
Akhirnya, Runtuhnya rezim otoriter militer
Soeharto, sesungguhnya tidak merubah wajah kekerasan Negara di Papua. Kekerasan
itu justru mengalami peningkatan. Penguasa hadir dengan wajah totaliter guna
membungkam ekspresi rakyat. Barangkali kekerasan Negara dipertahankan lantaran
penguasa kehilangan kekuasaannya.
Artinya, Jakarta merasa gagal dalam
mengindonesiakan orang Papua sehingga kekerasan mungkin salah satu jalan untuk
memaksa orang Papua menjadi Indonesia. Secara otomatis kegagalan Negara
mengindonesikan orang Papua akan berdampak pada ekonomi Negara dan ini sangat
berbahaya bagi kelangsungan hidupnya. Jika ini benar maka tesis seorang Hanna
Arendt bahwa kekerasan biasanya muncul pada saat Negara dalam keadaan bahaya
menjadi relevan di Papua.
Jika kemudian muncul radikalisme dalam diri orang
Papua lalu melakukan perlawanan kepada negara sesungguhnya itu hasil ciptaan
Negara. Maka tugas Negara adalah berdialog dengan dirinya sendiri guna menemukan
solusi yang tepat bukannya melemparkan permasalahan kepada orang Papua.
Naftali
Edoway adalah Pengamat Sosial dan Politik Papua Tinggal di Jayapura
Sumber : http://majalahselangkah.com
0 komentar :
Posting Komentar